Menjadi perusahaan karet alam berkelanjutan terkemuka di dunia adalah visi PT Royal Lestari Utama. Dalam situsnya, perusahaan yang berdiri pada 2015 ini menyatakan berkomitmen terhadap upaya nol deforestasi, mendukung pengembangan masyarakat lokal, dan melindungi habitat satwa liar yang populasinya terancam di area konsesi yang dimilikinya.
PT Royal Lestari Utama (RLU) awalnya dibentuk secara patungan oleh Michelin Group dan Barito Pacific Group dengan komposisi saham 49 persen : 51 persen. Struktur kepemilikan ini berubah setelah Michelin membeli semua saham Barito pada 21 Juni 2022. PT RLU memiliki dua anak usaha, yaitu PT Lestari Asri Jaya (LAJ) yang area konsesinya di Kabupaten Tebo, Jambi, dan PT Multi Kusuma Cemerlang di Kalimantan Timur.
PT LAJ awalnya dimiliki oleh PT Barito Pacific Group dan memperoleh izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu industri-hutan tanaman industri dari Menteri Kehutanan pada 2010. Area konsesi hutan tanaman industrinya seluas 61.495 hektare, berada di empat kecamatan di sisi barat Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, yakni Sumay, Serai Serumpun, VII Koto Ilir, dan VII Koto.
PT RLU dipromosikan sebagai proyek hijau dan kemudian mendapat obligasi keberlanjutan dari Tropical Landscapes Finance Facility pada 2018. Sebagai bagian dari pendanaan hijau itu, ada komitmen yang akan dipenuhi, termasuk menghentikan deforestasi serta melindungi habitat satwa liar yang populasinya terancam.
Laporan kolaborasi Tempo dan Voxeurop mendapati bahwa daerah yang konsesinya dimiliki PT LAJ itu memang mulai kehilangan tutupan hutannya sebelum 2018. Namun praktik itu terus terjadi saat PT LAJ beroperasi. Meski mendapat pendanaan yang memakai label hijau, pembukaan lahan masih terjadi untuk memenuhi target produksinya.
Selain soal deforestasi, laporan Tempo juga mencatat adanya konflik lahan antara perusahaan dengan warga serta masyarakat adat Suku Anak Dalam. Dampak lainnya dari proyek karet itu adalah terancamnya ekosistem gajah yang itu memicu konflik dengan manusia, yang berujung pada terjadinya kasus kematian.
PETA AREA PT LESTARI JAYA SITE SUMAY
Deforestasi di Area Konsesi
Area konsesi PT LAJ di Tebo, Jambi, dulunya adalah bagian dari wilayah hak pengusahaan hutan (HPH) PT Industries et Forest Asiatiques (IFA), perusahaan kayu Prancis yang kemudian dimiliki Barito. Menurut Rudi Syaf, Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, perusahaan itu mendapatkan konsesinya pada 1970-an dengan luas sekitar 100 ribu hektare.
Pada masa itu, kata Rudi, pemegang HPH mengambil kayu secara selektif. Kayu berdiameter di atas 60 sentimeter diambil, sementara yang di bawah ukuran itu tak disentuh. Situasi berubah drastis setelah terjadi reformasi politik pada 1998. Tak lama kemudian izin PT IFA berakhir. “Setelah reformasi, area ini banyak dirambah,” ucap Rudi, Senin, 10 Oktober 2022.
Sumbasri, warga Pemayungan, Kecamatan Sumay, yang menetap di daerah ini sejak 1975, mengatakan, setelah izin PT IFA berakhir, banyak perusahaan lebih kecil yang beroperasi di daerah tersebut. Perusahaan yang umumnya berbentuk persekutuan komanditer atau CV ini mengambil semua kayu, yang berdiameter besar ataupun kecil. “Setelah PT IFA itu kayu sudah banyak berkurang,” tutur Sumbasri saat ditemui di rumahnya, Rabu, 2 Februari 2022.
