- Pembangkit listrik biomassa (PLTBm) maupun PLTU co-firing digadang-gadang jadi jalan transisi energi Indonesia dalam pengurangan emisi dari penggunaan sumber fosil. Banyak kalangan meragukan ini.
- Kenyataan di lapangan memperlihatkan terjadi polusi udara dari pembakaran biomassa jadi energi ini. Antara lain, terjadi PLTBm Mempawah, Kalimantan Barat. Lagi-lagi, warga yang harus menanggung dampak dari semua ini.
- Potensi Kalbar untuk hutan tanaman industri ini hampir menyamai seluruh luasan negara Brunei Darussalam, yaitu 576.000 ribu hektar. Luasan ini juga sama dengan enam kali luas DKI Jakarta. Dari tujuh perusahaan itu, yang sudah mengembangkan biomassa tanaman energi ada empat perusahaan, tiga menyusul dalam waktu dekat.
- Amelya Reza Oktaviani, Manajer Program Biomassa Trend Asia, menyatakan, strategi pengurangan emisi melalui pengembangan hutan tanaman energi untuk memenuhi kebutuhan produksi biomassa kayu justru mendorong deforestasi hutan alam besar-besaran.
Rukiyah, setiap pagi dan sore menyapu rumah yang berjelaga. Warga Desa Wajok Hulu, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat ini mengeluhkan kondisi rumah yang sering kotor. Rumah perempuan 69 tahun ini berjarak sekitar setengah kilometer dari pembangkit listrik biomassa PT Rezeki Perkasa Sejahtera Lestari (RPSL). Sejak PLTBm itu beroperasi lima tahun lalu, rumah sering kotor. Berbeda dengan abu sisa bekas pembakaran lahan, polusi yang keluar dari cerobong asap seperti bintik-bintik hitam kasar. “Kalau sudah kaki itu penuh hitam,” katanya.
Rumah Rukiyah tepat berada di sisi jalan utama di Wajok Hulu. Dia tinggal sejak 40 tahun lalu. Rumahnya biasa kotor jeba debu jalanan. Kondisi makin parah lantaran polusi dari sisa pembakaran pembangkit. Tak hanya di teras dan ruang tamu. Debu masuk hingga ke kamar. “Tempat tidur itu lain rasanya, (disentuh) hitamnya kelihatan,” katanya.
Pakaian yang dijemur juga jadi kotor. Dia pun harus menutup seluruh tempayan atau bak penyimpanan air. Bila terbuka, debu-debu polusi dari pembuangan pembangkit listrik akan mengotori tempat penampungan air yang ia pakai untuk kebutuhan sehari-hari itu. Air hujan tak bisa sembarangan ditampung. Air mengalir dari atas atap yang juga terkena debu-debu pembuangan. “Hujan pertama tidak ditampung. Kalau sudah banyak hujannya, baru ditampung.” Dia mengatakan, warga menerima semacam kompensasi atau tali asih dari perusahaan. Ada berupa beras, minyak goreng, sampai gula. Rukiyah pernah menerima tahun lalu.
Rohandi, Ketua RT07/ RW02 Dusun Lapan, Wajok Hulu benarkan ada keluhan rumah warga kotor karena polusi PLTBm. Warga juga tidak bisa menampung air hujan, karena terlalu kotor. Pertengahan Juli 2024, polusi debu lebih parah. Lantai diusap saja, debu hitam menempel di tangan. “Warga menyapu lalu sampah dikumpulkan, difoto, lalu ditunjukkan ke perusahaan,” katanya. Setelah ada protes itu, perusahaan datang peninjauan. Alasan perusahaan, ada kerusakan alat.
