Korupsi Inhutani, Bukti Tata Kelola Hutan Perusahaan Buruk

Protes petani di KPK. Foto: falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Dicky Yuana Rady, Direktur Utama PT Inhutani V, Rabu (13/8). Lembaga anti rasuah itu menetapkan Dicky sebagai tersangka penerima suap ihwal kerja sama pengelolaan kawasan hutan dengan PT Paramitra Mutia Langgeng (PML). Kasus ini, menambah kelam carut-marut tata kelola hutan yang melibatkan sektor swasta.
  • Asep Guntur Rahayu, Plt. Deputi Penindakan & Eksekusi KPK mengatakan PML melakukan wanprestasi tahun 2018-2019 karena tidak membayar PBB dan pinjaman dana reboisasi. “Tetapi kemudian, oknum-oknum yang ada di PT Inhutani V ini masih mau mengakomodir permintaan dari perusahaan tersebut. Dan ini kan berbahaya,” katanya.
  • Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut, kawasan hutan di Indonesia sangat besar dan terdapat celah-celah tindak pidana. Hasil evaluasi Kementerian Kehutanan menunjukkan banyak perusahaan yang tidak mampu mengoptimalisasi kawasan atau konsesi yang negara berikan. Tidak hanya di Lampung, melainkan juga di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
  • Totok Dwi Diantoro, Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) juga menilai ada kelemahan pengawasan di dalam kasus ini. Sebelum membuat PKS, seharusnya ada tahapan verifikasi oleh Kemenhut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Dicky Yuana Rady, Direktur Utama PT Inhutani V, Rabu (13/8/25). Lembaga anti rasuah itu menetapkan Dicky sebagai tersangka penerima suap ihwal kerja sama pengelolaan kawasan hutan dengan PT Paramitra Mutia Langgeng (PML). Kasus ini, menambah kelam carut-marut tata kelola hutan yang melibatkan sektor swasta.

Dalam OTT, KPK juga mencokok delapan orang lain, termasuk Djunaidi, Direktur PML. Tim KPK mengamankan sejumlah barang bukti, berupa uang tunai SG$189.000 (sekitar Rp2,4 miliar), Rp8,5 juta, satu mobil Rubicon di Rumah Dicky, serta satu Pajero Dicky  di rumah Aditya.

KPK nyatakan, Inhutani V dan PML membuat perjanjian kerja sama (PKS) pengelolaan hutan 55.157 hektar dari lahan 56.547 hektar Inhutani V di Lampung. Kerja sama itu meliputi tiga wilayah, Register 42 (Rebang) sekitar 12.727 hektar, Register 44 (Muaradua) sekitar 32.375 hektar, dan Register 46 (Way Hanakau) sekitar 10.055 hektar.

Permasalahan hukum terjadi  2018 saat PML tidak melakukan kewajiban membayar PBB pada 2018-2019 senilai Rp2,31 miliar, dan pinjaman dana reboisasi  Rp500 juta per tahun, serta belum memberi laporan pelaksanaan kegiatan pada Inhutani per bulan. Atas permasalahan hukum  itu, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan  inkracht pada 2023. Menjelaskan bahwa PKS yang telah berubah pada 2018 antara kedua belah pihak masih berlaku, dan PML wajib bayar ganti rugi Rp3,4 miliar.

Permasalahan hukum itu tidak membuat PML surut, dan tetap ingin melanjutkan kerja sama untuk pengelolaan kawasan hutan di tiga lokasi berdasarkan PKS kedua belah pihak. Kemudian, Juni 2024, KPK mengungkap terjadi pertemuan di Lampung antara jajaran direksi beserta Dewan Komisaris dari kedua perusahaan. Mereka bersepakat pengelolaan hutan PML dalam Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH).

Agustus 2024, PML melalui Djunaidi memberikan uang Rp4,2 miliar untuk pengamanan tanaman dan kepentingan Inhutani V ke rekening perseroan. Pada saat  sama, Dicky diduga menerima uang tunai dari Djunaidi Rp100 juta yang dia gunakan untuk keperluan pribadi.

November 2024, Dicky menyetujui permintaan PML terkait perubahan RKUPH, terdiri dari pengelolaan hutan tanaman  2.619,40 hektar di wilayah Register 42, dan pengelolaan hutan tanaman seluas 669,02 hektar di Register 46. Juli 2025, Dicky meminta mobil baru kepada Djunaidi di lapangan golf di Jakarta. Djunaidi sanggupi.

Asep Guntur Rahayu, Plt. Deputi Penindakan & Eksekusi KPK mengatakan,  PML melakukan wanprestasi  2018-2019 karena tidak membayar PBB dan pinjaman dana reboisasi. “Tetapi kemudian, oknum-oknum yang ada di PT Inhutani V ini masih mau mengakomodir permintaan dari perusahaan tersebut. Dan ini kan berbahaya,” katanya. Dia pun menyebut,  KPK akan mendalami potensi kerugian negara dari kasus ini.

