- Masyarakat adat di Aru, hidup dari sumber mengumpulkan hasil alam yang ada di hutan, pesisir dan mangrove. Mereka memandang manusia dan alam adalah satu kesatuan tak terpisahkan.
- Sejak beberapa dekade terakhir hutan di Aru menjadi incaran investor. Kawasan hutan yang berstatus kawasan hutan produksi dan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi celah bagi lobi-lobi perizinan oleh pengusaha.
- Pulau-pulau kecil di Aru amat rentan terhadap bencana, apalagi jika terjadi perubahan bentang lahan. Kerentanan dengan potensi bahaya tinggi mencakup banjir, cuaca ekstrim, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan dan tsunami.
- Pengakuan terhadap masyarakat adat diundangkan lewat Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Ursia Urlima. Ini langkah awal untuk melakukan pemetaan dan verifikasi wilayah-wilayah adat.
Dessy Ganobal (34) menunduk di tengah hamparan kendeka (Bruguiera gymnorrhiza). Mata dan tangannya yang terlatih, amat terampil mengenali kerang-kerang tersembunyi di lumpur mangrove. Kerang itu biasa disebut bia oleh masyarakat setempat.
Keranjang yang dipegang di tangan kirinya, sudah hampir penuh. Bia yang dia kumpulkan hari itu bersama sekitar 15 orang ibu-ibu lain, rencananya akan digunakan untuk sebuah acara kebersamaan di gereja di desanya, Lorang, yang terletak di Kecamatan Aru Tengah, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.
Meski mengumpulkan bia tampaknya sederhana, namun itu sebenarnya tidak mudah. Orang biasa akan kesulitan ketika berjalan dan menjejakkan kaki di lumpur bakau yang licin. Kaki pun kadang tersandung batang dan akar bakau yang tak tampak.
“Kalau di sini, pekerjaan perempuan itu cari bia, berkebun tanam singkong, ubi, jagung, kalau berburu itu laki-laki,” jelasnya.
Menurutnya, ada berbagai jenis kerang yang bisa dimakan. Ada bia ekor panjang, yang disebut kanga dan geyel, bia mangkok, bia bontang, dan masih banyak jenis yang lainnya. Semuanya dapat diperoleh di lantai hutan mangrove. Sebagai sumber protein, bia biasa dicari oleh para ibu-ibu.
Keterikatan orang Aru dengan sumberdaya alam, -termasuk hutan mangrove, amatlah erat. Buah mangrove yang disebut tongke, dahulunya jadi makanan sehari-hari. Sekarang pun, kue dari buah mangrove ini, yang digoreng dengan minyak kelapa sering dibuat oleh ibu-ibu.
“Mangrove ini sangat penting buat kami dan perlu di jaga,” jelas Apo Badidi, salah seorang ibu lain.
Rejim Perizinan dan Ruang Hidup di Wilayah Rentan Bencana
Relasi masyarakat adat Aru dengan hutan, dengan tanah dan lingkungannya dapat dipandang sebagai satu kesatuan. Kegiatan berkebun, berburu, maupun usaha penghidupan lain terikat dengan wilayah hutan dan laut.
“Di hutan itu ada banyak hal yang bisa dilakukan, bisa berkebun, bisa berburu. Di mangrove ada sumber-sumber protein seperti kepiting bakau, kerang-kerangan, udang atau ikan,” jelas Mika Ganobal. Dia seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), tapi aslinya dia berasal dari Desa Lorang.
“Ketika hutan dan lahan rusak, secara otomatis akan mempengaruhi keseluruhan hidup masyarakat adat Kabupaten Kepulauan Aru langsung maupun tidak langsung. Semisal terganggunya relasi sosial dan ekonomi,” sambungnya.
Sebagai masyarakat yang tergantung hasil alam warga Aru terbiasa menyesuaikan diri dengan musim. Saat musim angin timur (sekitar Mei-Oktober), warga beraktivitas ke laut mencari ikan. Sebaliknya, saat musim angin barat (sekitar November-April) beralih ke daratan, untuk bertani dan berburu.
Berdasarkan statistik yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Kepulauan Aru, total penduduk kabupaten ini 103.800 jiwa (2023), dengan 63 persennya adalah angkatan kerja. Mayoritas bekerja di sektor yang terhubung dengan alam, seperti nelayan, petani dan peladang.