Dia meminta, perusahaan memperbaiki kerusakan. Perusahaan, katanya, beri tali kasih berupa sembako. “Satu tahun dua kali. Dari dua tahun lalu (ada tali kasih),” katanya. Debu masuk rumah pun Endang alami. Rumahnya berjarak sekitar 500 meter dari PLTBm Wajok Hulu ini. Debu pembakaran bikin kotor lingkungan sekitar rumah. “Apalagi kalau sudah masuk musim kemarau,” katanya.
Endang membuka usaha laundry yang bergantung pada ketersediaan air bersih. Debu pembakaran mengotori tempat penampungan airnya. Ada kompensasi berupa sembako bagi warga sekitar yang terdampak debu pembakaran. Dia merasa kompensasi tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. “Saya kemarin (kompensasi) cenderung ke pengadaan air bersih, karena yang dicemari adalah air bersih. Mereka (perusahaan) mengatakan tidak mampu.” Dia pernah keluhkan ini kepada ketua RT, kantor desa, bahkan mendatangi perusahaan langsung tetapi tak mendapatkan solusi jelas. Warga sekitar pernah juga demo tahun lalu. Pencemaran yang menimpa rumah-rumah warga di Wajok ini memperlihatkan pembakaran PLTBm menghasilkan polusi.
Pemasok biomassa
Tak jauh dari Wajok Hulu, ada desa yang selama 10 tahun terakhir kerap banjir, Desa Jungkat, Kabupaten Mempawah hingga menyebabkan mereka gagal panen. Desa yang tadinya lumbung padi kabupaten, kini warga terpaksa harus beli beras. Banjir menggenangi sawah dan kebun warga bisa seminggu baru surut. Murakip, kelahiran Desa Jungkat menyatakan, banjir terjadi sejak 2019 hingga kini. “Pada 2005 hingga 2018, padi masih banyak. Kini sudah banyak yang tidak lagi menanam padi,” kata lelaki 47 tahun ini.
Keluhan ini sudah berulang kali warga sampaikan ke kepala daerah, bahkan melalui legislatif yang konstituennya termasuk Jungkat. Belum ada perubahan berarti. Luasan lahan sawah desa mencapai 200 hektar, 25% merupakan lahan gambut. Dulu, padi, kelapa, kopi dan nanas, merupakan unggulan di daerah ini. Kini banjir menyebabkan tanaman mati. Jungkat merupakan pemasok kelapa muda di Kota Pontianak. Kini banyak tanaman kelapa mati. Beruntung warga masih bisa mengupayakan budidaya talas atau keladi. Keladi jadi stik beraneka rasa. Permintaan hingga ke Sarawak, Malaysia.
Sumi, ikut suaminya tinggal di Jungkat pada 2011. Dia juga tanam keladi. Sumi mengenang, tahun-tahun awal menetap di desa ini, keluarganya tak pernah membeli beras karena terpenuhi dari lahan sawah keluarga, walau luasan tak besar. “Makin ramai tempat ini, makin susah bertani.”
Munawaroh pun resah. Dia generasi ketiga yang menempati wilayah ini. Leluhurnya perantauan keturunan Bugis. Tempat ini mereka buka menjadi pemukiman, bertani adalah pencarian tambahan selain melaut. Kini, bertani dan melaut banyak warga tinggalkan diduga kondisi ekologi dan ekonomi. “Sekarang banyak laki-laki warga desa yang jadi buruh bangunan atau pelabuhan di kota, yang perempuan jadi pembantu,” katanya. Penjaga toko adalah pekerjaan yang diharapkan warga lulusan sekolah, selain sebagai buruh sawit atau perusahaan kayu.
Jungkat terapit oleh dua sungai, Air Hitam dan Peniti. Desa ini dikelilingi beberapa konsesi. Antara lain, PT Muara Sungai Landak (MSL), perusahaan hutan tanaman industri. MSL mengantongi izin IUPHHK-HTI No. 243/Menhut-II/2012, dengan luas konsesi 13.000 hektar. Perusahaan ini, salah satu yang ikut memasok bahan baku ke pembangkit listrik. MSL sebagian besar wilayah merupakan lahan gambut.
