
Globalisasi telah memberikan dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, khususnya di bidang ekonomi. Kemajuan teknologi yang semakin canggih turut mempermudah akses terhadap sumber daya alam dalam skala besar, mempermudah kapitalis dalam berlomba-lomba memperluas kegiatan industri ekstraktif guna memaksimalkan keuntungan. Ironisnya, di balik kemajuan tersebut, terdapat konsekuensi serius yang kini dihadapi oleh masyarakat global, yaitu triple planetary crisis atau tiga krisis planet, yang mencakup perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan meningkatnya polusi. Krisis ini merupakan dampak dari aktivitas antropogenik yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi, termasuk eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, penggunaan energi fosil, serta pola konsumsi dan produksi yang tidak ramah lingkungan. Tantangan ini menuntut adanya perubahan paradigma dalam pembangunan ekonomi global.
Menanggapi krisis global ini, berbagai pemimpin dunia menyerukan perlunya reformasi mendasar dalam sistem ekonomi global. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, António Guterres, dalam pidatonya pada agenda Stockholm 50+ menegaskan bahwa untuk mengatasi triple planetary crisis, dunia harus “Menempatkan nilai sejati pada lingkungan dan melampaui Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai tolak ukur kemajuan dan kesejahteraan manusia. Serta perlu beralih ke ekonomi sirkular dan ekonomi regeneratif”. Pernyataan ini menekankan pentingnya transformasi ekonomi dari yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, menuju pendekatan yang mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan sosial dan pemulihan lingkungan.
Salah satu pendekatan inovatif yang mulai banyak diarahkan oleh para ekonom abad ke-21 adalah konsep ekonomi restoratif. Berbeda dengan ekonomi sirkular yang menekankan efisiensi dan pengurangan limbah, ekonomi restoratif melangkah lebih jauh. Ekonomi restoratif tidak hanya bertujuan untuk mengurangi dampak negatif, tetapi secara aktif berupaya memulihkan ekosistem yang telah rusak serta memperbaiki kerusakan sosial yang ditimbulkan oleh model ekonomi konvensional. Ekonomi restoratif berpusat pada prinsip keadilan ekologis dan sosial, dengan fokus pada pemulihan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti masyarakat adat. Konsep ini menjadi antitesis dari pendekatan ekonomi yang menjadikan PDB sebagai satu-satunya indikator keberhasilan pembangunan.
Ekonomi restoratif hadir sebagai solusi terhadap berbagai krisis yang kita hadapi saat ini, seperti krisis iklim, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial. Model ekonomi konvensional seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan dari eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati serta kesenjangan ekonomi yang melebar dan marginalisasi komunitas adat/lokal yang bergantung pada sumber daya alam sehingga menyebabkan ketimpangan sosial.
Sejatinya, konsep ekonomi restoratif sesuai dengan praktik ekonomi lokal yang telah diimplementasikan oleh masyarakat adat jauh sebelum model ini diusulkan. Praktik ekonomi lokal yang dilakukan oleh masyarakat adat bersifat environmental friendly, dimana mereka memanfaatkan sumber daya alam secukupnya demi keberlangsungan hidup anak cucu mereka di masa depan dan juga keberlanjutan hutan sebagai relung nafkah mereka. Di samping itu, praktik ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat modern di pusat kota cenderung eksploitatif tanpa memikirkan kebutuhan generasi mendatang, akibatnya ketersediaan sumber daya alam di wilayahnya perlahan habis. Alih-alih melakukan restorasi ekosistem, mereka malah melakukan ekspansi ke daerah lain yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, khususnya bagi masyarakat adat.
Di Kalimantan Barat, masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di sekitar hutan pada dasarnya telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi restoratif. Salah satu contohnya adalah praktik ekonomi lokal yang dijalankan oleh Masyarakat Adat Dayak Iban di Dusun Sungai Utik. Keberlanjutan hutan yang mengelilingi wilayah mereka hingga saat ini merupakan bukti nyata kebijaksanaan mereka dalam memanfaatkan dan menjaga alam, berbanding terbalik dengan pendekatan eksploitatif yang lazim terjadi di pusat-pusat kota.
