Air Sungai Sagea, berubah warna dari jernih jadi oranye kecoklatan pada Agustus lalu. Masyarakat pun khawatir gunakan air untuk keperluan sehari-hari. Pemerintah Maluku Utara nyatakan, hasil uji air masih sesuai baku mutu untuk kategori sungai kelas dua. Berbagai kalangan menduga, aktivitas pertambangan di hulu Sungai Sagea dan Goa Karst Bokimaruru, menyebabkan perubahan air di Desa Sagea dan Kiya, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara ini.
Fahrudin Tukuboya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Maluku Utara, dalam konferensi pers daring 12 September lalu menyampaikan air Sungai Sagea, yang mengalami perubahan warna masih dalam kondisi aman. Mereka uji air dengan lembaga uji independen, PT Analitika Kalibrasi Laboratorium (Ankal), di Kota Bogor, Jawa Barat. “Pengambilan sampel sesuai standar SNI 8995:2021 tentang metode pengambilan contoh uji air untuk pengujian fisika dan kimia. Lokasi sampel adalah satu titik di sekitar Gua Boki Maruru. Aliran air dari Gua Boki Maruru, pada 14 Agustus,” kata Tukuboya
Hasil uji juga memperlihatkan Sungai Sagea masuk kategori sungai kelas dua. Dalam kategori itu berarti air Sagea bisa untuk prasarana rekreasi air, budidaya ikan air tawar, peternakan, pengairan pertanian, dan tujuan lain yang memerlukan mutu air sama dengan kegunaan itu. “Kualitas air ini masih sangat mendukung kehidupan biologis dan fisik di Sungai Sagea,” katanya.
Setelah menerima hasil uji kualitas air pada 11 September, dia bilang, memerintahkan pengambilan sampel air terbaru untuk uji kembali hingga ada pemantauan berkala. Dia pun persilakan para pihak melakukan uji kualitas air Sagea dengan lembaga uji independen yang mereka inginkan.
BENARKAH AMAN ?
Apa kata Koalisi Peduli Sagea? Gerakan yang menyuarakan penyelamatan Sagea terdiri dari Forest Watch Indonesia (FWI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Trend Asia, dan Masyarakat Speleologi Indonesia anggap pemerintah daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) tidak serius tangani kasus Sungai Sagea.
“Pemerintah daerah ingin mempertaruhkan keselamatan warga,” bunyi rilis koalisi ini.
Koalisi menyoroti beberapa kejanggalan dari hasil uji lab kualitas air yang dipaparkan DLH Maluku Utara.
Pertama, DLH Malut mengklaim pengujian kualitas air merupakan langkah cepat dan terukur. Padahal, DLH resmi bersikap baru 30 Agustus lalu.
Kedua, waktu pengambilan sampel yang tertera 14 Agustus, saat itu isu Sungai Sagea belum mendapat tanggapan apa-apa dari pemerintah.
Ketiga, lampiran dokumentasi sampling dalam presentasi merupakan dokumentasi yang sama dipaparkan PT Weda Bay Nickel (WBN) saat rapat pembentukan Tim Terpadu 30 Agustus lalu.
“Sementara WBN adalah pihak yang diduga kuat sebagai pihak yang menyebabkan Sungai Sagea bermasalah,” bunyi rilis itu.
Keempat, DLH menjelaskan kalau kualitas air Sungai Sagea layak sesuai baku mutu pada kriteria sungai kelas dua untuk peruntukan prasarana, sarana, rekreasi air, budidaya ikan, pengairan tanaman hingga seluruh parameter di bawah standar nilai baku mutu.
Padahal, Sungai Sagea selama ini sebagai sumber air minum masyarakat yang harusnya klasifikasi sungai kelas satu. Kalau pakai klasifikasi sungai kelas satu, katanya, maka hasil analisis ada beberapa parameter yang melebihi ambang batas baku mutu. Selain itu, tidak ada data pembanding hasil uji parameter kualitas air sebelum dan sesudah kejadian dugaan pencemaran.
