- Mandatori bahan bakar solar dengan campuran 50% fatty acid methyl ester (FAME) alias biodiesel 50 atau B50, semester II 2026 menuai kritikan masyarakat sipil. Mereka melihat potensi deforestasi, pengingkaran komitmen iklim, hingga menganaktirikan petani swadaya.
- Bahlil secara telanjang menyebut perluasan kebun sawit sebagai salah satu strategi mencapai B50. Sementara, riset Yayasan Madani Berkelanjutan menyebut, kebutuhan CPO untuk biodiesel berpotensi memperluas lahan sawit hingga lebih dari 6 juta hektar.
- Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), bilang, pola pembukaan kawasan hutan lumrah dalam bisnis sawit. Jauh sebelum mandatori B50 tahun depan.
- Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, pelepasan emisi karbon dari alih fungsi hutan untuk kebun sawit mengancam FOLU Net Sink 2030.
Mandatori bahan bakar solar dengan campuran 50% fatty acid methyl ester (FAME) alias biodiesel 50 atau B50, semester II 2026 menuai kritikan berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil. Mereka melihat, risiko deforestasi, pengingkaran komitmen iklim, hingga menganaktirikan petani swadaya.
Sebelumnya, Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bilang, pemerintah mulai uji jalan (road test) bahan bakar ini ke kereta, alat berat, kapal, dan mobil. Perkiraannya, pengujian ini berlangsung 6-8 bulan.
Dengan B50, Ketua Umum Partai Golkar itu optimis pemerintah bisa menghentikan impor solar yang tahun ini jumlahnya 4,9 juta kiloliter. “Kalau ini sudah terlaksana, maka impor BBM, khususnya solar, tidak lagi kita lakukan. Karena sudah memenuhi semua kebutuhan,” ujarnya di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Jumat (24/10/25).
Hingga Januari 2025, pemerintah telah menerapkan mandatori B40. KESDM klaim, hingga September, realisasinya telah mencapai 10,57 juta kiloliter dari target produksi 15,6 juta kiloliter.
Implementasi ini, ucap Bahlil, menghemat devisa Rp93,43 triliun, meningkatkan nilai tambah minyak sawit mentah (CPO) Rp14,72 triliun, menyerap tenaga kerja 1,33 juta orang, dan menurunkan emisi karbon 28 juta ton.
Untuk penuhi kebutuhan minyak sawit mentah dalam B50, katanya, harus intensifikasi lahan sawit, memperluas lahan perkebunan sawit, dan menerapkan wajib pasok domestik (DMO) bagi sebagian ekspor sawit. “Kalau kita memakai B50, tinggal ekspor kita yang kita kurangi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk di dalamnya adalah DMO. Kita lihat itu salah satu alternatif.”
Amran Sulaiman, Menteri Pertanian, memastikan akan pangkas 5,3 juta ekspor minyak sawit mentah pada 2026, demi menyokong program B50. Dia menyebut, produksi minyak sawit mentah Indonesia mencapai 46 juta ton per tahun, tetapi hanya 20 juta ton konsumsi dalam negeri. Sisanya, 26 juta ton, diekspor ke luar negeri. “B50 membutuhkan CPO 5,3 juta ton. Ekspor ini nantinya kita tarik 5,3 juta ton, kemudian dijadikan biofuel, dijadikan pengganti solar,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan.
Picu deforestasi
Bahlil secara telanjang menyebut perluasan kebun sawit sebagai salah satu strategi mencapai B50. Sementara, riset Yayasan Madani Berkelanjutan menyebut, kebutuhan CPO untuk biodiesel berpotensi memperluas lahan sawit hingga lebih dari 6 juta hektar.
Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), bilang, pola pembukaan kawasan hutan lumrah dalam bisnis sawit. Jauh sebelum mandatori B50 tahun depan. “Misalkan di Pulau Sumatera itu trendnya adalah (kebun sawit) memasuki kawasan-kawasan konservasi,” ujar Anggi kepada Mongabay, Rabu (29/10/25).
Kawasan konservasi, lanjutnya, deforestasi rata-rata 10% sebelum 2021. Sedangkan pada 2021-2023, deforestasi di kawasan itu meningkat jadi 16%. “Kalau digabung dengan hutan lindung itu menjadi 35%. Artinya sebetulnya yang akan menanggung beban dari ekspansi sawit untuk memenuhi kebutuhan biodiesel, itu pasti akan masuk ke dalam kawasan konservasi.”
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, luas sawit yang eksis saat ini sudah melampaui daya dukung dan tampung lingkungan. Catatan mereka, jumlahnya mencapai 25,33 juta hektar hingga tahun 2024, sementara batas atas (cap) luas perkebunan nasional cuma 18,15 juta hektar. Akibatnya, bencana ekologis menimpa daerah sekitar perkebunan sawit atau wilayah hutan yang berubah jadi perkebunan. “Bencana banjir, kekeringan di wilayah yang sebenarnya tidak boleh ditanami sawit,” katanya saat Mongabay hubungi.
Ingkari komitmen iklim?
Pemerintah kerap klaim biodiesel bagian dari program transisi energi, bahkan dalam dokumen second nationally determined contribution (SNDC) atau NDC kedua, Indonesia memasukkan biodiesel sebagai upaya mitigasi sektor energi untuk mengurangi bahan bakar fosil.
Menurut Anggi, transisi energi bauran biodiesel yang mengorbankan hutan justru bertentangan dengan komitmen iklim tersebut. Satu sisi, emisi karbon dari sektor energi berkurang dengan peningkatan bauran energi. Sisi lain, emisi di sektor Forest and Other Land Use (FOLU) meningkat karena alih fungsi hutan.
