oleh Tim Kolaborasi* di 10 October 2022
- Pada Juli 2019, Bupati Kepulauan Aru mengeluarkan izin lokasi kepada empat perusahaan untuk peternakan sapi seluas 61.567 hektar di Pulau Trangan, Kepulauan Aru, Maluku, tersebar di dua kecamatan dengan 16 desa. Tim kolaborasi membuat seri tulisan mengenai risiko, ancaman kerusakan lingkungan dari hutan, savana sampai karst maupun kekhawatiran Masyarakat Adat Kepulauan Aru atas ruang hidup mereka.
- Tak hanya ancaman deforestasi dan satwa, hal paling mengkhawatirkan lagi, adalah kehancuran sumber air bersih di Kepulauan Aru. Di Pulau Trangan, padang savana dan bukit-bukit kecil itu berada di bentang karst tempat kolam-kolam alami yang menjadi sumber air tawar penduduk.
- Kajian World Resources Institute (WRI) yang rilis 2021 memperlihatkan, kehilangan tutupan hutan tertinggi dunia itu disebabkan peternakan. Dari analisis terbaru WRI ini memperlihatkan tujuh komoditas agrikultur seperti peternakan, sawit, kedelai, kakao, karet dan perkebunan kayu menyebabkan kehilangan 26% atau sekitar 71,9 juta hektar tutupan pohon dunia dari 2001-2015. Dari berbagai komoditas itu, peternakan sebagai penyumbang kehilangan hutan tertinggi, disusul sawit, kedelai, kakao, kebun karet, kopi, dan perkebunan kayu.
- Eko Cahyono, Sosiolog Pedesaan IPB University mengatakan, jika ada gangguan ekosistem atau kerusakan ekosistem terkait laut, hutan, daratan, maka akan mengganggu keseluruhan ekosistem Masyarakat Adat Aru. Seharusnya, pemerintah dalam melihat pembangunan di wilayah pulau-pulau kecil seperti Aru itu tak boleh disamakan dengan pulau besar. Begitu pun cara memperlakukan masyarakatnya.
Semak dan rumput-rumput ilalang di padang savana terhampar bak lukisan alam, membentang luas di Pulau Trangan, Kepulauan Aru di Maluku, berkelok dengan kiri kanan pepohonan hutan setinggi 15-20 meter seperti akasia, kayu putih dan banyak lagi.
Pulau terbesar di Kepulauan Aru di bagian tenggara Maluku ini, dikelilingi oleh hutan bakau yang rapat serta memiliki hutan sagu yang menjadi sumber pangan warga.
Kala beranjak ke daratan agak tinggi yang bertutupan pohon itu, kolam-kolam sumber air nan jernih. Ia jadi sumber air tawar bagi warga.
Trangan merupakan pulau terbesar di Kepulauan Aru yang merupakan kabupaten tersendiri yang juga dikenal sebagai Jargaria. Kabupaten Kepulauan Aru yang dipisahkan oleh Laut Timor dari Australia, memiliki ratusan pulau lainnya. Menurut data Pemerintah Aru 2019 ada 759 pulau, atau dari kajian Forest Watch Indonesia 2021 terdapat 832 pulau.
Selain Trangan, Kepulauan Aru memiliki empat pulau relatif besar lain, yaitu Kobror, Maikor, Kola dan Wokam.
FWI mencatat, ekosistem Kepulauan Aru berupa hutan mangrove, hutan hujan tropis, dan padang savana. Ketiga ekosistem ini tak terpisahkan satu sama lain. Selain padang savana, Pulau Trangan, juga g memiliki bentang karst dan pohon-pohon yang mengelompok di antara savana.
Hutan mangrove yang begitu rapat mengelilingi pulau-pulau di Kepulauan Aru, merupakan benteng alami dari terpaan ombak dan melindungi dari pasang air laut.
Catatan FWI, ekosistem mangrove ada di semua pulau di Kepulauan Aru. Berbeda dengan ekosistem mangrove umumnya, di Kepulauan Aru mangrove tumbuh di batuan karst dengan sedimen lumpur tipis.
Ekosistem hutan karst merupakan rumah bagi berbagai spesies burung, seperti cenderawasih (Paradisaea apoda), maleo (Macrocephalon maleo), dan kasuari (Casuarius casuarius). Juga, burung paruh bengkok seperti kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), kakatua hitam (Probosciger aterrimus),dan lain-lain.
