Forest Watch Indonesia (FWI) dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh melakukan Focus Group Discussion mengenai “Transisi Energi dan Nasib Hutan Aceh” di Moorden Cafe Beurawe, Aceh, Kamis, 25 Januari 2024.
Kejadian deforestasi hutan alam di Indonesia masih terus terjadi dan belum sepenuhnya berhasil dihentikan kendati berbagai upaya perlindungan dilakukan. Daerah-daerah yang dijadikan proyek strategis untuk pembangunan terus mengalami penurunan luas tutupan hutan secara signifikan. Mitigasi pengurangan emisi dari sektor FoLU dan energi ditengarai justru menjadi jalan pengrusakan hutan Indonesia secara terencana dan tidak terencana.
Dalam dokumen FoLU Net Sink 2030, lebih dari 10 juta hektare hutan alam berada dalam status deforestasi terencana dan deforestasi tidak terencana yang berdasarkan pembagian kewenangannya perlu dimitigasi. Sayangnya pembagian peran dan kewenangan ini tidak sepenuhnya dapat dengan mudah dimengerti dan dipahami sebagai bentuk kebijakan perlindungan oleh pemerintah daerah.
Pemerintah Aceh salah satunya diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengenai kewenangan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus. Aceh memiliki kebijakan otonomi khusus yang dapat digunakan sebagai upaya mitigasi kerusakan sumber daya alam dalam rangka memenuhi target pengurangan emisi nasional dari sektor hutan lahan dan energi.
Manajer Kampanye, Intervensi Kebijakan, Media FWI, Anggi Putra Prayoga mengatakan Aceh ditargetkan harus melakukan mitigasi perlindungan hutan dengan total sekitar 120 ribu Ha yang terbagi pada 84.160 ribu Ha deforestasi terencana dan 37.281 ribu Ha deforestasi tidak terencana. Dimana peran Pemerintah Aceh harus dapat menahan laju deforestasi sebesar 90 persen.
Di sisi lain mandat bauran energi nasional sebagai upaya pengurangan emisi di sektor energi dan sub sektor ketenagalistrikan memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap tata kelola hutan dan lahan di Aceh. Target bauran energi nasional sebanyak 23 persen di tahun 2025 juga harus diturunkan dalam target Pemerintahan Aceh. Sayangnya Di dalam dokumen Rencana Umum Energi Aceh sesuai Qanun Nomor 4 tahun 2019 belum mencerminkan keunikan dan kekhasan kemandirian energi Aceh, tutup Anggi.
Inkonsistensi Pengurangan Emisi dan Bioenergi Aceh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan pembangunan hutan tanaman energi seluas 1,3 juta hektare di seluruh Indonesia untuk menyuplai kebutuhan biomassa kayu sebagai pengganti energi batubara (bioenergi). PT Aceh Nusa Indrapuri (ANI) diberikan konsesi oleh KLHK untuk membangun hutan tanaman energi di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie dengan luas 97.806 Ha.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh Achmad Sholihin mengatakan bahwa pembangunan hutan tanaman energi (HTE) untuk menghasilkan biomassa kayu oleh konsesi HTE, yang kemudian dibakar bersamaan batubara di PLTU merupakan solusi palsu. Perusahaan tidak bertanggung jawab melakukan tugas fungsinya. Melakukan penebangan hutan namun tidak melakukan penanaman kembali. Hutan yang sudah dirusak merupakan kawasan ekosistem esensial di Aceh dan berupa wilayah kelola rakyat. Aceh tidak sedang bertransisi karena hutannya dirusak.
Mulyadi dari Perkumpulan Medaya menerangkan bahwa transisi energi dengan masih memanfaatkan energi batubara dalam pembakaran di PLTU merupakan jalan pengrusakan lingkungan Aceh. Masalahnya cukong-cukong batubara yang sudah menguasai lahan dan konsesi batu bara tidak ingin rugi soal tekanan transisi energi. Tidak adanya ruang untuk masyarakat melakukan check n balance terhadap implementasi transisi energi mendorong banyaknya pelanggaran dan pengrusakan lingkungan di Aceh.
Inklusifitas Transisi Energi dalam Perspektif Pemerintahan Aceh
Transisi energi dapat memberikan dampak yang signifikan pada kelompok rentan. Transisi energi dan demokratisasi energi di Aceh sepenuhnya meninggalkan partisipasi masyarakat Aceh dalam menentukan jenis energi yang tepat untuk kemandirian energi Aceh.
Rahmi dari Solidaritas Perempuan Aceh menjelaskan bahwa kaum perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan dalam konteks transisi energi karena peran mereka yang sering terhubung dengan sektor-sektor yang rentan terhadap perubahan lingkungan dan sosial.
Peran perempuan dalam sektor-sektor kunci membuat mereka rentan terhadap perubahan ekonomi dan lingkungan yang mungkin terjadi selama transisi energi. Misalnya, penggunaan batu bara dan pertambangan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, pencemaran, dan hilangnya sumber daya pertanian, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kehidupan perempuan secara langsung. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan dan memperhitungkan dampak transisi energi pada perempuan agar kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan berkelanjutan.”
Nasir dari Walhi Aceh menjelaskan bahwa Aceh harus mandiri secara energi karena Aceh memiliki politik Aceh untuk masyarakat Aceh untuk menciptakan energi mandiri. Potret pembangunan PLTA Tambur mencerminkan bahwa tidak adanya ruang bagi masyarakat Aceh untuk menentukan jenis energi yang tepat serta aman bagi kelangsungan hidup masyarakat Aceh. Lokasi PLTA Tambur dibangun di hulu sungai dan sudah dinyatakan lokasi rawan bencana karena berpotensi menenggelamkan desa. Transisi energi masih menjadi milik segelintir orang saja.
Diperlukan langkah-langkah untuk memperbaiki demokrasi energi, seperti meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Serta menciptakan iklim keterbukaan yang mendukung dialog terbuka dan inklusif. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif, maka dapat dihasilkan kebijakan transisi energi yang lebih demokratis dan sesuai dengan kebutuhan serta aspirasi Masyarakat Aceh, tutup Nasir.
Media Forest Watch Indonesia (+62 857-2034-6154)