Dalam kehidupan sehari-hari, Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik menjalankan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti berladang, budidaya kratom, menenun dan membuat anyaman. Berladang merupakan kegiatan rutin Masyarakat Adat Dayak Iban yang wajib dilakukan setiap tahunnya. Bahkan ketika sudah memasuki nugal atau musim tanam padi, masyarakat akan menghentikan kegiatan mereka yang lain untuk nugal. Hal tersebut merupakan tradisi yang telah lama diwariskan oleh leluhur mereka dan masih berlangsung hingga saat ini. Kegiatan berladang dilakukan secara komunal yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka hingga musim panen berikutnya.
Selain berladang, masyarakat juga melakukan budidaya tanaman kratom untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka yang dikelola secara individu oleh masing-masing keluarga. Meskipun dikelola secara individual, proses panen kerap dilaksanakan secara kolektif melalui praktik gotong royong. Mereka memetik daun kratom secara bersama-sama di satu lahan, kemudian berpindah ke lahan berikutnya setelah panen selesai. Daun kratom memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Harga remahan daun kratom kering per 18 Juli 2025 di Dusun Sungai Utik adalah Rp26.000 per kilo gramnya. Setiap keluarga bisa menghasilkan setidaknya 150 kg dalam sebulan. Selain memiliki nilai ekonomi, kratom juga memiliki nilai ekologis. Karakteristik pohon kratom yang dapat tumbuh pada kondisi lahan dengan pH asam dan tergenang air sepanjang tahun memberikan dampak ekologis yang signifikan. Selain berkontribusi pada tutupan lahan hijau dan penyimpanan karbon dalam tanah, kratom juga berpotensi mencegah terjadinya abrasi sungai, memperlambat laju deforestasi, serta mampu mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kegiatan lain yang turut menopang ekonomi keluarga adalah menenun dan membuat anyaman yang hanya dilakukan oleh perempuan adat. Perempuan adat Dayak Iban di Dusun Sungai Utik sangat terampil dalam menghasilkan kerajinan tangan, dan biasanya memanfaatkan waktu senggang di malam hari untuk menenun maupun menganyam. Material yang digunakan dalam membuat anyaman diperoleh dari hutan, yaitu Bemban (Donax canniformis) dan Rotan (Calamus), penggunaannya tergantung jenis anyaman yang akan mereka buat. Sementara dalam hal menenun, benang yang dipergunakan diperoleh dari luar daerah, sedangkan untuk pewarna benang mereka peroleh langsung dari hutan. Biasanya masyarakat memanfaatkan daun engkerebai, rengat akar, daun manyam dan kulit kepapah untuk memberi warna pada benang. Dari hasil tenun dan anyaman ini, perempuan Suku Dayak Iban di Sungai Utik bisa menghasilkan tambahan pendapatan setidaknya 500 ribu hingga 3 juta rupiah per bulan.
Berangkat dari praktik-praktik ekonomi lokal yang dijalankan oleh masyarakat adat seperti Dayak Iban di Sungai Utik, Kalimantan Barat, kita dapat melihat bahwa ekonomi restoratif bukanlah konsep baru, melainkan telah lama menjadi bagian dari kehidupan mereka. Dalam menghadapi triple planetary crisis yang diakibatkan oleh model ekonomi eksploitatif, pendekatan yang berpihak pada keadilan ekologis dan sosial menjadi sangat mendesak untuk diterapkan secara luas. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat global belajar dari kearifan lokal masyarakat adat yang selama ini terbukti mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam untuk membangun sistem ekonomi yang lebih adil, berkelanjutan, dan memulihkan, bukan merusak.