TERNATE, KOMPAS —Pencemaran di perairan Halmahera terus terjadi sehingga berdampak pada penurunan kualitas hidup warga di kawasan itu. Aktivitas eksplorasi nikel yang diduga sebagai pemicu pencemaran itu diharapkan bisa dihentikan terlebih dahulu sebelum adanya pertanggungjawaban perusahaan untuk mengembalikan kondisi perairan menjadi baik.
Dalam diskusi secara daring di Ternate, Jumat (10/11/2023), pengajar di Fakultas Kelautan Perikanan Universitas Khairun, Muhammad Aris, menjelaskan, hampir seluruh kawasan teluk di Halmahera tercemar. Pencemaran diduga akibat aktivitas perusahaan pertambangan nikel. Pencemaran terjadi di Teluk Weda dan Teluk Buli.
Hal ini membuat biota seperti lamun dan terumbu karang tercemar. Tidak hanya tercemar, beberapa biota tersebut juga rusak karena terkena timbunan sisa limbah pertambangan yang dijadikan bahan untuk reklamasi. Di kawasan Teluk Weda ini terdapat kawasan industri pengolahan nikel, yakni PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP). Kerusakan dinilai akan semakin masif setelah adanya rencana perluasan areal industri dengan cara reklamasi.
Suhu air laut juga menjadi tinggi akibat limbah yang dialirkan ke lautan. Hasilnya, ikan-ikan yang berada di pesisir menjadi terancam sehingga populasinya terus menurun.
”Praktik seperti ini harus segera dihentikan karena membahayakan penduduk dan populasi ikan di kawasan tersebut,” ujarnya.
Tidak hanya di Teluk Weda, kawasan pesisir di Teluk Buli, Halmahera Timur, juga dinilai telah tercemar. Warga Halmahera Timur, Said Marsaoly, menjelaskan, tidak harus menunggu adanya penelitian akademik apabila ingin melihat dampak pencemaran dari aktivitas tambang yang ada di sana. Praktik penambangan yang ugal-ugalan membuat jumlah nelayan di sana turun drastis akibat menurunnya jumlah tangkapan.
Ia mencontohkan, dahulu terdapat hingga ratusan bagan, alat penangkapan ikan yang menggunakan jaring dan lampu, di kawasan tersebut. Namun, sejak aktivitas pertambangan masuk, jumlah bagan terus merosot. Artinya, tangkapan ikan yang dahulu melimpah kini terus turun.
Menurut Said, kini terdapat rencana untuk meningkatkan produksi di Blok Sangaji, Buli, Halmahera Timur. Rencana pengembangan tersebut diharapkan berhenti sebelum adanya pemulihan di kawasan Teluk Buli. Ia berharap agar pemerintah melakukan moratorium mengenai pembatasan rencana ekspansi perusahaan nikel di Halmahera.
”Sebelum perusahaan tambang masuk, jumlah bagan itu ratusan. Di malam hari, kawasan Teluk Buli itu seperti kota mengapung, tetapi kini hanya tersisa sekitar 10 saja. Warga meminta agar pemerintah menghentikan ekspansi dan mengutamakan konservasi serta pemulihan. Setelah adanya komitmen pemulihan, baru rencana-rencana itu dibahas lagi,” ujarnya.
Pencemaran diduga akibat aktivitas perusahaan pertambangan nikel. Pencemaran terjadi di Teluk Weda dan Teluk Buli.
Juru Kampanye Forest Watch Indonesia Agung Ady Setiawan menjelaskan, selain di kawasan Buli dan Weda, pencemaran juga terjadi di kawasan Daerah Aliran Sungai Sagea, Halmahera Tengah. Akibatnya, aktivitas warga terganggu, salah satunya keruhnya aliran air di Sagea akibat pembukaan lahan di bagian hulu yang berada di konsesi milik PT IWIP.
Mengacu pada pemantauan yang dilakukannya pada tahun 2021 hingga 2023, terjadi pembukaan lahan hutan sebesar 392 hektar. Meski masih terhitung kecil, ia mengkhawatirkan jumlah ini bisa terus bertambah seiring terus berjalannya kegiatan eksplorasi di sana.
”Jika hujan, limpasan air yang datang dari hulu itu berwarna hampir kuning akibat tanah sudah dikeruk. Ini mengganggu aktivitas warga yang menggunakan air di aliran tersebut sebagai sumber air baku. Pihak pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, harus mengevaluasi dan menindak perusahaan yang mencemari lingkungan,” ujar Agung.
General Manager External Relations PT IWIP Yudhi Santoso menjelaskan, temuan pencemaran di kawasan Sagea tidak diakibatkan oleh aktivitas perusahaannya. Ia menambahkan, perusahaannya tidak melakukan penambangan di wilayah Sungai Sagea, yaitu di daerah Ake Sepo dan Ake Yonello. Mengutip hasil investigasi pemerintah, kekeruhan air di Sungai Sagea disebabkan oleh fenomena alam seperti cuaca dan karakteristik batuan karst di wilayah tersebut.
”Hasil uji laboratorium menunjukkan tingkat oksigen terlarut adalah satu-satunya yang melebihi ambang batas. Dengan ini, air Sungai Sagea yang tercemar dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti temperatur air, udara, jumlah tumbuhan air, dan kadar mineral,” ucap Yudhi.
Editor : Rini Kustiasih
Sumber tulisan ini berasal dari Kompas.id