Berdasarkan analisis peta gambut Eyes of the Forest (EOF) 2015, dalam konsesi MSL terdapat 8.004 hektar atau 67% kedalaman gambut lebih tiga meter. Sebanyak, 4.871 hektar atau 37%, kedalaman gambut antara 0,5 meter–2 meter dan 125 hektar bukan gambut (1%). Tahun 2019, MSL satu dari tiga perusahaan yang disegel KLHK lataran terjadi kebakaran lahan seluas 30 hektar. Pada 2022, perusahaan ini diaudit PT Equality dan Komite Akreditasi Nasional. Kemudian, mereka mengumumkan hasil audit khusus dan berakhirnya masa pembekuan sertifikat kinerja pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL). Penilaian alhir kinerja dinyatakan lulus hingga pembekuan sertifikat MSL berakhir dan aktif kembali sejak 9 Mei 2022.
Trend Asia dalam laporan bertajuk ‘Penanggung Cuan Transisi Energi’ mengungkapkan, MSL memiliki hubungan dengan Asia Pulp and Paper (APP) milik Sinarmas Group. Dikutip dari Associated Press (AP) dalam investigasi yang terbit 20 Desember 2017, mengungkapkan dua pemilik saham MSL adalah karyawan APP. Walau hal ini dibantah perusahaan.
Dalam dokumen audit PHPL, disebutkan Komisaris Utama perusahaan adalah Justinus Indrayanto, dengan dewan direksi, Direktur Utama adalah Hendy. Direktur dijabat orang bernama Abas Yacob dan Guno Widagdo. Sebagai perusahaan hutan tanaman industri, MSL membuka hutan alam dengan cara tebang habis setidaknya pada periode 2013-2017. MSL memiliki konsesi seluas 13.114,22 hekta yang 85% ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai zona lindung gambut. Meski begitu, KLHK tetap memasukkan MSL dalam daftar 14 perusahaan yang mengembangkan hutan tanaman energi (HTE).
Data Direktorat Usaha Hutan Produksi KLHK, MSL mengalokasikan lahan untuk tanaman akasia seluas 8.782 hektar atau 66,96% dari konsesi. Hal ini kontradiksi dengan Instruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 661/2015 yang melarang pembukaan lahan untuk penanaman baru di kawasan gambut meskipun dalam areal yang sudah memiliki izin konsesi. Seluas 11.847 hektar konsesi MSL adalah kawasan gambut.
Tak hanya PLTBm, PLN juga punya PLTU co-firing di Kalbar. Berjarak 112 kilometer ke arah utara atau dengan 2,5 perjalanan dari PLTBm, PLN Indonesia Power (PLN IP) mengimplementasikan pencampuran bahan bakar utama dengan biomassa (co-firing) pada PLTU Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Singkawang, awal Agustus 2024.
Bahan bakar biomassa dari limbah serbuk gergaji atau sawdust jadi campuran energi primer di PLTU Bengkayang, Kalimantan Barat. Edwin Nugraha Putra, Direktur Utama PLN Indonesia Power Putra dalam keterangan kepada media mengatakan, selain mendukung transisi energi dan pencapaian target net zero emission, inovasi ini juga memberikan manfaat ganda bagi korporasi dan kesejahteraan masyarakat.
Co firing dari biomassa sawdust merupakan satu upaya mengakselerasi peningkatan bauran terbarukan di Indonesia untuk mencapai net zero emission pada 2060. “Uji bakar co firing serbuk gergaji menggunakan 250 ton atau 10% dari pemakaian batubara PLTU Bengkayang per hari,” katanya.