Konferensi pers KPK ihwal tangkap tangan suap pengelolaan kawasan hutan yang melibatkan Inhutani. Foto: KPK.

Celah-celah korupsi sektor kehutanan

Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut, kawasan hutan di Indonesia sangat besar dan terdapat celah-celah tindak pidana.

Hasil evaluasi Kementerian Kehutanan menunjukkan banyak perusahaan yang tidak mampu mengoptimalisasi kawasan atau konsesi yang negara berikan. Tidak hanya di Lampung, melainkan juga di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. “Nah ketidakmampuan itu menjadi celah sebetulnya untuk tindak-tindak suap,” kata Anggi.

Celah lainnya, adalah lemahnya pengawasan. Saat ini, perusahaan melakukan laporan sendiri tanpa ada pengecekan berulang dari pihak Kemenhut atau eksternal.

Seharusnya,  Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) yang KPK canangkan pada 2014 bisa kembali aktif. Aksi itu, paling tidak berhasil ungkap beberapa kasus, seperti pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Riau pada 2014 yang melibatkan Annas Maamun, Gubernur kala  itu.

Audit KPK 2014 menemukan lebih dari 4.000 izin usaha pertambangan bermasalah, misal, tidak punya NPWP, tidak membayar royalti, atau tumpang tindih kawasan hutan. Kemudian 2015, KPK mengungkap,  sekitar 3,47 juta hektar kebun sawit dalam kawasan hutan tidak memiliki izin pelepasan kawasan. “Ini adalah sinyal GNP-SDA harus hidup lagi di KPK.”

Selain itu, celah lain adalah tidak ada transparansi pengelolaan kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang saat itu bertanggung jawab, memiliki Sistem Informasi Penataan Usaha Pemanfaatan Hutan berbasis digital. Namun, sistem informasi itu tidak ada penilaian.

“Sistem informasinya tertutup. GimanaGimana publik bisa turut mengawasi? Itu  by system kan? sengaja ditutup, sengaja dibatasi akses publik untuk tidak tahu apa yang terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia.” Karena itu, katanya, perlu audit total sistem pengelolaan hutan, mulai dari regulasi, aktor, hingga implementasi.

Bambang Hero, Guru Besar Kehutanan IPB menilai, seharusnya Kementerian Kehutanan bisa antisipasi kasus Inhutan V ini. Kemenhut,  seharusnya menyeleksi ketat pemberian izin kelola kawasan hutan.  Harus ada pengawasan  baik dalam implementasi pemegang izin.

“Mestinya benar-benar berusaha penuh untuk memastikan, bahwa pihak yang bekerjasama itu benar-benar punya niat baik dan dengan komitmen yang tinggi untuk menjalankan janji-janji yang telah disepakati melalui PKS,” katanya.

Hal ini penting, karena pemanfaatan kawasan hutan berkaitan dengan aset negara. Pemerintah, katanya, harus hadir pada tiap kesempatan, tidak hanya saat penandatangan PKS itu. “Karena sekali aset itu bermasalah maka dampaknya sangat buruk terhadap kondisi hutan tersebut.”

Senada, Totok Dwi Diantoro, Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) juga menilai ada kelemahan pengawasan di dalam kasus ini. Sebelum membuat PKS, seharusnya ada tahapan verifikasi oleh Kemenhut. Rekam jejak PML yang tidak mau bayar PBB dan pinjaman dana reboisasi harusnya jadi perhatian serius. Karena itu, dia mendorong adanya penelusuran lebih lanjut dalam kasus ini, termasuk aktor lain yang terlibat.

“Kalau akan dikembangkan, jangan-jangan ada peran yang turut serta memfasilitasi penyimpangan ini,” katanya. Dia berharap,  tindakan serius terhadap kasus ini dan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan sumber daya  alam lainnya. Sanksi pun harus setimpal. Sayangnya, masih ada ketidaksempurnaan dalam pemberian sanksi tindak pidana korupsi di sektor SDA.

Dalam UU Tipikor, katanya, ada kerugian negara dan perekonomian negara. Kerugian negara biasa berkaitan dengan uang yang pelaku tipikor curi atau hasilkan. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 UU No 20/2001 tentang Tipikor.

Dalam pasal itu, ayat 1 huruf b mengatakan,  selain sanksi pidana  dalam KUHP, sanksi tambahan adalah pelaku harus melakukan pembayaran uang pengganti  sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Namun, belum ada penjelasan rinci bahwa kerugian perekonomian negara adalah kerugian yang publik, ekonomi lingkungan derita, dan kerugian ekologis. “Itu yang sering kali kemudian menjadi problem untuk negara mengaktualisasikan kompensasi misalnya kepentingan lingkungan.”

Audit dan reorientasi

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, menilai kasus suap PML dan Inhutani V ini penanda bahwa harus ada audit izin-izin pengelolaan hutan. “Belum tentu juga sebenarnya BUMN itu juga beroperasi dengan baik,” katanya.