Sedangkan beragam satwa dari rusa, babi hutan sampai kanguru pohon hidup di padang savananya.
Kawasan ini juga ruang hidup masyarakat adat Kepulauan Aru, yang dengan kearifan lokalnya, turun temurun bergantung kepada alam, dari lahan, hutan, maupun kekayaan laut.
Di bentang karst dengan padang savana, hutan dan mangrove rapat mengelilingi Pulau Trangan inilah, keluar izin peternakan sapi seluas 61.567 hektar dari bupati kepada empat perusahaan.
Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, bicara peternakan sapi skala besar, dugaan kuat akan ada infrastruktur atau sarana dan prasarana penunjang dibangun, seperti jalan, pelabuhan, kantor atau rumah pekerja dan lain-lain.
Untuk itu semua, katanya, pasti akan ada tutupan hutan yang jadi korban. Termasuk, di kawasan pesisir, misal, bangun pelabuhan, akan ada hutan mangrove yang terbabat.
“Mereka pasti akan gunakan teluk sebagai akses. Termasuk daerah pesisir barat, bikin pelabuhan dan lain-lain. Kalau itu terjadi tentu akan ada hutan mangrove dikorbankan,” kata Ode, sapaan akrabnya.
Fungsi mangrove pun, jelas Ode, akan hilang. Kalau itu terjadi, salah satu paling terdampak adalah sumber air. Dia bilang, akan terjadi intrusi air laut karena lingkungan sekitar tak bisa lagi menahan air laut masuk ke air tawar.
Saat ini saja, katanya, sudah ada sumur desa kena intrusi air laut.
“Belum ada konversi atau penebangan hutan sudah seperti itu. Apalagi, kalau mangrove dihancurkan, atau savana dan hutan jadi ladang peternakan?” katanya beretoris.
Pulau Trangan ini terdiri dari dua kecamatan, yakni Aru Selatan seluas 833.12 km persegi dan Aru Selatan Timur seluas 516,68 km persegi menurut data statistik Kabupaten Aru 2021.
Sensus Penduduk 2020, menunjukkan ada 15 desa – Popjetur, Ngaibor, Fatural, Gaimar, Jelia, Doka Barat, Doka Timur, Laininir, Marafenfen, Ngaiguli, Feruni, Kalar-Kalar, Kabalukin, Jerol, dan Lor-lor – dengan penduduk sebanyak 7.497 jiwa di Kecamatan Aru Selatan.
Kecamatan Aru Selatan Timur, memiliki 10 desa – Batugoyang, Salarem, Meror, Siya, Beltubur, Dosimar, Karey, Jorang, Gomarmeti, dan Gomarsungai – dengan populasi sekitar 4.039 jiwa.
Masyarakat adat di Desa Popjetur dan Marafenfen, Kecamatan Aru Selatan, punya sejarah, struktur kelembagaan adat, wilayah petuanan adat, tradisi atau ritual, dan aturan pembagian dan pemanfaatan wilayah atau adat petuanan (tanah ulayat).
Masing-masing komunitas di kedua desa yang dikelilingi padang savana dengan sebagian hutan bertutupan rapat, punya petuanan darat maupun laut dengan batas, aturan pembagian, dan pemanfaatan.
Tak urung, rencana peternakan sapi skala besar ini membuat masyarakat adat was-was dan dapat penolakan dari masyarakat adat Kepulauan Aru. Selain melakukan protes langsung, mereka juga mengirimkan surat protes ke berbagai lembaga, seperti Kantor Staf Presiden dan Komnas HAM maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Masyarakat adat khawatir keberadaan peternakan sapi skala besar ini akan mengancam ruang hidup dan hutan yang selama ini mereka lindungi.
Yosias Siarukin, warga Desa Popjetur yang juga Kepala Marga Siarukin, saat sosialisasi kedua sekitar tahun 2018 langsung menolak . “Di situ hak ulayat Siarukin jadi beta tolak,” kata pria 51 tahun ini. Warga Siarukin juga pasang spanduk penolakan.
Dia mengatakan rencana peternakan sapi itu berada di lokasi Tordauk, ritual tahunan Masyarakat Adat Aru mencari hewan dengan pembakaran rumput alang-alang selama musim panas antara September sampai Oktober atau November.
Bagi Yosias, lahan adat itu segalanya. Di sana sumber pangan, sumber ekonomi maupun tradisi budaya, dari berburu, berkebun sampai tradisi tahunan ritual adat bakar alang-alang.
