Hutan Gorontalo, dengan kekayaan alamnya yang berlimpah, menyimpan potensi besar bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, di balik potensi besar tersebut, terdapat ancaman tersembunyi yang perlu mendapat perhatian serius, yakni deforestasi terencana.
Anggota Jaringan Advokasi Pemberdayaan Sumber Daya Alam (Japesda), Renal Husa, menjelaskan bahwa deforestasi hutan alam di Gorontalo paling parah terjadi di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo Utara, dan Bone Bolango. Alih fungsi lahan seringkali ditujukan untuk kepentingan pertambangan, perkebunan perusahaan, dan ladang kelapa sawit yang kemudian mendorong terjadinya deforestasi.
Renal juga mengungkapkan bahwa beberapa alih fungsi lahan juga terjadi di kawasan konservasi dan kawasan lindung seperti Cagar Alam Panua, Cagar Alam Tanjung Panjang, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, dan Suaka Margasatwa Hutan Nantu. Setidaknya sekitar 62 persen tambak udang dan bandeng yang ada di Kabupaten Pohuwato, berada di dalam kawasan hutan lindung.
Di sisi lain, transisi energi yang diupayakan untuk menekan emisi karbon justru mendorong masifnya deforestasi baru. Catatan Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi yang terjadi di Provinsi Gorontalo pada 2017-2021 mencapai 33.492 hektare (Ha). Masih ada 696.631 Ha hutan alam tersisa di Gorontalo yang perlu dijaga di tengah tekanan pembangunan.
Temuan FWI (2024) menunjukkan bahwa tren deforestasi di Gorontalo tepatnya di Kabupaten Pohuwato signifikan terlihat masif dalam kurun waktu 2021 sampai 2023. Deforestasi terjadi di dalam konsesi PT BTL dengan luasan sekitar 1.105 Ha. PT BTL berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 01 Tahun 2022 pada lampiran I dan lampiran II merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah mendapatkan pemutihan izin.
Selain PT BTL, terdapat satu perusahaan perkebunan kelapa sawit lain yang juga mendapatkan pemutihan izin di Kabupaten Pohuwato dari KLHK, yakni PT Inti Global Laksana (IGL). Melalui Surat Keputusan Nomor 566/MENHUT-II/2011, PT IGL mendapatkan pemutihan izin yang lebih awal dibanding PT BTL. PT IGL dan PT BTL merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang juga diduga sebagai dalang operasionalisasi industri wood pellet oleh PT BJA di Kabupaten Pohuwato.
Meskipun kedua perusahaan bergerak di bidang usaha perkebunan kelapa sawit, namun berdasarkan analisis spasial perizinan FWI (2024), hanya PT IGL yang mengantongi izin HGU. Sementara PT BTL belum diketahui telah mengantongi izin HGU.
Berdasarkan laporan Koalisi Walhi (2023) kedua perusahaan kelapa sawit yang telah mendapat pemutihan izin dari KLHK justru mengubah jenis usaha komoditas di lapangan. Baik PT IGL dan PT BTL telah membangun pabrik industri pengolahan kayu wood pellet dan melakukan penanaman Kaliandra dan Gamal. Kedua jenis tanaman ini dikenal tanaman energi sebagai green biomass bahan baku wood pellet.
Sayangnya, wilayah kerja kedua perusahaan berdiri di atas hutan alam sehingga pembangunan kebun energi (hutan tanaman energi) tidak akan terlepas dari upaya land clearing dan deforestasi. Setidaknya terdapat hutan alam dengan luas sekitar 17,70 ribu Ha di dalam kedua konsesi tersebut direncanakan dirusak (planned deforestation) untuk memenuhi kebutuhan ekspor wood pellet ke negara Jepang dan Korea Selatan.
Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI, Anggi Putra Prayoga menyayangkan implementasi pembangunan hutan tanaman energi dan kebun energi oleh perusahaan yang sejauh ini selalu dengan pembukaan hutan (land clearing). Bukan rehabilitasi di lahan kritis seperti yang digembar-gemborkan. “Perusahaan (perkebunan dan kehutanan) selalu mengantongi hutan alam di dalam konsesinya. Oleh karena itu, deforestasi hutan alam tidak bisa terelakan dalam pemenuhan bahan baku biomassa kayu,” kata Anggi dalam keterangannya, dikutip JawaPos.com, Senin (25/3).
Menurut Anggi, biomassa kayu sebagai energi (bioenergi) seharusnya tidak dimasukkan ke dalam energi terbarukan dan skema apapun dalam transisi energi. Terjadinya deforestasi dalam pemenuhan bahan baku biomassa kayu selalu diiringi pelepasan emisi yang justru menjauhkan dari target pengurangan emisi dari sektor hutan dan penggunaan lahan dan energi.
“Transisi energi dengan memanfaatkan biomassa kayu mendorong terjadinya deforestasi hutan alam secara masif kedepan. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemanfaatan biomassa kayu juga menggugah pasar ekspor terutama ke Jepang dan Korea Selatan,” jelasnya. “Kedua negara ini menguasai komoditas wood pellet dari Indonesia dengan total 23.683.972 kg selama lima bulan terakhir. Hal tersebut menggiring pembukaan hutan yang semakin tidak terkontrol di Indonesia,” tutup Anggi.
Sumber tulisan ini berasal dari JawaPos.com