Menanti Penetapan Negeri Adat di Kepulauan Aru

  • Masyarakat Aru syukuran atas pengakuan terbitnya peraturan daerah atas keberadaan Masyarakat Adat Ursia Urlima, Kepulauan Aru, Maluku, September lalu.  Penetapan itu tertuang lewat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 20/2022.  
  •  Setelah pengesahan Perda Pengakuan Masyarakat Adat Ursia Urlima di Kepulauan Aru, perlu segera lanjut  penetapan negeri adat dan wilayah adatnya.
  •  Elly Darakay Ketua Pembina Adat Ursia Urlima, mengatakan, pengakuan keberadaan Masyarakat Adat Ursia Urlima merupakan langkah awal untuk memperjuangkan pengakuan dan penetapan sebagai negeri atau desa adat. Seluruh masyarakat adat harus tetap bersatu agar dapat mempertahankan hak ulayat.
  •  Forest Watch Indonesia (FWI) dalam penelitian menyebutkan, 96% hutan di Kepulauan Aru, adalah milik negara.  Dengan begitu peluang masuk investor Aru sangat besar, seperti lewat izin pemerintah pusat. Untuk itu, sangat penting pengusulan hutan adat. Lewat pengusulan hutan adat, sebagian hutan di Aru masih bisa diselamatkan dari perusakan, karena masyarakat adat adalah sang penjaga hutan yang sejati.

Masyarakat Aru syukuran atas pengakuan terbitnya peraturan daerah atas keberadaan Masyarakat Adat Ursia Urlima, Kepulauan Aru, Maluku, September lalu.  Penetapan itu tertuang lewat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 20/2022.  Setelah penetapan perda ini, apa langkah selanjutnya?

Elly Darakay,  Ketua Pembina Adat Ursia Urlima, bersyukur, perda melindungi Masyarakat Adat Aru telah disahkan. Pesta masyarakat adat ini, katanya,  bentuk kegembiraan dan syukur kepada Tuhan dan leluhur.

“Kita gembira, saat ini pemerintah telah mengakui Masyarakat Adat Ursia Urlima di Kepulauan Aru. Ini satu langkah maju bagi masyarakat adat dalam mempertahankan dan melindungi hak dan eksistensinya,” katanya dalam sambutan.

Produk hukum pemerintah daerah itu, katanya, buah perjuangan panjang dari berbagai pihak bersama Masyarakat Adat Aru. Mereka antara lain, Forest Watch Indonesia, Papua Study Center, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan lain-lain.

Pengakuan Ursia Urlima, kata Darakay, juga langkah awal untuk memperjuangkan pengakuan dan penetapan sebagai negeri atau desa adat.

Ada banyak upaya sejumlah pihak untuk memecah belah masyarakat adat. Untuk itu, seluruh masyarakat adat harus tetap bersatu agar dapat mempertahankan hak ulayat.

Rosina Gealagoy, perempuan adat dari Desa Marfenfen berharap, perda adat mampu melindungi eksistensi Masyarakat Adat Aru.

“Tidak ada lagi masyarakat adat yang menangis karena kehilangan hak ulayat dan tempat tinggalnya,” katanya. 

Kepulauan aru
Aksi Masyarakat Adat Marafenfen di depan Kantor Pengadilan Negeri Dobo. Masyarakat Adat Marafenfen bersengketa lahan dengan TNI. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

Usai sambutan, piring berisi nasi dan lauk sederhana diedarkan kepada para tetua adat dan tamu yang hadir untuk ikut merasakan kegembiraan dalam perayaan pesta adat.  Makanan disantap bersama-sama sebagai bentuk syukuran.

Acara lanjut dengan pementasan musik, lagu, tarian maupun puisi oleh Rumah Sastra Arafura.

Rumah Sastra Arafura, selama ini aktif mendukung dan kampaye menolak investasi yang merusak hutan dan mengancam masyarakat adat. Protes kebijakan pemerintah yang membiarkan hutan Aru dirusak, melalui seni dan teater.

Malam itu, ratusan anak muda Aru, tampil meneriakkan protes dan kegelisahan hati atas kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada masyarakat adat.

Protes atas perampasan ruang hidup masyarakat adat yang masih terus terjadi, dan eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan diteriakkan Semmy dan kawan-kawan lewat irama yang menghentak.

“Lawan.” Begitu teriakan mereka.

Semmy, musisi asal Aru ini mengatakan, lewat musik dan lagu mengajak pemuda dan anak-anak Aru untuk tetap menjaga nyala api dan semangat perjuangan menjaga tanah. Karena ke depan ancaman masih mengintai bumi cenderawasih ini.

“Kami tidak ingin nyanyian cenderawasih di hutan Aru terhenti, karena itu identitas dan jati diri kami,” katanya.

Penetapan Negeri Adat

Dari penelitian Pusat Study Center (PSC) menjelaskan, penerbitan perda ini setelah mengikuti tahap pengusulan panjang mulai legalitas kesediaan dan kesiapan masyarakat adat, seperti surat permohonan, surat tugas, surat kuasa.

Juga, peta wilayah adat seperti peta batas, tutupan lahan dan peta tata ruang kawasan adat, dan profil komunitas informasi kewilayahan.  Lalu, sejarah, hukum adat, kelembagaan adat, kearifan lokal, keanekaragaman hayati, serta berita acara tata batas wilayah adat.