Itu pula yang membuat orang Aru menolak masuknya berbagai izin perusahaan ekstraktif di Aru selama tiga dasawarsa. Khususnya korporasi yang berminat untuk mengubah bentang lahan yang ada dan mengeruk kekayaan alam.
Sejak tahun 1990-an masyarakat telah berhadapan dengan tindakan eksploitasi ilegal sumberdaya perikanan. Di era Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, kapal-kapal asing penangkap ikan ini dilarang beroperasi. Sampai sekarang pun masih bisa di lihat, belasan atau puluhan kapal eks asing yang masih teronggok menjadi besi tua di Benjina.
Berikutnya, dimulai sejak 2013 masyarakat melakukan penolakan besar terhadap rencana perkebunan tebu yang diinisiasi oleh PT Menara Group yang masif menjadi gerakan #SaveAru.
Jika jadi beroperasi, perusahaan ini bakal menguasai 70 persen luas daratan pulau-pulau di Aru, khususnya Trangan yang menjadi pulau terluas.
Di tahun 2018, masuk kembali rencana peternakan sapi yang direncanakn terluas di Indonesia. Menteri Pertanian, Amran Sulaiman dalam era pertamanya (2014-2019) merupakan salah satu promotor rencana ini. Jika terlaksana 61 ribu hektar di wilayah Aru bagian selatan akan berubah jadi wilayah peternakan sapi. Rencana ini pun menuai reaksi penolakan dari masyarakat.
Selanjutnya, di 4 kecamatan yang terletak di bagian utara Aru, juga terdengar ada rencana eksploitasi hutan. Jika beroperasi, maka dua pulau di Aru, yaitu Wokam (140 ribu hektar) dan Woham (30.400 hektar) akan terancam tenggelam.
Sebuah perusahaan kayu, PT Wana Sejahtera Abadi (PT WSA), sejak 2012 memperoleh izin konsesi seluas 54.560 hektar. Hampir satu dekade mandeg, di tahun 2021 mereka hendak mengaktifkan kembali usahanya lewat perbaruan izin di tahun 2021. Upaya ini pun mendapat penolakan warga.
Tidak semua inisatif korporasi berhubungan dengan usaha ekstraktif. Pada tahun 2022, perusahan yang bergerak di dalam perdagangan karbon, PT Melchor Group Indonesia (MGI) membidik Aru sebagai salah satu target proyek karbon.
Kelompok usaha yang terasosiasi dengan pengusaha Peter F. Gontha ini, melalui dua anak perusahaan afiliasi MGI, yaitu PT Bumi Lestari Internasional dan PT Alam Subur Indonesia berambisi mengembangkan proyek perdagangan karbon yang diberi nama Cendrawasih Aru Project.
Mereka pun telah mengantongi surat rekomendasi izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Maluku pada bulan Juni 2022 untuk wilayah seluas 191.955 hektar.
Namun, kembali ini pun ditolak masyarakat. Seperti ditulis di Siwalimanews di Agustus 2023, Petuanan Rumpun Adat Fanan menolak kehadiran Melchor. Warga khawatir, beroperasinya skema karbon bakal menghambat akses mereka untuk mengelola sumberdaya alam.
Warga pun menyebut pihak perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi rencana kerja yang jelas. Perusahaan pun dianggap ingkar dari janji awal, yaitu melakukan budidaya kepiting bakau berbasis masyarakat lokal.
“Dulu, zaman orde baru pemerintah ambil tanah rakyat atas nama proyek perkebunan monokultur. Land grabbing. Sekarang oxigen grabbing, tree grabbing,” jelas Mercy C. Barends, anggota DPR Dapil Maluku yang berasal dari Aru.
Lalu, apakah memang orang Aru anti kepada pembangunan? Ternyata, penjelasannya terkait dengan kondisi alam, tempat orang Aru tinggal.
“Kepulauan Aru ini termasuk pulau-pulau kecil dataran rendah. Kalau dieksploitasi akan ada ancaman pulau tenggelam. Apalagi dengan dampak perubahan iklim. Ada kenaikan permukaan air laut, gelombang pasang besar,” jelas Simon Kamsi, seorang pegiat lingkungan alam Aru.