Sumbasri mengatakan pada 1990-an bukan hanya perusahaan yang mengambil kayu di hutan Tebo. Sejumlah warga, termasuk dia, melakukan hal yang sama tapi dengan skala terbatas. Ia bersama warga desa biasa mengambil kayu berukuran besar yang kemudian dipotong menjadi sepanjang sekitar 4 meter. Pohon yang diambil hanya yang di dekat sungai agar mudah dibawa keluar dari Tebo menuju Kota Jambi.
Sebelum 2008, pengangkutan kayu dari area ini masih mengandalkan aliran sungai. Semua berubah setelah ada jalan koridor selebar 12 meter yang membentang dari area konsesi PT Tebo Multi Agro di barat laut taman nasional menuju jalan lintas Sumatera. Jalan yang dibangun pada 2005 dan rampung tiga-empat tahun kemudian itu juga melintasi area konsesi PT LAJ.
Menurut Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia, area yang kemudian menjadi lahan konsesi PT LAJ itu sudah kehilangan banyak hutan pada tahun-tahun sebelumnya. Hasil analisis berdasarkan data yang diolah dari peranti lunak Nusantara Atlas menunjukkan sebanyak 13 ribu hektare hutan di area konsesi itu hilang pada 2001-2010.
Koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan mengkategorikan lahan konsesi PT LAJ sebagai hutan. Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Frankfurt Zoological Society, Eyes on the Forest, dan WWF Indonesia dalam laporan berjudul “Last Chance to Save Bukit Tigapuluh” yang dirilis pada 14 Desember 2010 menyatakan, dari empat blok konsesi PT LAJ, hanya blok III yang tidak memiliki hutan alam lagi.
Area konsesi PT LAJ, bersama lahan di sekitarnya yang dimiliki perusahaan lain, membentuk hutan penyangga seluas 320 ribu hektare bagi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Perusahaan pemilik konsesi lain adalah PT Tebo Multi Agro, PT Wirakarya Sakti (milik Sinar Mas Group), PT Alam Bukit Tigapuluh, serta PT Wanamukti Wisesa (satu induk perusahaan dengan PT LAJ).
Laporan koalisi LSM ini juga mengkategorikan kawasan di sisi barat taman nasional itu sebagai habitat satwa yang dilindungi. Setidaknya ada populasi 30 harimau, 150 gajah Sumatera, dan 130 orang utan di sana. Mereka merekomendasikan perluasan taman nasional untuk melindungi sebanyak mungkin hutan alam yang tersisa di lanskap ini, penghentian pemberian izin yang membuka hutan alam, dan penyetopan pembangunan jalan.
Seruan itu tak menghentikan pemberian izin konsesi sehingga perubahan tutupan hutan menjadi tidak terhindarkan. Penanaman karet di area konsesi ini dimulai dengan pembersihan lahan secara total. Semua yang berada di atas lahan itu, dari kayu sampai belukar, dibersihkan. “Dibabat habis tak bersisa,” kata Abdullah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, Kamis, 13 Oktober 2022. Cara ini biasanya ditempuh untuk mempermudah pengukuran jarak tanam serta penanaman dan perawatan.
Tidak tersedia data pasti berapa area yang sudah dibuka PT LAJ untuk memulai penanaman karetnya pada 2011-2014. Menurut laporan PT RLU yang berjudul “South East Asia’s First Sustainability Project Bond” yang diunggah di situs Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF), PT LAJ menanam karet di area konsesi seluas 5.986 hektare sampai 2014.
Menurut kalkulasi Sapta Ananda, setelah 2010, tercatat kehilangan hutan yang signifikan di daerah ini. Berdasarkan data yang diolah dari Nusantara Atlas, luas hutan yang hilang per tahun adalah 3.041 hektare pada 2011, 12.642 hektare (2012), 10.532 hektare (2013), dan 6.059 hektare (2014). Laju berkurangnya hutan ini berlanjut saat Barito mulai bicara dengan Michelin.