Otniel Apalem, warga Desa Popjetur, juga menolak investasi peternakan sapi dengan mengatakan peternakan sapi akan berdampak terhadap kerusakan alam sekitar, termasuk hutan mereka.
Otneil tambah was-was kala petugas Dinas Kehutanan datang dan mulai mematok lahan di desa mereka sekitar 2018. “Jarak seratus meter dari setiap rumah. Mereka tanpa sosialisasi langsung menanam patok. Itu berarti lahan-lahan kita terancam juga nantinya,” katanya.
Kehadiran peternakan sapi, katanya, akan mengganggu aktivitas mereka berkebun dan ke hutan. Mereka tak ingin usaha skala besar masuk dan berisiko merusak ruang hidup. Sebelum ini, dia juga melawan perusahaan perkebunan tebu, Menara Group, yang mau masuk ke Aru.
“Saya berjuang untuk tanah ini karena merupakan tanah adat. Hak ulayat marga Apalem. Harapan saya akan perjuangan ini adalah berjuang agar perusahan peternakan itu tidak akan datang. Tanah adat adalah hak masyarakat adat.”
Warga Popjetur lainnya, Obaja Siarukin, memiliki kekhawatiran sama, bahwa kehadiran usaha peternakan itu akan mengganggu aktivitas berkebun dan ke hutan.
“Katong menolak investor itu supaya bebas berkebun di katong punya petuanan, bisa berburu bebas karena di sini kita jauh dari laut hingga tidak bisa melaut,” katanya.
Peternakan sapi juga mengancam hutan sagu mereka. Masyarakat adat juga khawatir bahwa ketika peternakan masuk, tak akan ada lagi nilai sejarah desa dan keragaman hayati seperti cendrawasih dan rusa.
Ribka, istri Obaja, mengiyakan. Mereka berkebun. Mereka pun bebas mengambil hasil hutan untuk keperluan di rumah.
“Beta petani. Berkebun menanam tanaman pangan dan bumbu dapur seperti rica, pisang, dan keladi.” Untuk keperluan kayu, mereka bisa ambil dari hutan tak beli lagi. “Jadi kalau perusahaan masuk, pasti hutan-hutan ini dikaveling semua.”
***
Kepulauan Aru, seakan tak pernah lepas dari incaran bisnis pengguna lahan skala besar. Pada 2014, Kepulauan Aru baru lepas dari perusahaan tebu. Kala itu, Bupati Kepulauan Aru, Tedi Tengko, mengeluarkan izin seluas 480.000 hektar untuk 28 perusahaan yang semua berada di bawah bendera PT Menara Group.
Penelusuran FWI terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aru tahun 2009-2028, menemukan 76% dari luasan konsesi bagi konsorsium 28 perusahaan ini masih hutan alam.
Penolakan kuat dari masyarakat adat dan berbagai kalangan, kemudian berhasil mematikan langkah perusahaan.
Namun belum lagi hilang rasa was-was dan khawatir masyarakat adat, pada Juli 2019, Bupati Aru mengeluarkan lagi izin lokasi kepada empat perusahaan untuk peternakan sapi seluas 61.567 hektar di Pulau Trangan, tersebar di dua kecamatan dengan 16 desa.
Empat perusahaan itu, PT Kuasa Alam Gemilang dengan luasan izin 16. 408 hektar meliputi Desa Jorang, Beltubur, dan Meror. Lalu, PT Bintang Kurnia Raya seluas 13.916 hektar, masuk Desa Jerol, Kabalukin, Kalar-Kalar, Feruni, Ngaiguli, Ngaibor dan Gaimar.
Perusahaan ketiga, PT Cakra Bumi Lestari dengan luas izin 14.980 hektar, melingkupi Desa Ngaibor, Dosimar, dan Batu Goyang. Kemudian, PT Ternak Indah Sejahtera, luas 16.263 hektar, di Desa Gaimar, Popjetur,Jelia dan Jorang.
Izin-izin peternakan sapi bagi empat perusahaan ini, dari penelusuran FWI terkait dengan Jhonlin Group, perusahaan milik Andi Syamsuddin Arsyad, atau lebih dikenal sebagai Haji Isam.
Ceritanya, pada Oktober 2017, Haji Isam ini tiba di Aru dengan pesawat pribadi bersama Menteri Pertanian saat itu, Andi Amran Sulaiman. Mereka, sama-sama berasal dari Bone, Sulawesi Selatan. Isam mulai dikenal di kalangan pengusaha melalui bisnis tambang batubaranya di Kalimantan Selatan. Di Kepulauan Aru, menteri, pejabat daerah dihadiri Isam, adakan pertemuan dengan mengundang perwakilan warga untuk membahas peternakan sapi.
