Ambisi Biomassa Berisiko Deforestasi, Petaka Menanti

  • Kebijakan pemerintah memberikan izin konsesi hutan tanaman energi (HTE) kepada investor untuk memproduksi pelet kayu sebagai bahan baku biomassa menjadi perdebatan. Alih-alih mendukung transisi energi dan melibatkan pengelolaan hutan berkelanjutan, proyek ini justru berisiko mendorong deforestasi hutan alam yang memicu bencana.
  • Hasil riset kolaborasi Yayasan Auriga Nusantara, Earth Insight, Forest Watch Indonesia (FWI), Trend Asia, Mighty Earth, dan Solution for Our Climate (SFOC) mencatat, ada konsesi HTE seluas 1,2 juta di Indonesia. Sekitar 700.000 hektar berada dalam kawasan hutan bertutupan,  sekitar 400.000 hektar hutan alam lebat dan 329.000 hektar sudah terdegradasi.
  • Ekspor pelet kayu rentang 2021-2024 ke Korea Selatan 220.749,2 ton dan Jepang 106.868,4 ton, dan lain-lain sekitar 737,8 ton.  Ekspor pelet kayu jalur laut terdeteksi paling besar di Gorontalo 50,18%, lalu dari Tanjung Emas,  Semarang 34,53%, dan Tanjung Perak, Surabaya 8,24%.
  • Timer Manurung, Direktur Eksekutif Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, pelet kayu untuk dalam negeri memang masih minim. Namun, bila rencana penerapan teknologi co-firing di PLTU batubara dengan target substitusi 5%-10 % biomassa akan makin mengancam hutan Indonesia.

Kebijakan pemerintah memberikan izin konsesi hutan tanaman energi (HTE) kepada investor untuk memproduksi pelet kayu sebagai bahan baku biomassa menjadi perdebatan. Alih-alih mendukung transisi energi dan melibatkan pengelolaan hutan berkelanjutan, proyek ini justru berisiko mendorong deforestasi hutan alam yang memicu bencana.

Hasil riset kolaborasi Yayasan Auriga Nusantara, Earth Insight, Forest Watch Indonesia (FWI), Trend Asia, Mighty Earth, dan Solution for Our Climate (SFOC) mencatat, ada konsesi HTE seluas 1,2 juta di Indonesia. Sekitar 700.000 hektar berada dalam kawasan hutan bertutupan,  sekitar 400.000 hektar hutan alam lebat dan 329.000 hektar sudah terdegradasi.

“HTE ini menjadi salah satu pemicu utama deforestasi terbesar di Indonesia,” kata Timer Manurung, Direktur Eksekutif Yayasan Auriga Nusantara dalam diskusi ancaman biomassa, di 11 Agustus lalu Deforestasi ini, katanya, akan menimbulkan bencana seperti banjir dan longsor.

Hasil pantauan lapangan Auriga Nusantara bersama organisasi dari Korea Selatan, Specific Fuel Oil Consumption (SFOC) dan Global Environment Forum (GEF) dari Jepang di Gorontalo menunjukkan,  ada bukaan lahan di hutan. “Gorontalo kan perbukitan, kalau hutan alih fungsi,  imbasnya banjir. Kami melihat bagaimana kawasan yang tadinya tidak banjir, sekarang menjadi banjir (setelah ada perusahaan HTE),” katanya. Saat ini, ada 10 perusahaan HTE mendapat konsesi di Gorontalo dengan luas 282.100 hektar. Empat perusahaan beroperasi, enam tengah proses perizinan.

Data FWI mencatat, hingga 2023, hutan alam tersisa di Gorontalo tinggal 693.795 hektar, atau 57% dari luas daratan. Dalam rentang waktu enam tahun terakhir (2017–2023), provinsi ini kehilangan 35.770 hektar tutupan hutan.

