DPR Prematur Menolak Ide UU Kehutanan yang Inklusif

Jakarta, 15 Juli 2025 — Diskusi awal perubahan UU Kehutanan berlangsung terlalu singkat dan dangkal untuk bisa saling mendalami persoalan kehutanan yang kompleks dan tumpang tindih dengan berbagai kepentingan. Dalam pembahasannya ke depan, masyarakat sipil berharap bisa mendapat ruang lebih untuk memaparkan lebih luas dan teknis tentang persoalan di lapangan, termasuk perlindungan ekosistem hutan dan pengakuan hak-hak dasar masyarakat adat.

“Namun kami diburu-buru. Masing-masing organisasi hanya mendapat tujuh menit. Ini terlalu singkat untuk memberi masukan tentang situasi kompleks isu kehutanan dan berbagai kepentingannya. Respon dari para anggota DPR juga kurang. Kurang memperdalam mengapa masyarakat sipil menuntut perubahan total,” kata Anggi Putra Prayoga, juru bicara Forest Watch Indonesia, usai Rapat Dengar Pendapat Umum dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil dalam pembahasan revisi keempat UU Kehutanan No. 41/1999 di Gedung DPR RI di Jakarta, 15 Juli 2025.

Menurutnya, masyarakat sipil ingin perubahan UU Kehutanan yang secara menyeluruh, bukan compang-camping tambal sulam mengingat UU ini telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Perpu, Putusan MK dan UU yang mencabut sebagian pasal-pasalnya.

“Kami ingin agar UU Kehutanan bukan sekadar revisi, karena revisi tidak bisa menjawab seluruh tantangan perlindungan hutan dan hak-hak masyarakat adat. Tadi juga dibahas bahwa nasib hutan Indonesia sudah menjadi sorotan dunia, sehingga revisi undang-undang sebagai induk regulasinya menjadi sangat mendasar,” katanya.

Hadir dalam kesempatan itu para juru bicara dari WWF, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Auriga, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Working Group ICCAs Indonesia, Perkumpulan HuMa, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia dan Forum Dialog Konservasi Indonesia.

RDPU berlangsung sekitar tiga jam – terlambat satu jam dari jadwal pukul 10.00 WIB – dibuka oleh Ahmad Yohan. Politisi Partai Amanat Nasional dari Nusa Tenggara Timur ini mengatakan bahwa dengan angka deforestasi yang meningkat dan tata kelola kehutanan yang mengalami kemunduran, maka “UU Kehutanan yang sudah berumur tua memerlukan revisi untuk menyesuaikan dinamika kondisi terkini di sektor kehutanan,” katanya.

Setelah Yohan, pimpinan rapat berganti ke Darori Wonodipuro, kader partai Gerindra yang sebelumnya pernah berkarir di Kementerian Kehutanan. Darori mengakui bahwa UU Kehutanan ini sudah berumur tua dan banyak aturan yg dihapuskan lewat UU Cipta Kerja. Selain itu, UU Kehutanan No. 41/1999 ini belum mengakomodasi kepentingan masyarakat adat, yang baru sebatas peraturan daerah. Status hutan adat pun belum optimal, baru sebatas hutan hak dan hutan masyarakat.

Akan tetapi, lanjut mantan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) ini, karena ada UU Cipta Kerja maka UU Kehutanan pun harus menyesuaikan. Misalnya seperti penghapusan 30% luas minimal kawasan hutan. Ia mengakui bahwa hal ini menimbulkan polemik, tetapi harus dilakukan.

Menurut Darori, tidak bisa semua pasal ingin diganti dengan yang paling ideal. Jika ingin mengubah suatu UU, minimal separuh pasal-pasal yang ada di UU No. 41/1999 harus diganti. Kalau pun lebih dari 70% bisa saja, selama disetujui oleh pemerintah. Ia meminta organisasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan sebanyak-banyaknya, menyodorkan pasal-pasal mana yang harus diperbaiki, asalkan logis dan tidak meminta perombakan total. Misalnya seperti moratorium penebangan hutan di Indonesia, yang menurutnya “tidak mungkin dilakukan.”

UU No. 41/1999 Perlu Rombak Total

Menurut Koalisi, sudah saatnya Indonesia tidak lagi menempatkan hutan sebagai aset negara yang bebas dieksploitasi. Selama 26 tahun, telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan; konflik tenurial yang tidak selesai; impunitas perusahaan penghancur hutan; perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan.

Padahal hutan adalah ekosistem utuh dengan manusia di dalamnya, yakni masyarakat adat dan komunitas lokal, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aktivitas sosial dan ekonomi yang terkait dengan hutan, tak bisa dipisah-pisahkan.

Koalisi memandang secara filosofis, UU 41/1999 telah melakukan kesalahan menafsirkan hak menguasai negara dan gagal mencapai janji konstitusi untuk mencapai “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Secara sosiologis, UU 41/1999 telah mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis, dan acuh terhadap pemaknaan hutan menurut masyarakat-sosiokultural. Sementara secara yuridis, UU 41/199 telah banyak dibongkar pasang. UU ini telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Perpu, Putusan MK dan UU yang mencabut Pasal-pasal di UU Kehutanan. “Karena itu, Koalisi berpendapat bahwa UU Kehutanan No.41/1999 sudah tidak layak lagi dipertahankan,” kata Uli Arta Siagian dari WALHI Nasional.