Johan Gonga, Bupati Kepulauan Aru dua periode ini, membenarkan pemberian izin lokasi di Kecamatan Aru Selatan dengan mengatakan daripada jadi lahan ‘tidur’ .
“Savana di sana luasnya itu luar biasa, itu luasnya kurang lebih ada sekitar 46.000 hektar.”
Haikal Baadilah, Pelaksana Harian, Kepala Dinas Kehutanan Maluku, mengatakan, sebagai pelaksana teknis dari kementerian, dinas hanya menunggu perizinan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setelah ada permohonan dari bupati sesuai kewenangannya.
“Hutan produksi tetap adalah hutan produksi jenis kayu. Sedangkan hutan produksi konversi adalah hutan produksi yang bisa digunakan untuk produksi kayu dan produksi lain sesuai mekanisme pelepasan.”
Tim berupaya mengkonfirmasi soal proses perizinan empat perusahaan peternakan sapi di Kepulauan Aru ini ke para petinggi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tim kolaborasi menghubungi beberapa pejabat LHK melalui telepon maupun pesan lewat aplikasi perpesanan maupun kanal pesan di sosial media. Pesan juga dikirimkan kepada Menteri Siti Nurbaya, Wakil LHK Menteri Alue Dohong, maupun Ruandha Agung Sugardiman selaku Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan.
Telepon dan pesan juga tim kirim ke Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK. Sebagian ada yang hanya membaca pesan, tetapi sampai berita ini turun tak memberikan respon.
Tim kolaborasi juga berusaha mengkonfirmasi kepada perusahaan-perusahaan ini.
Telepon ke kantor mereka pun tak terhubung sehingga tim kemudian mendatangi tiga dari empat perusahaan itu yang memiliki kantor di Jakarta pada 4 Agustus 2022.
KAG ternyata menyewa jasa pengelolaan kantor di Marque Executives Office di Lantai 28 Menara Karya di Kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Seorang resepsionis perempuan dari Marque membenarkan KAG berkantor di gedung itu tetapi dua nama yang tercantum sebagai komisaris dan direktur jarang datang ke kantor. Dia tak bisa menyebutkan lebih lanjut persisnya lokasi kantor atau kapan terakhir kali kantor ini berkegiatan di Menara Karya.
“Itu confidential,” katanya.
Sekitar satu kilometer dari Menara Karya, masih di kawasan Rasuna Said, CBL berkantor di Cyber 2 Tower, tepatnya di lantai 18 dan juga menyewa dari jasa pengelolaan kantor, Marque.
Saat tim menyambangi kantor ini, resepsionis mengira kami adalah pihak kantor yang hendak mengambil dokumen terkait CBL.
Bintang Kurnia Raya tercatat berkantor di Gedung H Tower, juga di kawasan Rasuna Said, namun saat tim kolaborasi mendatangi gedung ini resepsionis mengatakan tak mengenal nama perusahaan ini.
Tim kolaborasi juga mengirim email menanyakan soal rencana keempat perusahaan kembangkan peternakan sapi dan keterkaitan dengan Jhonlin kepada Irena Cyntia Dewi Putri, Corporate Secretary PT JARR, pada 12 Agustus 2022, tetapi tak juga mendapatkan jawaban.
Hutan dan keragaman hayati terancam
Forest Watch Indonesia (FWI) melakukan analisis data perusahaan-perusahaan peternakan sapi terkait, tetapi hanya dapat memetakan tiga dari empat perusahaan, yaitu PT Bintang Raya, PT Kuasa Alam Gemilang dan PT Ternak Indah Sejahtera.
Dari izin ketiga perusahaan ini, 16.649,18 hektar berada di hutan alam, savanna 6.860, 78 hektar, hutan mangrove 5.166,02 hektar dan dusun sagu 1.410,13 hektar.
Ode mengatakan, semua izin perusahaan-perusahaan itu masuk kawasan hutan.
“Di situ memang semua kawasan hutan. Maka proses perizinan lari ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan fungsi hutan produksi konversi,” kata Ode, 10 Agustus lalu.
Terdapat sekitar 557.492 hektar kawasan hutan produksi dikonversi di Kecamatan Aru Utara, Aru Tengah, Aru Tengah Selatan, dan Aru Selatan Timur.