Kontak Barito dengan Michelin dimulai pada 2013. Tujuan awalnya adalah meminta masukan teknis tentang proyek perkebunan di Jambi. Setelah itu, ada pembicaraan intensif hingga keduanya sepakat membangun perusahaan patungan bernama PT RLU itu. Michelin menyuntikkan dana US$ 55 juta ke perusahaan ini.
Dalam siaran pers peluncuran perusahaan baru ini pada 18 Mei 2015 dikatakan PT RLU dibuat untuk memproduksi karet alam yang ramah lingkungan. Proyek ini juga melibatkan reboisasi di tiga area konsesi, yang mewakili total luas 88 ribu hektare, yang dirusak oleh deforestasi tak terkendali.
Perkebunan di Jambi itu ditargetkan menghasilkan karet alam sekitar 80 ribu ton per tahun. Proyek ini pada akhirnya akan menciptakan lebih dari 16 ribu lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Perusahaan baru ini juga memiliki komitmen NDPE atau No Deforestation, No Peat, and No Exploitation melalui pemegang sahamnya.
Proyek karet ini mendapat suntikan dana baru tiga tahun kemudian. Dalam siaran pers Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada 26 Februari 2018, dikatakan TLFF-proyek kemitraan antara UNEP, World Agroforestry Centre, ADM Capital, dan BNP Paribas-menyalurkan obligasi berkelanjutan senilai US$ 95 juta untuk mendanai PT RLU dalam program pengendalian iklim, ramah satwa liar, dan produksi karet alam yang inklusif secara sosial.
Namun, komitmen nol deforestasi PT RLU dipertanyakan secara resmi oleh Mighty Earth, lembaga advokasi lingkungan berbasis di Washington, DC, Amerika Serikat. Dalam laporan berjudul “Complicit: An Investigation into Deforestation at Michelin’s Royal Lestari Utama Project in Sumatra, Indonesia” yang ditulis oleh Alex Wijeratna, Michelin dituding terlibat dalam upaya menutup-nutupi deforestasi dalam skala industri di Jambi.
Dalam laporan yang dirilis pada September 2020 itu dikatakan, selama pertengahan Juni 2012 hingga pertengahan Januari 2015, terdapat kawasan hutan seluas 2.590 hektare di salah satu wilayah konsesi kunci PT RLU yang dideforestasi secara signifikan sebagai langkah awal pembukaan lahan perkebunan karet.
Kajian dan analisis Mighty Earth menemukan Michelin dipastikan menyadari sepenuhnya keterlibatan PT RLU dan PT Lestari Asri Jaya dalam praktik deforestasi berskala industri yang ekstensif dalam pengembangan perkebunan karet itu. Deforestasi yang diteliti melalui dua wilayah studi kasus di blok IV konsesi PT LAJ itu terjadi sebelum perusahaan ban tersebut menyetujui investasi dana sebesar US$55 juta.
Berdasarkan reportase Voxeurop yang berbasis di Paris, Michelin dan BNP Paribas mengetahui adanya deforestasi oleh PT RLU. Proses sertifikasi oleh Vigeo Eiris tidak memperhitungkan laporan tentang hal itu. Vigeo Eiris adalah perusahaan Prancis yang memberikan penilaian terhadap proyek RLU sesuai dengan definisi umum Asosiasi Pasar Modal Internasional (ICMA) tentang obligasi hijau.
Mighty Earth bersurat kepada Climate Bonds Initiative (CBI) pada 11 Maret 2021, mendesak lembaga itu menyelidiki apakah obligasi hijau TLFF I memenuhi syarat sebagai obligasi berkelanjutan yang terdaftar di CBI. Alex Wijeratna, Direktur Senior Mighty Earth, mengatakan belum ada jawaban atas surat itu. “Obligasi keberlanjutan harus dihapuskan dari pasar obligasi hijau CBI karena menyesatkan. Aktor utamanya gagal mengungkapkan informasi tentang deforestasi yang meluas di dalam proyek itu,” ucapnya, Senin, 12 September 2022.