“Kami menilai hasil uji kualitas air yang sudah dipaparkan tidak bisa mewakili kondisi sungai secara utuh dan tidak bisa jadi dasar menyatakan Sungai Sagea dalam kondisi baik secara kualitas air, justru sebaliknya,” kata Adlun Fiqri, juru bicara Koalisi Save Sagea.
Dia bilang, harus ada uji kualitas air secara temporal dalam rentang waktu panjang dan spasial (mewakili kondisi hulu, tengah, dan hilir. Pengambilan sampel oleh DLH, katanya, juga tidak memenuhi kaidah metodologi yang benar yang merepresentasikan wilayah hulu, tengah dan hilir karena hanya di satu lokasi. Hasil uji pun, katanya, hanya sekali. DLH Maluku Utara, sebagai bagian dari Tim Terpadu dinilai berjalan sendiri tanpa berkoordinasi dengan tim yang sudah dibentuk.
“Bagi kami tidak ada transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses sampling sebagaimana telah disepakati sebelumnya bahwa masyarakat harus dilibatkan,” katanya.
Eko Teguh Paripurno, dari Pusat Studi Manajemen Bencana UPN “Veteran” Yogyakarta, memberikan pendapat terhadap fenomena di Sungai Sagea ini.
Pemerintah daerah, seharusnya menjalankan mandat Peraturan Pemerintah No 22/2021 tentang penyelenggaraan dan perlindungan lingkungan.
Sikap pemerintah daerah, katanya, dinilai tidak ada itikad baik melindungi tubuh air untuk menjamin kualitas hidup warga. Investigasi yang dilakukan pemerintah, katanya, harus melibatkan masyarakat bukan sekadar. Dia bilang, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan tim yaitu :
Pertama, investigasi lapangan terutama pada wilayah jalur yang dibuka akses jalan. Ini untuk menyusuri trase jalan dan memetakan titik-titik sedimen berupa tanah dan lumpur sebagai material kupasan yang terhubung dengan alur-alur Sungai Sagea di bagian hulu maupun tengah.
Kedua, uji kualitas air berkala dengan menggunakan metode sampling proper dan sesuai kaidah akademis yang dapat mewakili sampling pada wilayah hulu, tengah dan hilir.
Ketiga, kajian suspended load (muatan sedimen melayang yang terdiri dari pasir halus dan bergerak secara melayang dalam aliran) dan bed load (muatan sedimen dasar adalah butiran material dengan ukuran yang besar bergerak di dasar) Sungai Sagea.
“Untuk mengetahui muatan sedimen yang berada di permukaan dan di dasar sungai dari hasil sedimentasi yang dihasilkan.”
PEMETAAN KOALISI
Sebelum itu, Koalisi Save Sagea lakukan pemetaan menemukan setidaknya ada lima izin tambang beroperasi di belakang sumber air warga. Perusahaan-perusahaan itu adalah PT Weda Bay Nickel (WBN), PT Halmahera Sukses Mineral (HSM), PT Tekindo Energi (TE), PT Karunia Sagea Mineral (KSM), dan PT Fist Pasific Mining.
Adlun menduga perusahaan-perusahaan itu terintegrasi dengan kawasan industri nikel, PT Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang sedang gencar produksi nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Kawasan industri IWIP beroperasi selama lima tahun sejak diresmikan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koodrinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada 2018. Namun, kata Adlun, daya rusak begitu luas hingga menyebabkan sungai-sungai tercemar, seperti, Sungai Sagea. “Selama lima tahun ini kami terpaksa hidup di tengah kerusakan lingkungan yang parah, air, sungai dan udara tercemar,” kata Adlun, dalam diskusi daring belum lama ini.