“Di tahun 2022, pernah ada banjir rob, 20-30 rumah habis. Abrasi juga mengikis pantai dengan cepat.”
Kondisi yang dijelaskan oleh Simon Kamsi tidak berbeda dengan yang dipaparkan dalam Dokumen Kajian Risiko Bencana Kabupaten Kepulauan Aru, yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2018)
Dokumen itu menyebut ada lima jenis kerentanan bencana di Kepulauan Aru yang dikategorikan dalam kelas potensi bahaya tinggi, yaitu banjir, cuaca ekstrim, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan dan tsunami. Adapun yang tergolong dalam potensi bahaya sedang adalah gelombang ekstrim dan abrasi, gempa bumi, dan tanah longsor.
Dalam analisis kajian kebencanaannya, BNPB menyebut potensi warga Aru yang bakal terdampak cuaca ekstrim akan mencapai 89.965 jiwa, dan yang terpapar dampak kekeringan akan dapat mencapai 92.578 jiwa. Keduanya digolongkan pada Kelas Tinggi.
Sebagai pihak yang telah bergenerasi menghuni Aru yang rentan kondisi bencana, masyarakat lokal tentunya sudah beradaptasi dan paham betul tentang kondisi alam pulau-pulau kecil.
“Itu yang saya kira jadi mengapa investasi besar [ekstratif sumberdaya alam] akan tetap dapat perlawanan terus-menerus. Kami bukan sekedar menolak, tetapi karena kami khawatir pulau ini hancur, dan anak cucu kami terancam kehidupannya.” jelas Simon.
Status Kawasan Hutan dan Perjuangan Pengakuan Masyarakat Adat
Kepulauan Aru amat rentan terhadap bencana, apalagi jika ada perubahan dalam bentang lahannya, lalu mengapa ia terus jadi sasaran investasi besar?
“Ini terhubung dengan status kawasan Aru yang mayoritas lahannya adalah kawasan hutan negara,” jelas Mufti Barri, Direktur Forest Watch Indonesia (FWI).
Dalam peta penetapan Kawasan Hutan di Provinsi Maluku berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 854/Menhut-II/2014, hampir seluruh daratan Kepulauan Aru berupa Kawasan Hutan. Dari luas kawasan hutan Aru sekitar 779.031 hektar atau 96 persen dari total luas daratannya.
Dari jumlah itu, total hutan produksinya 194.355,95 hektar dan hutan produksi yang dapat dikonversi mencapai 511.094,61 hektar. Inilah yang diincar perusahaan ekstraksi sumberdaya yang terus melirik Aru yang berlimpah dengan kekayaan alam. Mereka ini amat aktif melakukan lobi dan mencari izin kepada pemerintah pusat dan daerah.
Ini yang lalu menyadarkan orang Aru untuk dapat memperoleh pengakuan wilayah dari negara. Inisiatif ini dimulai sejak 2021, bergulir sejak dimulainya Rancangan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru yang dibahas di tingkat DPRD.
Setelah berproses, pada Agustus 2022 Perda Kabupaten Kepulauan Aru Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Ursia Urlima diundangkan.
Istilah Ursia dan Urlima amat lokalistik, ia mengacu kepada ikatan struktur sosial tradisional segenap orang Aru. Ikatannya mencakup solidaritas yang terbentuk oleh kesamaan adat istiadat, bahasa, norma sosial, serta cara hidup (Darakay dan Murwani, 2021)
Meski baik, ini bukan tujuan akhir. Perda tidak akan bisa efektif menghalau laju bisnis ekstraktif, jika tidak ada tindak lanjut dari proses pengakuan kawasan wilayah dan hutan adat. Ini dimulai dengan proses pemetaan wilayah adat, dan serangkaian proses verifikasi basis-basis komunitas.
“Pasca Perda, langkah penting selanjutnya mendorong implementasi di Pemda, membentuk tim verifikasi masyarakat hukum adat yang mengakomodir semua pihak,” jelas Eko Cahyono, Peneliti Papua Studi Center (PSC), yang juga dosen IPB University.
Meski langkah panjang menanti. Setidaknya sudah secercah harapan bagi keberlangsungan hidup orang Aru.
Sumber tulisan ini berasal dari Mongabay.co.id