Perusahaan Hutan Tanaman Energi (HTE) di Provinsi Gorontalo

10 Perusahaan Hutan Tanaman Energi yang akan sedang dan akan beroperasi di Gorontalo. Total luasnya mencapai 282 Hektare

Table: Sarjan Lahay Source: Yayasan Auriga Nusantara

Bencana demi penuhi produk ekspor

Banjir dan longsor terjadi berulang kali, terdampak ke pemukiman yang berdekatan dengan konsesi perusahaan HTE maupun di hilir. Alih-alih memenuhi kebutuhan energi nasional, nyatanya, proyek HTE ini hanya melayani ambisi Jepang dan Korsel yang fokus mengembangkan biomassa sebagai upaya transisi energi.

Produk HTE berupa pelet kayu ternyata ekspor ke Korsel 67,2% dan Jepang 32,5%. Data riset ini, ekspor pelet kayu rentang 2021-2024 ke Korsel 220.749,2 ton dan Jepang 106.868,4 ton, dan lain-lain sekitar 737,8 ton. Ekspor pelet kayu jalur laut terdeteksi paling besar di Gorontalo 50,18%, lalu dari Tanjung Emas,  Semarang 34,53%, dan Tanjung Perak, Surabaya 8,24%. Ekspor pelet kayu untuk energi mengalami peningkatan periode 2020-2024, dari 2.028 metrik ton pada 2020 hingga mencapai 6.831 metrik ton pada 2024.

Timer bilang, pelet kayu untuk dalam negeri memang masih minim. Namun, bila rencana penerapan teknologi co-firing di PLTU batubara dengan target substitusi 5%-10 % biomassa akan makin mengancam hutan Indonesia. “Akan menjadi sumber malapetaka baru bagi hutan Indonesia dan masyarakat lokal,” katanya.

Organisasi masyarakat sipil di Korsel dan Jepang pun terus melakukan protes atas kebijakan negara masing-masing. Hasilnya, parlemen Korsel sedang mendorong penerapan kebijakan mendukung keberlanjutan hutan. Bila sudah pengesahan, negara itu tidak akan menerima produk dari aktivitas deforestasi atau kerusakan lingkungan lain.

Sementara, Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI) menuai kritikan atas kebijakan penggunaan pelet kayu impor untuk bahan bakar biomassa. Masyarakat Jepang pun menuntut penghentian dukungan untuk biomassa impor. Satu sisi, para pengusaha di Jepang yang memiliki perusahaan HTE di Indonesia menganggap aktivitas mereka legal.

Timer bilang, mereka memiliki dokumen perizinan lengkap dari Pemerintah Indonesia. “Artinya,  persoalan ada di Pemerintah Indonesia.”

wood pellet biomassa
Bentuk pelet kayu untuk biomassa. Foto: FWI

Korsel batasi impor pelet kayu

Hansae Song, Kepala Urusan Hutan dan Alih Fungsi Lahan di SFOC, mengatakan, saat ini biomassa menyumbang 18% dari 53.146 Gwh, energi terbarukan di Korsel.  Sumber bahan baku biomassa dari hutan menyumbang 73%. Untuk memenuhi kebutuhan biomassa, Korsel 80% mengandalkan pasokan bahan baku yakni pelet kayu dari negara lain, seperti, Vietnam, Rusia, Indonesia,  Kanada, Malaysia dan negara lain.

Dia bilang, ini ancaman serius untuk keberlanjutan hutan, terutama di Asia Tenggara yang paling tinggi ekspor pelet kayu ke Korsel. Pelet kayu, katanya,  secara umum bersifat emisif dan destruktif yang mendorong krisis iklim karena praktik deforestasi. “Itu hanya menyebabkan lebih banyak hancuran di tempat-tempat seperti Indonesia,” katanya.