“Jadi ada banyak riset yang menyebutkan pemanfaatan bioenergi, baik itu biofuel atau biomassa, itu justru akan mengalami utang emisi. Jadi emisi yang akan kembali itu dibutuhkan 40-100 tahun agar emisinya kembali nol,” terangnya.
Karena itu, menurutnya, biofuel bukan solusi krisis iklim. Dia sarankan pemerintah mengeluarkan bioenergi, termasuk biofuel, dalam kerangka kerja pengurangan emisi di sektor energi.
Pemerintah, lanjutnya, harus menghitung secara menyeluruh jumlah emisi, tanpa memisahkan antar sektor, seperti energi maupun FOLU. “(Saat ini) perhitungan emisi itu dilakukan tidak secara menyeluruh, sehingga pemanfaatan biofuel itu dianggap nol emisi di sektor energi, padahal menjadi sumber emisi di sektor FOLU, ini keliru!”
Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, pelepasan emisi karbon dari alih fungsi hutan untuk kebun sawit mengancam FOLU Net Sink 2030.
Dalam dokumen SNDC, FOLU Net Sink 2030 sebesar -114 juta ton CO2e, proyeksi 2035, bertambah jadi -88 juta ton CO2e. Selain itu, pemerintah menargetkan mitigasi sektor FOLU berupa restorasi lahan gambut 2 juta hektar, pengendalian deforestasi menjadi kurang dari 0,3 juta hektar per tahun dan rehabilitasi lahan terdegradasi 8,3 juta hektar.
Riset Madani, sejak 2020-2023, deforestasi hutan alam di izin sawit selalu menempati tiga besar tiap tahunnya. Selain itu, dari 24,2 juta hektar ekosistem gambut Indonesia, 5,7 juta hektar di antaranya berada di wilayah izin sawit, dan 1,3 juta hektar berupa hutan alam yang esensial di lahan gambut.
“Kebijakan energi tidak boleh lepas dari komitmen iklim. Bila B50 dijalankan tanpa menghitung jejak emisi dari hulu ke hilir, ia justru bisa memperbesar beban karbon sektor AFOLU (agriculture and FOLU),” katanya pada Mongabay.
Rambo mendesak pemerintah mengurungkan mandatori B50 supaya tidak perparah krisis iklim. Dia sarankan pemerintah fokus maksimalkan B40 yang sudah berjalan sejak awal tahun. Dia minta pemerintah tingkatkan produktivitas kebun sawit yang eksis, agar penuhi kebutuhan B40. “Sampai saat ini sudah cukup, lah, B40 dulu, lakukan yang namanya intensifikasi, supaya sawit kita makin produktif, sehingga ekspansi tidak diperlukan.”
Tak memihak petani
Mansuetus Darto, Ketua Umum Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI), menyoal B50. Kebijakan ini berdampak terhadap pasokan bahan baku industri pangan, keseimbangan keuangan Dana Perkebunan (BPDP), dan kesejahteraan petani sawit.
Campuran biodiesel hingga 50%, lanjutnya, akan meningkatkan kebutuhan minyak sawit mentah di sektor energi, sehingga pasokan industri pangan berkurang. “Ini akan menekan pelaku industri dan masyarakat karena harga minyak makan bisa naik lagi. Pemerintah perlu hati-hati dan tidak hanya melihat sisi energi,” ucapnya dalam keterangan tertulis.
Selama ini, pemerintah mensubsidi selisih harga produksi biodiesel yang jauh lebih mahal dari solar fosil, agar harga jual di pasaran tetap terjangkau dan kompetitif. Subsidi itu dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang memungut dana ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
B50, katanya, berdampak pada peningkatan subsidi, sehingga perkecil porsi dana program petani, seperti peremajaan sawit rakyat, sarana-prasarana, dan penguatan sumber daya manusia. “Selama ini hampir 90% dana BPDP digunakan untuk subsidi biodiesel, sementara program bagi petani hanya sekitar 8%. Kalau subsidi terus ditambah, nasib petani makin terpinggirkan.”
Alpian Arahman, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), mengatakan, peningkatan konsumsi domestik minyak sawit mentah untuk biodiesel akan mengurangi volume ekspor, yang selama ini menjadi sumber utama pungutan BPDPKS. “Ini kontradiktif! Kebutuhan subsidi naik, tapi sumber dananya malah turun,” ujarnya.
Efeknya, pemerintah berpotensi menaikkan pungutan ekspor minyak sawit mentah untuk menutup kebutuhan subsidi biodiesel. Maka, perusahaan akan menekan harga tandan buah segar (TBS) sawit dari petani. “Setiap kenaikan pungutan ekspor sebesar 50 dolar per ton CPO bisa menurunkan harga TBS petani sekitar Rp45 per kilogram. Kalau pungutan dinaikkan lagi, petani yang paling menderita.”
Dia mendesak pemerintah mengalokasikan dana perkebunan sawit lebih besar untuk program petani. Selama ini, mayoritas dana itu untuk industri energi, sementara kebutuhan petani seperti bibit unggul, pupuk, infrastruktur, dan peremajaan kebun belum terpenuhi. “Kami meminta pemerintah menyeimbangkan kembali prioritas penggunaan dana BPDPKS. Petani harus menjadi subjek utama, bukan sekadar penonton dari kebijakan biodiesel!”
Sumber berita Mongabay.co.id