Menurut analisis Greenpeace Indonesia, kehilangan hutan juga terjadi setelah PT RLU mencanangkan komitmen nol deforestasi pada 2015. Dari data Nusantara Atlas didapatkan pada 2015 ada kehilangan hutan alam seluas 2.782 hektare dan pada 2016 seluas 2.093 hektare. Setelah itu jumlahnya mengecil. Sampai 2021, luas hutan yang diperkirakan hilang sebanyak 6.267 hektare.
Dalam jawaban tertulis kepada Tempo, Kamis, 14 April 2022, direktur PT RLU, Yasmine Sagita, menilai tuduhan adanya deforestasi di area konsesinya itu tidak berdasar. “Faktanya, PT LAJ beroperasi sebagai perusahaan hutan industri berlisensi yang sepenuhnya menghormati dan mematuhi semua hukum Indonesia yang berlaku dan dengan perizinan kehutanan yang tepat,” katanya.
Proyek Hijau atau Greenwashing?
Adanya isu deforestasi, konfliknya dengan masyarakat serta terancamnya habitat gajah yang memicu bentrokan manusia vs gajah, membuat klaim proyek karet hijau Michelin di Tebo Jambi ini dipertanyakan. Hal lain yang juga disoroti adalah soal klaim penanaman karet sebagai bagian dari reforestasi.
Pengajar Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, Bambang Hero Saharjo, mengatakan reforestasi didefinisikan sebagai upaya memulihkan kondisi hutan yang rusak. Artinya, hanya tanaman kehutanan yang bisa ditanam untuk reforestasi. “Karet tidak masuk sebagai tanaman kehutanan,” tuturnya, Kamis, 26 Agustus 2022.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia Mufti Barri memperkuat argumen ini dengan mengatakan sebuah proyek disebut berkelanjutan jika kondisi daerah tempat proyek itu berlangsung sebelumnya lebih buruk daripada saat ini. “Jika sebelumnya berupa hutan kemudian berubah menjadi area karet, itu bukan reforestasi, tapi deforestasi. Karena yang tadinya hutan alam menjadi tanaman monokultur,” ucapnya, Sabtu, 29 Agustus 2022.
Direktur Eksekutif Walhi Jambi Abdullah menilai proyek PT RLU di Jambi masih sangat jauh dari prinsip hijau dan keberlanjutan. “Pada praktiknya, ada penghancuran sumber daya alam dan pembabatan hutan untuk industri monokultur,” katanya, Kamis, 13 Oktober 2022. Ia menyatakan, penanaman karet di Tebo itu dicitrakan sebagai proyek hijau dan keberlanjutan semata untuk mendapatkan obligasi.
Direktur Eksekutif Satya Bumi Annisa Rahmawati mempertanyakan soal cara PT RLU menjalankan proyek karet berkelanjutannya. Ia menjelaskan, intimidasi dan kriminalisasi jauh dari sifat “keberlanjutan” dan “hijau” dari suatu proyek yang mendapatkan obligasi hijau. “Kalau tidak dilakukan dengan benar, jadinya greenwashing,” ucapnya, Senin, 22 Agustus 2022. Greenwashing, Annisa menjelaskan, adalah tindakan membuat sesuatu, termasuk produk, yang tampak lebih ramah lingkungan dari yang sebenarnya.
Tempo meminta penjelasan RLU tentang tudingan melakukan praktik greenwashing ini. Dalam jawaban tertulis bertanggal 29 Agustus 2022, PT RLU tak menjawab pertanyaan mengenai hal ini dan hanya menjelaskan upaya perusahaan menyelesaikan masalah di area konsesinya, termasuk yang berhubungan dengan suku Anak Dalam. “Perusahaan mengedepankan proses dialog dengan melibatkan para pemangku kepentingan.”
Sumber tulisan ini berasal dari interaktif.tempo.co