Sungai Sagea sejak dulu jadi sumber kehidupan masyarakat di Sagea dan Kiya. Sungai ini terhubung dengan Goa Karst Bokimaruru–yang menjadi destinasi wisata. Hingga awal September, kata Dani, pemuda Sagea, sungai itu belum benar-benar pulih seperti sedia kala. “Kondisi air saat ini sudah mulai jernih tapi warga belum berani konsumsi Sungai Sagea,” katanya lewat pesan singkat kepada Mongabay.
Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat menyatakan, daya tampung dan daya dukung Sungai Sagea dan sungai-sungai lain di lingkar kawasan industri IWIP telah terlampaui. Pemerintah dan perusahaan kendaraan listrik sebagai calon pembeli, katanya, perlu mengaudit tata kelola aspek sosial dan lingkungan dari IWIP. Salah satu instrumen yang dapat digunakan ialah kriteria Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) yang rilis Juni 2018. Kriteria IRMA dapat melengkapi produk hukum nasional dalam mengawasi kualitas air sungai di sekitar kawasan industri IWIP. Sebenarnya, kata Pius, pengembangan kawasan industri nikel di Halmahera Tengah juga harus sejalan dengan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang dirumuskan pemerintah daerah. Persoalannya, sejauh mana kajian ini telah dipertimbangkan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan RPJMD mereka. “Jika sudah dipertimbangkan, apakah KLHS mereka telah mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan perairan yang turun akibat kawasan industri nikel? Perlu ada evaluasi instrumen pengelolaan lingkungan,” kata Pius.
Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitar punya perbedaan kalau dibandingkan dengan pulau-pulau besar yang lain. Halmahera, katanya, memiliki karakteristik DAS sempit dan pendek. Anggi Putara, Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) memaparkan, pendekatan pemanfaatan perlu kehati-hatian dan tidak bisa generalisasi. Sayangnya, dari data FWI, izin tambang nikel seluas 201.000 hektar, sudah keluar kepada 43 perusahaan di Maluku Utara. Hal ini, katanya, justru membebani Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitar. Seluas 180.587 hektar justru berada di hutan lindung dan hutan produksi. Kondisi ini, kata Anggi, berdampak pada memburuknya situasi di Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitar. Dari analisis mereka terjadi kerusakan hutan di dalam konsesi pertambangan nikel dari 2017-2021 sebesar 7.565 hektar. Dia perkirakan, kerusakan hutan akan makin parah hingga mencapai 157.000 hektar ke depan karena ulah pertambangan nikel ini
Catatan :
- Air Sungai Sagea jadi sumber kehidupan masyarakat sehari-hari termasuk untuk air minum. Namun, masyarakat cemas ketika air Sungai Sagea berubah warna dari jernih jadi oranye kecoklatan pada Agustus lalu diduga karena aktivitas tambang di hulu. Namun, Pemerintah Maluku Utara nyatakan, hasil uji air masih sesuai baku mutu tetapi untuk kategori sungai kelas dua.
- Koalisi menyoroti beberapa kejanggalan dari hasil uji lab kualitas air yang dipaparkan DLH Maluku Utara. Sungai Sagea, selama ini sebagai sumber air minum masyarakat yang harusnya klasifikasi sungai kelas satu. Kalau pakai klasifikasi sungai kelas satu, maka hasil analisis ada beberapa parameter yang melebihi ambang batas baku mutu.
- Eko Teguh Paripurno, dari Pusat Studi Manajemen Bencana UPN “Veteran” Yogyakarta, mengatakan, sikap pemerintah dinilai tidak ada itikad baik melindungi tubuh air untuk menjamin kualitas hidup warga.
- Anggi Putara, Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) mengtakan, pendekatan pemanfaatan lahan perlu kehati-hatian dan tidak bisa generalisasi. Sayangnya, dari data FWI, izin tambang nikel seluas 201.000 hektar, sudah keluar kepada 43 perusahaan di Maluku Utara. Hal ini, justru membebani Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitar. Seluas 180.587 hektar berada di hutan lindung dan hutan produksi.
Diterbitkan oleh : Sapariah Saturi
- Tulisan ini juga dimuat di Mongabay Indonesia