
Bogor, 9 Agustus 2025 — Bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) secara resmi meluncurkan kembali data terkini mengenai status pengakuan wilayah adat di Indonesia. Momentum ini digunakan tidak hanya untuk menyuarakan pentingnya pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dan wilayah adat, tetapi juga menegaskan peran vital masyarakat adat dalam menjaga sumber daya alam, sistem pangan lokal, dan keberlanjutan ekologi Indonesia.
Hal itu sejalan dengan agenda prioritas pemerintahan Prabowo–Gibran yang tercantum dalam “Asta Cita” yaitu melindungi Hak Asasi Manusia, menjamin ketahanan pangan nasional, memperkuat perlindungan lingkungan hidup, dan mendorong pembangunan berkelanjutan yang inklusif. Implementasi agenda ini akan sulit tercapai tanpa memastikan pengakuan dan perlindungan atas hak masyarakat adat, karena wilayah adat adalah sumber pangan lokal, penyerap emisi karbon, sekaligus garda terdepan pelindung keanekaragaman hayati.
Berdasarkan data yang dirilis oleh BRWA (anggota Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat), hingga Agustus 2025 tercatat bahwa lebih dari 33,6 juta hektar wilayah adat (tepatnya 33.646.496 hektar) telah dipetakan dan didaftarkan ke BRWA, mencakup ribuan komunitas masyarakat adat yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Peta wilayah adat adalah manifestasi dari semangat masyarakat adat dalam menunjukkan diri dan menentukan nasibnya sendiri dalam menjaga dan mengelola wilayah adatnya. Namun, dari luas wilayah adat yang telah terpetakan tersebut, baru 18,9 % yang telah diakui secara hukum oleh Negara melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah. Perkembangan pengakuan hutan adat, tanah ulayat, maupun pesisir laut yang menjadi bagian dari wilayah adat juga masih sangat lambat. Kesenjangan yang mencolok antara peta dan pengakuan ini menjadi bukti bahwa negara masih tertinggal dalam mengimbangi inisiatif masyarakat adat yang telah lebih dahulu bergerak.
Kasmita Widodo, Kepala BRWA, menegaskan bahwa “Pengakuan adalah fondasi penting dari upaya perlindungan dan pemajuan hak Masyarakat Adat. Negara harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat untuk menjaga Indonesia tetap kokoh identitas ragam budayanya dan lestari keanekaragaman hayatinya. Keduanya adalah modal penting memastikan Indonesia Emas 2045 bagi generasi kini, mendatang, yang berlanjut hingga jauh ke masa depan.”
Kasmita menambahkan “Sampai saat ini, Pemerintah tidak memiliki program pendataan terkait jumlah komunitas adat dan wilayah adat yang dapat deipertangung jawabkan. Asta Cita harus mampu secara konngkrit mengakui dan melindungi ruang hidup masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya”.
Terkait dengan RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar dari Sekretariat Koalisi Kawal UU Masyarakat Adat mengatakan “capaian pengakuan yang sangat kecil disebabkan karena prosedur pengakuan yang diatur dalam berbagai kebijakan sekarang ini sangat kompleks. Situasi ini mesti direspon melalui percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat”.
Masyarakat Adat: Penopang Kedaulatan Pangan
Data BRWA juga menegaskan bahwa wilayah adat adalah teritori kehidupan masyarakat adat yang di dalamnya terdapat 4,9 juta hektar areal budidaya atau pertanian sebagai fondasi dari sistem pangan lokal yang mandiri dan berkelanjutan. Masyarakat adat yang terikat kuat dengan keanekaragaman hayati dan praktik pertanian tradisional telah terbukti mampu menyediakan ragam pangan yang berlimpah secara berkelanjutan tanpa merusak ekosistem. Perempuan adat menjadi aktor utama yang tidak hanya memastikan pengetahuan tradisional dan praktik kearifan lokal terkait budidaya & konsumsi tanaman pangan lokal terus dilestarikan, tetapi juga diwariskan kepada generasi muda adat selanjutnya.
