Tren kehilangan hutan di Kalimantan Timur terus meningkat dan kini berada pada level yang mengkhawatirkan. Laporan berbagai organisasi pemantau lingkungan menunjukkan bahwa laju deforestasi di provinsi ini bergerak cepat seiring intensitas aktivitas ekstraktif dan pembukaan kawasan baru untuk berbagai kepentingan pembangunan.
Forest Watch Indonesia (FWI) menegaskan, bahwa deforestasi di Kaltim dalam 2 tahun terakhir hampir setara dengan akumulasi kehilangan hutan di wilayah-wilayah yang saat ini mengalami bencana besar di Sumatera.
“Dalam periode 2023-2024 saja, Kalimantan Timur sudah kehilangan sekitar 57.060,99 hektare hutan. Kalau penyebab laju deforestasi tidak ditekan 3-5 tahun ke depan, kita akan melihat kombinasi banjir lebih sering, musim kering tanpa air bersih, dan kebakaran lahan yang makin rutin,” ucap Tsabit K, Juru Kampanye FWI, Senin, 1 Desember 2025.
Fenomena banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara pada akhir tahun ini dipandang sebagai peringatan dini bagi Kalimantan Timur.
FWI mencatat, bahwa provinsi-provinsi tersebut mengalami kehilangan tutupan hutan yang signifikan dalam 2 tahun terakhir. “Banjir di Sumatera hari ini bukan sekadar musibah lokal, tapi alarm keras buat Kalimantan Timur,” katanya.
Dia mengungkapkan, dalam 2 tahun terakhir, Aceh kehilangan sekitar 16.125 hektare hutan, Sumatera Barat 19.854 hektare, dan Sumatera Utara 21.173 hektare dengan total sekitar 57.153 hektare. “Dan angka itu hampir sama dengan kehilangan hutan satu provinsi saja di Kaltim,” unkapnya.
Tsabit menegaskan, bahwa kesamaan angka tersebut merupakan gambaran ancaman ekologis yang sedang menunggu Kaltim. “Kalau pola pengelolaan izin dan ruang konsesi tetap seperti sekarang, pertanyaannya bukan lagi apakah bencana ekologis besar itu datang, tapi kapan banjir dan longsor seperti di Sumatera akan pindah ke Kaltim,” tegasnya.
FWI menyebut percepatan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai salah satu faktor yang mempercepat pembukaan lahan di wilayah pesisir dan area berhutan. “Sejak 2018 sampai 2021, wilayah yang kini menjadi kawasan IKN sudah kehilangan sekitar 18 ribu hektare hutan, dan sisa hutan alam yang tinggal hanya sekitar 26,8 ribu hektare atau 10 persen. Mayoritas berada di hutan produksi dan APL, zona yang paling mudah dikapling untuk izin baru,” ungkap Tsabit.
Ia menilai lemahnya pembatasan izin menunjukkan minimnya komitmen perlindungan hutan. “Kalau di proyek paling bergengsi negara saja pemerintah membiarkan hutan tersisa terus tergerus, itu sinyal jelas bahwa komitmen iklim lebih banyak menjadi slogan daripada tindakan nyata,” sambungnya.
Lebih jauh, FWI menyampaikan langkah yang dirasa mendesak untuk dilakukan pemerintah guna menghentikan laju kehilangan hutan. Dengan rekomendasi sederhana, yaitu hentikan izin di kawasan kunci, cabut konsesi yang terbukti merusak, dan kembalikan ruang kelola bagi masyarakat adat sebagai penjaga hutan.
“Tanpa itu, narasi ekonomi hijau dan kota hutan hanya akan menjadi penutup laju deforestasi yang semakin cepat,” ujarnya. “Keputusan politik pemerintah dalam 2 sampai 3 tahun ke depan akan menentukan apakah Kalimantan Timur memasuki siklus bencana ekologis besar, atau memilih arah pemulihan dan pengelolaan ruang hidup yang berkelanjutan,” pungkas Tsabit.
Sebagai informasi, FWI merupakan jaringan pengawasan hutan independen yang berfokus pada pemantauan kondisi hutan Indonesia dan mendorong tata kelola ruang hidup yang transparan dan berkeadilan.
Sumber berita nomorsatukaltim.disway.id