Sedang data Maluku Dalam Angka 2017 kawasan hutan di Kepulauan Aru, setelah tata batas sekitar 777.956 hektar. Ia terdiri dari hutan konservasi 67.104 hektar, hutan lindung 6.254 hektar, hutan produksi tetap 194.252 hektar serta hutan produksi konversi 510.346 hektar.
Kalau melihat bentang alam Kepulauan Aru, tutupan hutan masih rapat. Kecuali di beberapa wilayah yang dulu pernah ada sejarah konsesi skala besar, hutannya hancur.
Perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin lokasi dari bupati itu telah mengajukan izin pelepasan kawasan hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kala perizinan pelepasan kawasan hutan keluar, kata Ode, sangat memungkinkan terjadi penebangan pohon-pohon di kawasan hutan itu.
“Secara regulasi itu dibolehkan. Ketika ada satu perusahaan ada izin, walau bukan izin panen kayu, ketika tak lakukan penebangan atau tak tebang hutan, maka bisa dibilang rugi. Karena ada potensi, mengapa tak ditebang,” katanya.
Karena itu, pemberian izin skala besar pada peternakan sapi berisiko terjadi deforestasi besar-besaran.
Kekhawatiran selanjutnya, kata Ode, ketika sapi perlu pakan. Peternakan seluas itu tentu akan memelihara begitu banyak sapi. Dengan begitu, katanya, perlu kepastian ketersediaan pakan. “Belum tentu rumput di sana cukup untuk pakan semua.”
Dengan begitu, kemungkinan wilayah izin juga menjadi lahan pakan sapi. Terbuka kemungkinan juga, katanya, bukan hanya sapi yang akan masuk ke Aru tetapi ‘bisnis’ ikutan, seperti tebu.
Ode merujuk bisnis peternakan sapi Jhonlin Group di Bombana, Sulawesi, yang mengintegrasikan peternakan sapi dan kebun tebu. Sisa-sisa panen tanaman tebu bisa buat pakan sapi.
Kalau ini terjadi, berarti ada kebun monokultur tebu yang akan mengubah bentang hutan atau lahan di Aru. Deforestasi di depan mata.
Kajian World Resources Institute (WRI) yang rilis 2021 memperlihatkan, kehilangan tutupan hutan tertinggi dunia itu disebabkan peternakan.
Dari analisis terbaru WRI ini memperlihatkan tujuh komoditas agrikultur seperti peternakan, sawit, kedelai, kakao, karet dan perkebunan kayu menyebabkan kehilangan 26% atau sekitar 71,9 juta hektar tutupan pohon dunia dari 2001-2015. Dari berbagai komoditas itu, peternakan sebagai penyumbang kehilangan hutan tertinggi, disusul sawit, kedelai, kakao, kebun karet, kopi, dan perkebunan kayu.
Arief Wijaya, Direktur Program WRI Indonesia mengatakan, deforestasi kemungkinan terjadi kalau ada peternakan sapi skala besar dengan mengorbankan lahan atau hutan yang masih baik di Kepulauan Aru.
Terlebih, katanya, sekitar 60.000-an hektar lebih kawasan hutan termasuk hutan mangrove dalam kondisi baik akan dibuka, bisa menyebabkan emisi CO2 sebesar 29 Mton ton CO2.
Belum lagi, katanya, emisi dari hutan mangrove yang memiliki soil carbon tinggi. Padahal, katanya, Indonesia punya komitmen berkontribusi menekan emisi lewat target nationally determined contributions (NDC) 29% pada 2030–September lalu, pemerintah menaikkan target NDC jadi 31,8%–dan zero emisi pada 2060.
Dia mengingatkan, hutan di Brazil terdeforestasi karena peternakan sapi. Jangan sampai, hal serupa menimpa hutan-hutan di nusantara ini.
Arief mengatakan, agar deforestasi seperti di Brazil tidak terjadi di Indonesia, izin peternakan sebaiknya difokuskan pada wilayah-wilayah terdegradasi, bukan di kawasan hutan atau tutupan hutan bagus.
Bisnis, katanya, juga harus menghargai prinsip hidup masyarakat adat di Kepulauan Aru. Selain itu, pengembangan usaha harus yang dapat memberdayakan peningkatan ekonomi masyarakat lokal.
Tak hanya ancaman deforestasi dan satwa, kata Ode, hal paling mengkhawatirkan lagi, adalah kehancuran sumber air bersih di Kepulauan Aru.