Sistem ladang gilir balik yang lestari, kebun campur, pengelolaan air dan perlindungan sumbernya yang berbasis pengetahuan lokal, serta pelestarian benih asli dan tanaman pangan endemik adalah contoh nyata dari cara hidup masyarakat adat menjaga pangan, untuk kebutuhan komunitasnya dan untuk keseimbangan lingkungan hidup bagi ekosistem di sekitarnya. Praktik-praktik itu tidak hanya relevan sebagai identitas budaya dan pelestarian sumber daya genetik khas Nusantara, tetapi juga penting secara ekologis dalam konteks krisis iklim dan kerentanan pangan global.
Namun, semua itu hanya mungkin terus hidup jika wilayah adat mereka diakui dan dilindungi. Tanpa pengakuan hukum, wilayah-wilayah itu tetap rentan terhadap ancaman ekspansi industri, konversi lahan, dan kebijakan pembangunan yang tidak sensitif terhadap hak dan sistem nilai masyarakat adat. Tercatat bahwa luasan izin di wilayah adat masih lebih besar dari pada cakupan luas wilayah adat yang diakui melalui produk hukum daerah yakni 21,6 persen (7,3 juta hektar) berbanding 18,9 persen (6,3 juta hektar).
Krisis Iklim dan Degradasi Lahan: Mengapa Pengakuan Tak Bisa Ditunda
Peluncuran data ini juga diletakkan dalam konteks dua krisis besar yang sedang melanda dunia dan Indonesia: krisis iklim dan degradasi lahan. Keduanya saling berkelindan dan memperparah kekinian kondisi masyarakat adat. Krisis iklim telah memicu perubahan pola cuaca ekstrem, kekeringan panjang, banjir bandang, serta kebakaran hutan dan lahan yang lebih intens. Dalam situasi itu, masyarakat adat menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak, karena hidup mereka sangat bergantung pada keseimbangan ekosistem alam. Namun pada saat yang sama, masyarakat adat juga menjadi aktor penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Wilayah adat dengan tutupan hutan seluas 23,9 juta hektar yang masih lestari adalah benteng terakhir dari hutan tropis, sumber karbon yang sangat penting, sekaligus rumah bagi keanekaragaman hayati.
Sayangnya, krisis iklim ini diperparah oleh degradasi lahan yang berlangsung secara sistemik dalam bentuk green grabbing maupun pembangunan ekstraktif. Kepastian hukum dan perlindungan atas hak masyarakat adat dan wilayah adat diperlukan untuk mencegah dan mitigasi konflik tenurial baru di tengah geliat pembangunan. Hal itu juga yang memastikan keadilan sosial untuk masyarakat adat sebagai kelompok rentan dan memastikan keberlanjutan alam yang lestari untuk generasi masa depan.
Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat
Pengesahan RUU Masyarakat Adat dan pengadministrasian peta wilayah adat ke dalam Kebijakan Satu Peta Nasional adalah bentuk realisasi komitmen pemerintahan saat ini yang harus segera dilaksanakan sesuai dengan Asta Cita dengan melindungi hak asasi manusia, menjamin ketahanan pangan, menjaga lingkungan hidup, dan membangun masa depan yang inklusif. Ini bukan sekadar agenda, tetapi langkah penentu arah bangsa.
“Melalui perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, kita diingatkan bahwa kedaulatan pangan, kelestarian alam, dan hak masyarakat adat tidak dapat dipisahkan. Selama wilayah adat kami belum diakui dan dilindungi, ancaman terhadap pangan lokal dan hutan tetap besar. Negara harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan memperluas pengakuan wilayah adat termasuk hutan adat, tanah ulayat, dan wilayah pesisir. Itulah jalan untuk memastikan masa depan pangan, alam, dan bangsa,” tegas Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN.
Jika negara bergerak sekarang, kita bukan hanya melindungi masyarakat adat, tetapi juga mengamankan masa depan pangan, hutan, dan keanekaragaman hayati Indonesia. Menunda berarti kehilangan. Bertindak berarti memastikan Indonesia tetap berdiri kokoh, berdaulat, dan dihormati dunia.
- Aria Sakti Handoko, Kepala Divisi Advokasi, Riset dan Kerjasama-BRWA.
Email: sakti@brwa.or.id. Telepon: 0813 5347 8181. - Muhammad Arman, Direktur Advokasi Hukum dan HAM AMAN;
Email: arman@aman.or.id; Telepon: +62 812-1879-1131. - Alvin Alviransyah, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat;
Email: koalisikawaluumasyarakatadat@gmail.com;. Telepon: 0818 0688 0126.