Menurut Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, juga selama ini cara negara mengurus dan mengelola hutan hanya mengutamakan salah satu, yakni kepentingan ekonomi yang menguntungkan segelintir orang. Sedangkan, akses kelola masyarakat melalui hutan adat dan hak akses melalui perhutanan sosial sedikit sekali. Dalam sisi GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial), UU Kehutanan tidak menjawab permasalahan ketimpangan gender dan inklusi sosial yang terjadi akibat kerusakan hutan.

“Pengalaman WALHI mendampingi 1,5 juta hektare yang tumpang tindih wilayah kelola hutan rakyat, hanya 16 persen yang mendapat pengakuan sepanjang sepuluh tahun,” kata Uli.

Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa pemerintah harus menghentikan penghancuran hutan alam, baik legal maupun ilegal. Pemberian izin konsesi kehutanan di bawah rezim UU Kehutanan saat ini hanya memandang hutan sebagai sumber penerimaan negara, ketimbang penyangga kehidupan. Misalnya dalam hal penertiban kawasan hutan yang hendak mengejar penerimaan negara hanya mengalihkan pelaku deforestasi, bukan menyelesaikan masalah mendasar tata kelola kehutanan.

Ia menambahkan, setidaknya terdapat 42,6 juta hektar hutan alam di dalam tiga kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, tetap dan yang dapat dikonversi) yang terancam deforestasi di masa mendatang. Kebijakan moratorium pemberian izin di hutan dan gambut di level Inpres pun tidak cukup kuat.

Apalagi, tambah Refki, faktanya kita masih melihat deforestasi dan kebakaran di area yang sudah dimoratorium. Data terakhir menunjukkan hilangnya 39 ribu hektare hutan alam di area moratorium sepanjang 2024.

“Sudah saatnya UU Kehutanan yang baru menghentikan praktik ‘monetisasi hutan’ dan menyelamatkan 90,7 juta hektar hutan alam tersisa, memihak pada masyarakat adat, perlindungan biodiversitas dan iklim,” kata Refki.

Erwin Dwi Kristianto dari HuMa menawarkan tiga hal yang harus ada di UU Kehutanan yang baru, yakni transisi rezim kehutanan dari rezim pengurusan menjadi rezim pengelolaan, memastikan proses penetapan hutan adat menjadi bagian dari proses pengukuhan kawasan hutan serta pemulihan lahan hutan.

“Negara semestinya cukup mengelola saja, tidak menguasai tanah. Yang terjadi sekarang adalah negara mengurusi kawasan hutan, tapi tidak mengurus hutannya. Hutan-hutan yang gundul, tidak ada pohonnya, dianggap masuk kawasan hutan,” katanya.

Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menambahkan pentingnya perubahan UUK secara total dalam perspektif Masyarakat Adat. UUK selama ini abai terhadap pengetahuan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal terhadap pengelolaan sumberdaya alam. UUK ini abai dengan aspek manusia. Perspektif dan pengetahuan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL) perlu menjadi bagian dari perubahan UU.

Menambahkan terkait pentingnya partisipasi MAKL, Muhammad Ihsan Maulana dari WGII memperjelas bahwa peran MAKL penting dalam perlindungan hutan karena Masyarakat Adat dan masyarakat lokal menggunakan wilayah ICCAs (Kawasan konservasi masyarakat adat dan masyarakat lokal) sebagai ruang hidup mereka dan mereka melindungi wilayah esensial tersebut secara turun temurun.

“Negara menetapkan hutan untuk fungsi produksi di wilayah masyarakat adat akan menimbulkan pergesekan, dimana masyarakat mengakui hutan dengan fungsi lindung dan fungsi religi, tapi negara mengakuinya sebagai fungsi produksi. Jadinya UUK gagal mengangkat realitas yang terjadi di konteks sosial,” ujar Ihsan.

Mohamad Burhanudin dari Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) mengusulkan klasifikasi hutan dibagi menjadi dua, yaitu hutan tetap/permanen dan hutan cadangan yang tidak dapat dikonversi. Ia menekankan perlunya penguatan fungsi hutan yang tidak dapat dikonversi. Selain itu, inventarisasi hutan perlu dilaksanakan secara inklusif dan partisipatif. Inventarisasi tersebut dapat dijadikan basis untuk penyelenggaraan tata kelola kehutanan yang selama ini dilakukan untuk kepentingan korporasi dan ekonomi. Ia menegaskan, “Mau tidak mau harus ada UU baru, kalau anggota DPR (Komisi IV) mengatakan pembuatan UU baru dianggap sulit, namun lebih sulit lagi kalau kita gagal dalam membuat regulasi yang bagus”.

Oleh karena itu koalisi menyerukan untuk perubahan total Undang-Undang Kehutanan. Perubahan total harus menjadi solusi dari permasalahan kerusakan hutan yang ada dan harus berpihak terhadap masyarakat, terutama secara inklusif terhadap masyarakat adat, masyarakat lokal sekitar hutan, dan petani hutan.

Narahubung:
Alvin, Forest Watch Indonesia, ‪+62 857-2034-6154
Selengkapnya dapat diunduh pada tautan berikut:
DPR Prematur Menolak Ide UU Kehutanan yang Inklusif
Published: Juli 15, 2025
Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top