Di Pulau Trangan, padang savana dan bukit-bukit kecil itu berada di bentang karst tempat kolam-kolam alami yang menjadi sumber air tawar penduduk.
“Khawatir, ada sumber air yang akan tercemar.”
Apalagi, katanya, peternakan skala besar tentu akan memerlukan pasokan air besar.
Selain ancaman terhadap hutan, kehadiran peternakan sapi juga akan mengancam satwa endemik yang ada di dalam hutan maupun savana di Kepulauan Aru.
“Dengan luasan lahan izin seperti itu, gak mungkin sapi-sapi itu dikandangkan. Gak mungkin sistem kandang, akan pake sistem gembala. Ketika itu terjadi, pasti wilayah padang savana di sana akan dipagari,” katanya.
Area-area yang terbebani izin itu, kata Ode, bukan wilayah kosong alias merupakan habitat satwa. Ada rusa, babi hutan, kus-kus, kanguru pohon, sampai burung-burung langka dan dilindungi seperti cenderawasih, dan beragam jenis paruh bengkok.
“Di sini hidup berbagai satwa seperti cenderawasih, kakatua raja, kakatua putih, nuri, pelanduk, rusa, babi, tikus tanah, serta kasuari. Masih ada lainnya, cumin yang sudah mulai punah,” kata Obaja.
Ilsa Nelwan dan Noer Fauzi Rachman dalam artikel mereka mengingatkan soal bahaya lain deforestasi, yang bisa makin meningkatkan kerawanan munculnya virus-virus pembawa penyakit zoonosis.
Mereka berdua merujuk pada John E. Virson et al (2022) “Land reversion and zoonotic spillover risk”, yang menggunakan model matematik untuk menunjukkan bahwa risiko keluarnya patogen zoonosis itu ternyata lebih tinggi di lahan terdeforestasi daripada hutan lebat.
Untuk bisa melihat risiko-risiko ekologis berjangkitnya wabah-wabah baru ini, kata Ilsa dan Noer, perlu pendekatan interdisipliner, one health yang mampu menghubungkan antara masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan kedokteran hewan, kedokteran manusia, dan kesehatan lingkungan.
Deforestasi, katanya, mengubah komunitas satwa liar dan memodifikasi interaksi manusia-satwa liar, seringkali meningkatkan potensi keluarnya patogen itu dan menulari manusia.
“Sebaliknya, ketika lahan terdeforestasi kembali menjadi hutan, perbedaan komposisi spesies antara hutan primer dan hutan sekunder dapat mengubah lintasan risiko keluarnya mikroba patogen zoonosis.”
Abrasi dan intrusi air laut
Kabupaten Kepulauan Aru, di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah utara dan timur dengan selatan Papua. Kemudian, sebelah barat berbatasan dengan bagian timur Pulau Kei Besar dan Laut Arafura.
Kepulauan Aru datar dan pesisir pantai berawa dengan luas wilayah sekitar 55.270, 22 Km2, dan daratan 6.426,77 Km2. Sebagian besar hutan alam di Kepulauan Aru adalah mangrove.
Ode bilang, ekosistem mangrove antara lain berfungsi sebagai pelindung wilayah pesisir dari abrasi dan kenaikan muka air laut.
Riset FWI pada 2014 menyebutkan, dari ratusan pulau di Kepulauan Aru itu, hanya satu pulau yang tak masuk dalam kategori pulau kecil yakni Pulau Trangan dengan luas sekitar 2.300 kilometer persegi.
Ode bilang, khusus di Pulau Trangan, di mana empat izin perusahaan itu ada, masuk kategori pulau di atas 2.000 kilometer persegi.
Padahal, setelah FWI melakukan kajian, terlihat ada teluk yang menjorok ke dalam di sebelah barat dan timur.
Kedua teluk ini, katanya, nyaris bertemu di tengah dengan jarak selat sebelah barat dan timur sekitar lima kilometeran.
“Kalau dilihat lagi itu kan sebenarnya pulau-pulau kecil. Secara geografis hampir putus,‘ kata Ode.
Pulau-pulau kecil, termasuk Kepulauan Aru, merupakan wilayah paling terdampak krisis iklim.
Agus Kastanya, Guru Besar dan ahli Kehutanan Universitas Pattimura mengatakan, dunia sedang menghadapi pemanasan global, perubahan iklim yang berdampak antara lain pada kenaikan permukaan laut. Pulau-pulau kecil, rawan terdampak. Kondisi ini, katanya, harus menjadi perhatian serius bagi daerah kepulauan seperti Aru ini.