Dua bulan sebelumnya, PLN Indonesia Power menggunakan limbah racik uang kertas (LRUK) sebagai bahan bakar pengganti batubara untuk co firing pada UBP Singkawang , PLTU Bengkayang. Pemanfaatan limbah racik uang kertas ini wujud kolaborasi antara PLN Indonesia Power UBP Singkawang bersama Bank Indonesia Kalimantan Barat. Pengiriman perdana LRUK ke PLTU Bengkayang sebanyak 9 ton untuk uji coba co-firing.
Slamet Muji Raharjo, Manager Unit UBP Singkawang, menyebutkan, pemanfaatan biomassa dalam proses co-firing PLTU Bengkayang sampai dengan Mei 2024 mencapai 4%. Dia harapkan, banyak peluang kolaborasi dengan banyak pihak guna memenuhi kebutuhan PLTU Bengkayang. PLN Energi Primer klaim terjadi dampak ganda dari pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan biomassa, mulai dari pengumpulan limbah, proses produksi, rantai pasok, serta penanaman dan ekosistem biomassa pada 52 PLTU di berbagai wilayah Tanah Air. PLN klaim sirkular ekonomi ini memiliki skala ekonomi Rp9,34 triliun, dan memberdayakan 1,25 juta orang serta 10 juta ton biomassa per tahun.
Rugi miliaran tiap bulan
PLTU co-firing di Indonesia berjalan tidak konsisten. Gawe ini minim perhitungan mengenai penggunaan jenis biomassa. Ambisi PLN meningkatkan capaian bauran energi terbarukan dari co-firing sampai mencapai US$12, dinilai tidak realistis dan berpotensi merugikan negara. Narasi yang tersebar luas adalah biomassa meningkatkan efisiensi energi, menghemat biaya, dan mengurangi limbah. Biomassa dianggap solusi pengganti batubara dengan proses pembentukan memerlukan waktu jutaan tahun. Forest Watch Indonesia (FWI) membantah ini. “Penggunaan biomassa cenderung memperpanjang masa penggunaan batubara dan memperlambat adopsi energi bersih yang lebih efisien dan ramah lingkungan,” kata Anggi Putra Prayoga. Manager Kampanye Advokasi, dan Media FWI.
PLTU co-firing adalah teknologi “mengoplos” batubara dengan biomassa cangkang sawit, sekam padi, dan pelet kayu dan lain-lain 5-10%. Sedangkan PLTBm, juga disebut sumber energi terbarukan itu berasal dari bahan-bahan seperti kayu, cangkang sawit, jangkos, batang sawit, tempurung kelapa, sabut kelapa dan lain-lain. FWI menemukan, ada dugaan ‘kongkalikong’ antara industri penyuplai biomassa dengan oknum PLN. “Truk-truk pengangkut biomassa sengaja disiram dan dibasahi air untuk meningkatkan tonase sebelum masuk PLTU untuk ditimbang,” katanya.
Praktik pembasahan ini agar biomassa tidak langsung terbakar habis. Untuk mengecoh persepsi publik, pemasok biomassa menutup celah keluarnya air dari truk menggunakan tanah dan menutup dengan serbuk kayu atau sekam sebagai kamuflase. “Praktik ini dapat merugikan negara hingga Rp1 miliar sampai Rp1,5 miliar dalam satu bulan co-firing di satu PLTU,” katanya.
Selain itu, katanya, biomassa diklaim sebagai sumber energi untuk mengurangi emisi karbon perlu diuji dengan prinsip-prinsip keadilan dan berkelanjutan. Nyatanya, penggunaan biomassa dengan co-firing justru menyumbang emisi dari keluaran PLU dan deforestasi untuk pemenuhan bahan baku biomassa kayu. “Kayu adalah bahan bakar yang buruk, polutif, dan padat karbon. Namun, dianggap netral karbon karena emisi dari pembakaran kayu diasumsikan akan ditangkap kembali oleh pohon yang ditanam di perkebunan kayu energi.”