Menurut Song, energi pelet kayu tak sebanding dengan daya rusak. Dari praktik penebangan pohon alam oleh perusahaan HTE di hutan sampai proses pembakaran, katanya, akan lebih banyak menghasilkan emisi karbon. Pemerintah Korsel, sebenarnya menyadari praktik deforestasi dari produksi pelet kayu menyebabkan kehancuran hutan dan emisi karbon dan membutuhkan biaya mahal untuk pemulihan.

Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi Korsel resmi mengumumkan niat melarang penambahan kapasitas biomassa baru untuk memenuhi kebutuhan energi terbarukan. “Ini (biomassa) bukan solusi yang berkelanjutan secara lingkungan dan ekonomi,” kata Song.

Korsel pun, katanya, akan perketat syarat impor bahan baku biomassa dari hutan. Salah satunya, biomassa ke Korsel harus legal dan bukan dari deforestasi. Dari sisi legislatif, legislator, katanya,  Korsel tengah mengusulkan perubahan UU Penggunaan Kayu  (mengamandeman aturan Timber Use Act)  sejalan dengan niat pemerintah, salah satu soal pembatasan impor kayu.

Katsuhiro Suzushima dari Global Environment Forum (GEF)  mengatakan, impor pelet kayu di Jepang justru dapat dukungan regulasi Feed-in Tariff (FIT) atau Tarif Pembelian Energi Terbarukan.

FIT adalah sistem di mana perusahaan listrik membeli energi terbarukan dengan harga lebih tinggi dari harga pasar. Biomassa impor menyumbang 75% dari kapasitas pembangkit listrik biomassa di Jepang. Data GEF menunjukkan, sejak ada FIT dari 2012-2024, impor pelet kayu di Jepang mengalami lonjakan 88 kali lipat.

Impor dari Indonesia, mencatat peningkatan pesat dari 38.000 ton pada 2021 jadi 315.000 ton dalam 2024. Dalam paruh pertama 2025, impor pelet kayu dari Indonesia mencapai 4,1 juta ton. Jumlah ini naik 6,4 juta ton dibandingkan pada 2024. Pemerintah Jepang dia anggap tak menghiraukan persoalan di negara pengekspor yang mengalami deforestasi untuk memproduksi pelet kayu.

Hutan gorontalo
Hutan alam di Gorontalo sudah terbabat untuk pelet kayu. Foto: FWI

Koalisi masyarakat sipil di Jepang pun mengkritik sistem ini dan meminta pemerintah mengecualikan biomassa dari cakupan sertifikasi baru di bawah sistem FIT untuk energi terbarukan, mulai 2026 dan seterusnya.

Katsuhiro bilang, masyarakat mempersoalkan deforestasi dalam produksi pelet kayu, seperti di Gorontalo. Pembangkit listrik biomassa berskala besar yang bergantung pada bahan bakar impor, katanya,  akan sulit jadi sumber energi terbarukan. “Kami mengajukan petisi publik dari warga Jepang sekitar 20.000 tanda tangan dan surat dari LSM Amerika Utara kepada Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, meminta penghentian dukungan untuk pembangkit listrik biomassa kayu impor di bawah sistem FIT,” katanya.

Pemerintah Jepang mempromosikan pembangkitan listrik biomassa sebagai sumber energi terbarukan netral karbon di bawah sistem FIT dengan membebankan biaya kepada konsumen.

Dia bilang, efisiensi energi biomassa hanya 20-30% alias 70-80% volume kayu yang terbakar lepas sebagai panas, sebagian besar jadi panas sisa.  Biaya bahan bakar pun, katanya, menyumbang 70% dari biaya operasional pembangkit listrik biomassa.

Selain itu, deforestasi hutan primer dan pelanggaran terhadap Undang-undang Lingkungan menjadi masalah negara pengekspor. “Pembangkit listrik biomassa kayu impor tidak cocok sebagai sumber energi terbarukan dan tidak berkelanjutan. Tidak hanya sertifikasi baru, juga sertifikasi yang sudah ada harus segera ditinjau dari sudut pandang keberlanjutan.”

Sumber berita Mongabay.co.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top