“Harus dikaji serius bagaimana menyelamatkan pulau-pulau kecil, seperti Kepulauan Aru ini. Jangan sampai terjadi eksploitasi hutan Aru, termasuk hutan mangrove. Ancaman abrasi bisa menghancurkan pesisir pulau.”
Saat ini, meski tanpa investasi besar-besaran dan konversi hutan mangrove, kenaikan muka air laut sudah mulai berdampak pada masyarakat Aru.
Di Pulau Trangan, Aru Selatan Timur, tepatnya di Desa Gomar Sungai, belasan rumah warga di bibir pantai diterjang banjir rob, seperti pada 6 Desember 2021 ketika sekitar 12 rumah terendam air laut.
“Kejadian pagi ini di Desa Gomar Sungai, Kecamatan Aru Selatan Timur. Terjadi air pasang tinggi dari biasa, hingga sekitar 12 rumah dimasuki air,” begitu status Ronal Barlola di akun Facebook-nya, pada laman Grup Aru Island, kala itu.
Berselang satu hari, banjir rob juga terjadi di Desa Jambuair, Aru Selatan. Peristiwa ini menyebabkan puluhan rumah dan fasilitas umum di pesisir pantai terendam banjir setinggi lutut orang dewasa.
Banjir rob pada 7 Desember 2021 menyusul gelombang pasang sejak dua hari sebelumnya, merendam ratusan rumah .
Sejumlah desa terdampak adalah Gomar, Sungai dan Gomar Meti di Kecamatan Aru Selatan Timur, Jambu Air di Kecamatan Aru Tengah Selatan, dan Karang Guli di Kecamatan Pulau-pulau Aru.
Di Desa Feruni di Kecamatan Aru Selatan, Pulau Trangan, terjadi abrasi parah. Banjir gelombang pasang disertai angin hampir terjadi saat air pasang disusul gelombang tinggi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat di pesisir Desa Feruni mengungsi karena rumah mereka terancam banjir. Kuburan desa mereka saja sudah dua kali terendam.
Banjir rob juga melanda Kecamatan Aru Tengah Selatan, dimana 23 rumah warga rusak diterjang gelombng pasang dan angin kencang di Desa Warabal Panambula 15 Juli lalu.
Belum ada pembukaan lahan skala besar saja sudah seperti itu kondisi pesisir Kepulauan Aru, dengan abrasi dan banjir rob yang sudah mendera warga.
Agus mengatakan, secara geografis wilayah Aru adalah pulau-pulau kecil dengan ekologi terbatas. Kondisi pulau kecil dengan daerah aliran sungai (DAS) yang pendek berpotensi memicu kekeringan saat musim panas dan erosi di musim hujan.
Dia pun khawatir kalau sampai ada peternakan sapi puluhan ribu hektar di Kepulauan Aru. “Persoalan peternakan sapi, harus dihentikan.”
Lahan yang akan digunakan itu bukan tanah kosong tetapi merupakan hutan adat. Jadi, katanya, ada yang perlu menjadi perhatian hingga tak terjadi kehancuran ekologi, dan konflik masyarakat adat. Pemerintah, katanya, harus mampu mengidentifikasi kebutuhan masyarakat adat.
Kalau bicara kerusakan lingkungan dan krisis iklim, katanya, semestinya lingkungan hidup yang ada dijaga dan tak merusak lagi. “Membangun ekonomi, harus mendukung daya lingkungan.”
Pembangunan, katanya, harus dilakukan dengan menjaga ekosistem. “Jika itu tidak dilakukan, kita tunggu saja datangnya kehancuran.”
Eko Cahyono, Sosiolog Pedesaan IPB University mengatakan, cara pandang tentang Masyarakat Adat Aru harus dilihat secara berlapis.
Pertama, dari sisi sejarah. Wilayah Aru, Papua dan Papua Nugini merupakan satu barisan sejarah adat dan wilayah paling kaya keragaman hayatinya. Secara historis, Masyarakat Adat Aru sejak lama memiliki peradaban yang harmonis dengan alam. “Itu poin penting.”
Kedua, memahami Masyarakat Adat Aru itu dari bentang alamnya. Dia bilang, tak banyak ditemui di tempat lain kombinasi antara laut, hutan dengan daratan tak punya pegunungan.