Implementasi perda pengakuan masyarakat adat ini,  sebut PSC, memerlukan proses panjang di level birokratis maupun komunitas.

Di level birokratis, implementasi perda menunggu peraturan bupati keluar, pembentukan tim pelaksana perda, dan anggaran besar.

Pada level komunitas, implementasi perda memerlukan konsolidasi antar komunitas guna mempercepat pemetaan wilayah adat dan tata batas, pemetaan sosial maupun wilayah. Juga perlu tim di tiap komunitas yang terhubung dengan tim pemetaan dari berbagai NGO pendamping yang bekerja di Kepulauan Aru.

“Terima kasih atas dukungan dari Bupati Kepulauan Aru, Johan Gongga dan DPRD yang ikut bekerja keras hingga Perda Nomor 20/2022 terbentuk,” kata Ely Darakay.

Perda ini, katanya,  penting dan strategi bagi Masyarakat Adat Aru, guna menjamin dan memastikan penghormatan semua pihak, terhadap keberadaan mereka dan wilayah adatnya.

Perda ini, katanya, langkah awal dalam memperjuangkan pengakuan dan penetapan sebagai negeri adat.

Dia berharap,  masyarakat adat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah, disamping ada keberpihakan dari sisi anggaran.

Dia bilang, ada Permendagri 52/2014, tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Untuk itu, perjuangan masih lanjut untuk pembentukan dan penetapan negeri atau desa adat serta wilayah adatnya.

Johan Gonga, Bupati Kepulauan Aru, dalam kegiatan sosialisasi dan pelatihan penguatan pemahaman Perda Adat mengatakan,  sosialisasi bagian dari upaya pemerintah daerah mendukung dan mengedukasi masyarakat terkait peraturan daerah yang memiliki dampak penting bagi masyarakat adat.

Gonga mengatakan, sosialisasi ini merupakan wujud kolaborasi antara pemerintah daerah bersama Majelis Adat Ursia-Urlima.

Majelis adat, katanya, adalah perwakilan hukum adat di Kepulauan Aru yang memiliki kepentingan langsung dengan peraturan daerah itu.

Eko Cahyono dari PSC mengemukakan,  berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat adat di berbagai daerah.

kepualauan aru
Lansekap pulau-pulau kecil di Kepulauan Aru bagian tengah. Dok: FWI/2021

Masyarakat adat, katanya, terpaksa menghadapi pembangunan dan pertambangan. Wilayah dan eksistensi mereka terancam, sebagai dampak dari pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam besar-besaran.

Untuk itu, perlu segera penetapan negeri adat untuk menyelamatkan ruang hidup dan hak ulayat masyarakat adat.

“Perlu siapkan profil dan peta wilayah negeri adat karena putusan Mahkamah Konstitusi  2021, hutan adat sudah dipisahkan dari hutan negara. Harus ada perda untuk pengakuan hutan adat,” kata Eko.

Selain itu Kepulauan Aru, saat ini “digempur” perebutan politik investasi. Eko merinci,  ragam masalah utama antara lain ancaman berulang land rabbing perkebunan tebu PT Menara Group, pengembangan wilayah TNI AL di wilayah adat, politik pemekaran wilayah Aru Perbatasan.

Juga,  potensi ancaman dari industri perternakan sapi, ekspansi pembalakan ilegal di Hutan Aru, perluasan HTI, ketiadaan pengakuan masyarakat adat dan marjinalisasi mereaka dari ruang hidup. Ada juga politik adu domba antar adat dan rakyat Aru.

Dosen sosiologi di IPB University ini mengatakan, makna perda adat bagi masyarakat di Kepulauan Aru. Pertama, masyarakat adat “kembali sah” sebagai “warga negara” Indonesia atas tanah air sendiri.

Kedua, eksistensi, sistem nilai, pengetahuan dan seluruh ruang hidup masyarakat adat telah legal ada “pemiliknya”: bukan ruang kosong dan tanpa penghuni;

Ketiga, negara berkewajiban memberikan hak dasar pada masyarakat adat sebagaimana warga negara lain di Indonesia. “Hak hidup layak, hak atas keberlanjutan alam, hak mendapat pekerjaan, hak berserikat dan berpendapat, hak perlindungan, hak keadilan antar generasi.”

Keempat, negara dilarang diskriminasi, kriminalisasi, kekerasan dan perampasan hak masyarakat adat. Kelima, Implementasi perda adat akan jadikan Pemerintah Aru sebagai wakil pemerintah di daerah dalam melaksanakan mandat Pancasila.

Keenam, implementasi perda adat di Aru ini akan jadi pintu gerbang kedaulatan masyarakat adat dan inspirasi bagi wilayah lain untuk belajar dari Aru.

“Negara dibentuk untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya, bukan sebaliknya mengabaikan dan meniadakan hak-hak dasarnya,” kata Cahyono.

Sebagian Besar Kawasan Hutan

Forest Watch Indonesia (FWI) dalam penelitian menyebutkan, 96% hutan di Kepulauan Aru, adalah milik negara.  Dengan begitu peluang masuk investor Aru sangat besar, seperti lewat izin pemerintah pusat.

“Itulah sangat penting pengusulan hutan adat. Lewat pengusulan hutan adat, sebagian hutan di Aru masih bisa diselamatkan dari perusakan, karena masyarakat adat adalah sang penjaga hutan yang sejati,” kata Azis Fardhani Jata, peneliti FWI.

Sumber tulisan ini berasal dari Mongabay.co.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top