Ancaman deforestasi
FWI mencatat, pembangunan HTE sudah merusak hutan seluas 55.000 hektar dan masih ada 420.000 hektar hutan alam di dalam 31 konsesi HTE bakal terdeforestasi. Saat ini, luas potensi HTE di Indonesia 1.292.766 hektar. Ada 31 unit usaha yang berkomitmen mengembangkan HTE dan bioenergi. FWI memproyeksikan deforestasi hutan alam dari proyek transisi energi dapat mencapai 4,65 juta hektar (agregat nasional).
Nilai ini dihitung dari sisa hutan alam di dalam konsesi hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), dan perhutanan sosial (PS) yang memiliki aksesibilitas tinggi terhadap 52 PLTU co-firing di Indonesia. Kalimantan Barat, provinsi dengan besar kemungkinan pemasok bahan energi melalui skema HTE ini. Terdapat tujuh perusahaan HTI masuk dalam skema HTE di Kalbar. Selain MSL, ada PT Inhutani III, PT Nityasa Idola, PT Hutan Ketapang Industri, PT Daya Tani Kalbar, PT Gambaru Selaras Alam, serta PT Bhatara Alam lestari. Inhutani III adalah konsesi terluas meliputi dua kabupaten, Melawi dan Sintang.
Potensi Kalbar untuk HTE ini hampir menyamai seluruh luasan negara Brunei Darussalam, yaitu 576.000 ribu hektar. Luasan ini juga sama dengan enam kali luas DKI Jakarta. Dari tujuh perusahaan itu, yang sudah mengembangkan biomassa tanaman energi ada empat perusahaan, tiga menyusul dalam waktu dekat. Merujuk dokumen FoLu Net Sink 2030, Kalimantan Barat (Kalbar) merupakan salah satu provinsi dengan target mitigasi deforestasi hutan alam terluas 917.000 hektar. Sisi lain, Kalbar juga menargetkan perluasan hutan tanaman 153.259 hektar.
Global Forest Watch dalam dua dekade terakhir, periode 2002-2020, memperlihatkan hutan primer Kalbar hilang sekitar 1,25 juta hektar. Kalbar memiliki 6,88 juta hektar hutan primer (47%) dari wilayah seluas 14,9 juta hektar. Pada 2020, Kalbar kehilangan 32.000 hektar hutan primer setara 23 juta ton emisi CO₂. Analisis GFW pun memperlihatkan fakta kehilangan 1,25 juta hektar hutan primer basah itu menyumbang 36% total kehilangan tutupan pohon dalam periode sama.
Amelya Reza Oktaviani, Manajer Program Biomassa Trend Asia, menyatakan, strategi pengurangan emisi melalui pengembangan HTE untuk memenuhi kebutuhan produksi biomassa kayu justru mendorong deforestasi hutan alam besar-besaran. Dalam kajian Trend Asia, perlu lahan hingga 2,33 juta hektar atau 35% kali luas Jakarta untuk menjadi HTE guna menyuplai PLTU co-firing. Hal ini memicu ancaman deforestasi dan konflik lahan.
“Saat ini, sudah ada 31 konsesi PBPH-HT dengan luas 1,3 juta hektar yang berkomitmen mengalokasikan 220.000 hektar lahan ditanami tanaman energi. Demi memenuhi 2,33 juta hektar, masih dibutuhkan 2,1 juta hektar lagi, mungkin datang dari izin-izin baru,” kata Amel.
Selain itu, klaim pengurangan penggunaan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik dengan biomassa justru dipatahkan dari laporan PLN. Merujuk Statistik PLN 2021, pada penggunaan biomassa 282.628 ton, naik signifikan dari 9.731 ton pada 2020. “Penggunaan batubara juga naik jadi 68,47 juta ton, dibandingkan 2020 sebesar 66,68 juta ton.”
*Liputan ini merupakan bagian dari Data Journalism Forest Bootcamp 2024 yang didukung Indonesia Data Journalism Network (IDJN).
Sumber tulisan ini berasal dari Mongabay.co.id