“Jadi, masyarakat adatnya itu dari pesisir, hutan dan daratan, hingga ruang hidup mereka itu bergantung sepenuhnya dari laut, hutan dan daratan. Dengan karakter itu maka ketergantungan ruang hidup mereka memang harus dilihat sebagai satu kesatuan atas laut, darat dan hutan.”
Kalau sudah begitu, jika ada gangguan ekosistem atau kerusakan ekosistem terkait laut, hutan, daratan, maka akan mengganggu keseluruhan ekosistem Masyarakat Adat Aru.
Mereka ini berada di hutan dataran rendah dan di kepulauan. Dari sisi ekologi, katanya, daratan kepulauan itu lebih rentan dari daratan skala luas.
Dia pun menyarankan kepada pemerintah, seharusnya dalam melihat pembangunan di wilayah pulau-pulau kecil seperti Aru itu tak boleh disamakan dengan pulau besar. Begitu pun cara memperlakukan masyarakatnya.
“Perlu mendalami lebih dalam sejarah bagaimana mereka itu punya hubungan dengan tanah dan alamnya,” sebut Eko.
Eko bicara keterancaman Kepulauan Aru dengan konsep one health. Eksploitasi berbagai kepentingan terhadap alam Aru termasuk peternakan sapi skala besar, katanya, bukan hanya manusia atau masyarakat adat yang terancam karena ruang hidup bakal hilang tetapi alam dan isinya.
“Hutan, laut dengan keragaman hayati yang ada,” sebut dosen yang juga peneliti dari Sajogjo Institute ini.
Dalam perspektif one health, katanya, tak bisa melihat satu kesehatan ekosistem hanya manusia, atau tumbuhan atau hewan atau lingkungan saja. Pendekatan ini, katanya, melihat krisis ekosistem secara terintegrasi. Kerusakan alam, katanya, akan menyebabkan ancaman kepada manusia, hewan dan flora yang ada.
Hal inilah yang rawan terjadi di Kepulauan Aru, kala berbagai kepentingan seperti investasi skala besar masuk, mengalihfungsikan hutan dan lahan di sana, lingkungan rusak, flora dan fauna endemik terancam, sumber kehidupan manusia dari bahan pangan seperti sayur mayur, buah-buahan maupun obat-obatan sampai protein hewani bahkan budaya bisa hilang. Kesehatan lingkungan hidup, hewan, tumbuhan dan manusia bisa terganggu.
Ketika hilang satu mata rantai dari ekosistem itu, katanya, berakibat pada lumpuhnya kesatuan ekosistem. “Itu yang kita khawatirkan, ketika hutan sebagai ekosistem yang menjaga mata rantai itu rusak.”
Dengan konsep one health ini, katanya, dalam memberikan advokasi atau perlindungan tak cukup hanya terhadap masyarakatnya dengan pemenuhan hak dasar, juga bagaimana perlindungan terhadap lingkungan hidup, atau alamnya.
“Gak bisa lagi kita menggunakan monodisipliner keilmuan untuk menangani krisis ekologi. Kita mesti naik tingkat jadi multi atau inter bahkan trans disipliner keilmuan untuk menangani krisis.”
Dia contohkan, perlindungan Masyarakat Adat Aru, tak bisa hanya dengan beri pengakuan terhadap wilayah adat, tetapi hutan atau laut tetap tereksploitasi dan rusak. Perlindungan terhadap Masyarakat Aru berarti memastikan pengakuan wilayah sekaligus ruang hidup mereka ini seperti hutan sampai lautan dengan keragaman hayatinya terjaga.
Masyarakat Adat Aru seperti Yosias, Otneil, Obaja, Ribka dan yang lain, juga mengharapkan negara melindungi alam tempat Masyarakat Aru menggantung hidup dan jalankan ritual adat.
“Kami tegas tidak menerima karena katong mengingat katong punya anak cucu punya masa depan. Kalau sampai katong menerima lalu pengusaha melakukan usaha di katong punya lahan ini, entah masa depan katong ini seperti apa?” kata Yosias. (Bersambung)
**********
- Liputan ini kolaborasi antara Mongabay Indonesia, Metro Maluku dan Titastrory.id serta Forest Watch Indonesia. Tim liputan: Reporter: Chist Belseran, Della Syahni dan Indra Nugraha. Editor: Sapariah Saturi. Kurasi foto: Ridzki R Sigit. Liputan ini atas dukungan Earth Journalism Networks (EJN).
- Liputan ini juga dimuat di Mongabay Indonesia