Aceh/Jakarta, 4 Desember 2025 – Temuan sekelompok pegiat lingkungan menguatkan bahwa banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Provinsi Aceh berkaitan dengan deforestasi. Sehari sebelum banjir menerjang Beutong Ateuh pada 26 November 2025, Apel Green Aceh menemukan gelondongan kayu sekitar 30 meter kubik bertumpuk di wilayah yang berbatasan dengan hutan lindung di Desa Babah Suak, penghubung antara hutan Kawasan Ekosistem Leuser dengan hutan Ulu Masen di Provinsi Aceh.
Direktur Apel Green Aceh Syukur Tadu menyatakan, gelondongan kayu meranti yang berada di medan yang sulit dilalui kendaraan tersebut merupakan temuan kedua di wilayah itu sejak awal 2025. Temuan sebelumnya pada Mei 2025 di Desa Blang Puuk, Kabupaten Nagan Raya.
Temuan ini diperkuat data Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) yang mencatat Kabupaten Nagan Raya, yang membawahi Beutong Ateuh, kehilangan tutupan hutan seluas 5.127 hektare dalam periode 2018-2024. Dalam periode tersebut, kejadian kehilangan tutupan hutan terbesar berlangsung pada 2024, dengan luas mencapai 1.052 hektare hanya dalam setahun.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) Mufti Barri menyatakan, bencana akhir November 2025 merupakan akumulasi dari kerusakan hutan menahun di Sumatera. “Dosa masa lalu selalu menjadi alasan pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab lingkungan. Mereka terus saja menyalahkan apa yang terjadi di masa lalu alih-alih memperbaiki kondisi lingkungan saat ini,” katanya.
FWI mencatat luas hutan di Provinsi Aceh berkurang sekitar 177 ribu hektare atau 2,5 kali luas Singapura hanya dalam tempo tujuh tahun. Dalam kurun setahun hingga 2024, Negeri Serambi Mekkah telah kehilangan sekitar 16 ribu hektare hutan alam.
Mufti Barri mengatakan, deforestasi sangat nyata dan mempertontonkan fakta yang terus terjadi di depan mata. “Deforestasi seharusnya tidak lagi menjadi istilah politis. Menghentikan deforestasi harus dilakukan dengan aksi nyata di lapangan, bukan dengan perdebatan metodologi dan mengubah definisi deforestasi itu sendiri,” katanya.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, pemberian izin industri ekstraktif turut memicu deforestasi yang ugal-ugalan di Aceh. Berdasarkan analisis citra satelit Global Forest Watch yang diolah JATAM, Aceh tercatat telah kehilangan tutupan pohon seluas 860.000 hektare pada 2021-2024.
JATAM mencatat Aceh dibebani empat izin kehutanan dengan luas konsesi 207.177 hektare. Salah satunya dimiliki PT Tusam Hutani Lestari yang merupakan perusahaan perkebunan hutan tanaman industri (HTI) milik Presiden Prabowo Subianto, yang menguasai lahan seluas 97.300 hektare.
Bukan hanya dibebani izin penebangan kayu, Aceh juga disesaki izin tambang. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan Aceh kini dibebani 31 izin tambang dengan total luas konsesi 156.7411,12 hektare. Jumlah tersebut belum termasuk pertambangan tanpa izin (PETI), yang didominasi oleh pertambangan emas ilegal. Mengutip Walhi Aceh, luas PETI di provinsi itu seluas 3.500,55 hektare. Sekitar 2.318,36 hektare di antaranya berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser.
Sementara, Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) menghitung, deforestasi yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat selama 2016-2024 mencapai 1,4 juta hektare. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Uli Arta Siagian mendesak, pemerintah mengevaluasi semua perizinan di seluruh Indonesia khususnya di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Menurut Uli, evaluasi dapat dimulai dari ekosistem penting dan genting seperti hutan, gambut dan hulu DAS. WALHI juga mendorong pencabutan izin dan penagihan tanggung jawab pemulihan kepada korporasi yang mengeksploitasi dan merusak ekosistem penting serta melakukan pelanggaran hukum.
WALHI juga menuntut pemerintah merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di seluruh provinsi di Sumatera. Revisi turut menempatkan batas ekosistem sebagai zona lindung permanen yang tidak dapat diubah untuk kepentingan investasi ekstraktif.
Das Rusak
Sekitar 85 persen kampung di Beutong Ateuh hilang semenjak banjir bandang menerjang kecamatan kecil di Kabupaten Nagan Raya itu. Beutong Ateuh yang selama ini dikenal sebagai wilayah pertanian subur kini rusak parah.
Warga terisolasi karena kampung berubah menjadi sungai. Akses jalan lumpuh total. Bantuan bagi warga yang terisolasi disalurkan menggunakan uluran kabel yang dibentangkan di atas Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Beutong yang kini terpecah menjadi tiga jalur.
Krueng Buetong yang menjadi sumber penghidupan itu kini mengalirkan duka. Syukur Tadu menyatakan ketika DAS Krueng Beutong rusak, warga kehilangan lebih dari sekadar air—mereka kehilangan sumber hidup. “Sungai yang dulu memberi ikan, air bersih dan hasil kebun kini berubah keruh, merusak mata pencaharian dan meretakkan budaya turun-temurun yang hidup dari sungai,” katanya.
Kerusakan DAS akibat pertambangan legal dan ilegal juga terjadi di Aceh dan Sumatera Barat. Bahkan proyek energi yang diklaim bersih seperti PLTA yang dikelola North Sumatera Hydro Energy (NSHE) juga berkontribusi terhadap banjir yang terjadi di Batang Toru, Sumatera Utara.
Uli mengatakan, pemulihan ekologis hulu DAS sebagai strategi adaptasi harus segera dijalankan. Restorasi skala bentang alam menjadi krusial. Menurutnya, restorasi dapat dilakukan melalui penanaman vegetasi asli dan rehabilitasi tutupan tanah. Pemerintah juga harus selekasnya merekoneksi koridor satwa yang rusak akibat proyek energi, tambang dan perkebunan. (**)
Tentang JustCOP
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) adalah jaringan masyarakat sipil yang memperjuangkan tata kelola iklim berbasis hak dan demokratis, dengan menempatkan komunitas terdampak sebagai aktor utama perubahan.
Kontak Media: justcop@ariseindonesia.com