Catatan Walhi dan Auriga Nusantara, pada 2022, keseluruhan konsesi logging seluas 19 juta hektar dan milik 258 korporasi. Namun, ada 10  grup teratas yang menguasai 4,3 juta hektar (65 kali luas Jakarta). Salah satunya, Inhutani.

Inhutani  di bawah holding kehutanan,  Perhutani ini menguasai izin logging seluas 675.116 hektar. Perusahaan pelat merah ini juga menjadi salah satu korporasi yang memegang izin kebun kayu, yakni 430.722 hektar.

Kasus Inhutani V di Lampung ini,  menurut Uli,  membuat publik bertanya akan kemampuan unit-unit perusahaan BUMN ini mengelola kawasan hutan. Pasalnya, izin pengelolaan hutan mereka dapat dari Kemenhut, tetapi menggunakan pihak ketiga, yakni perusahaan swasta, untuk mengelolanya kembali.

Dia bilang, tidak ada aturan spesifik mengenai pendelegasian izin pengelolaan kawasan hutan ke pihak ketiga lewat PKS. Praktik ini seperti ada negara dalam negara.

“Sebenarnya yang punya hak untuk memberikan kelola itu kan negara.”

Praktik ini berimplikasi pada banyak aspek. Seperti, siapa yang harus bertanggungjawab pada negara terkait pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan hasil lain yang harus masuk ke kas negara.

Menurut dia, audit  Inhutani di wilayah kelola kawasan lain juga mendesak. karena, Walhi banyak mengamati adanya dugaan penyelewengan izin. Misal, izin pengelolaan kawasan hutan, namun praktiknya adalah pembukaan lahan sawit atau bahkan pertambangan.

Uli pun menedesak pengembangan kasus Inhutani V ini. Sebab, kasus korupsi dalam tata kelola kawasan hutan biasanya beriringan dengan tindak pidana lainnya, seperti pencucian uang dan kejahatan lingkungan.

Dia bilang, kasus ini penting untuk menggunakan UU sektoral, yakni kehutanan, agar perusahaan yang terlibat juga bertanggungjawab memulihkan lingkungan. “Jadi memang masing-masing kasus itu, dia punya konsekuensi hukumnya sendiri, gitu.”

Selain itu, kasus ini juga menjadi momentum untuk reorientasi pengelolaan kawasan hutan. Menurut Uli, negara saat ini seperti bingung orientasinya untuk apa.

Jika mencari keuntungan secara ekonomi, dia justru melihat upayanya masih setengah-setengah. Hasilnya pun tidak berdampak signifikan.

Dia bilang, negara ingin mengejar profit, tapi menyerahkan pengelolaan hutan pada entitas yang tidak mampu mengelolanya.

“Kalau otaknya itu memang benar-benar ngejar profit, harusnya kan perusahaan-perusahaan atau entitas hukum yang enggak punya kemampuan itu harusnya ditarik lagi izinnya. Jadi kayak setengah-setengah.”

Maka, penting untuk evaluasi total. Jika terjadi, maka dia yakin 60%-70% pemegang-pemegang izin saat ini tidak layak.

Sisi lain, jika orientasinya kesejahteraan, maka evaluasi juga penting. Pasalnya, banyak izin yang tumpang tindih dengan wilayah kelola rakyat. Memicu konflik tenurial dan rakyat tidak sejahtera.

Walhi banyak menemui wilayah kelola rakyat yang Perhutani, Inhutani, dan korporasi-korporasi lainnya, baik BUMN maupun swasta klaim.

Menurutnya, hal ini terjadi karena reforma agraria tidak benar-benar terjadi. Reforma agraria, katanya, bukan sekadar bagi-bagi sertifikat tanah, melainkan negara harus benar-benar merekognisi wilayah-wilayah rakyat, masyarakat adat, dan kawasan hutan yang bisa negara kelola.

Restrukturisasi kepemilikan lahan itu penting supaya tak ada lagi tumpang tindih. Selain itu, pengelolaan hutan juga bisa sesuai peruntukannya. Totok juga menyampaikan hal senada. Saat ini, dia lihat pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan masih minim. Padahal, Inhutani bisa membangun kemitraan juga dengan masyarakat lewat perhutanan sosial.

Data KLHK tahun 2024, realisasi perhutanan sosial mencapai 6,09 juta hektar. Angka ini masih di bawah target awal pemerintah Joko Widodo, sebesar 12,7 juta hektar. Menurutnya, pelibatan masyarakat akan jauh lebih menguntungkan. Karena pelestarian ekologinya lebih terjaga. Berbeda dengan korporasi yang cenderung eksploitatif.

Ini pun bisa jadi upaya optimalisasi adaptasi perubahan iklim. Selain itu, katanya, pelibatan masyarakat juga bisa menjadi solusi alternatif untuk konflik tenurial yang ada. “Kalau mau serius keberpihakannya kepada ekologi dan sosial, harusnya mengedepankan pola-pola kemitraan dengan masyarakat sekitar, ketimbang model kerjasama dengan pihak ketiga, dalam hal ini, swasta.”

Sumber berita mongabay.co.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top