Suka-suka di Kebun Energi Maluku Utara

Hamparan tegakan jati putih tumbuh tak beraturan sekitar 7 meter dari belakang rumah Letet Tomodi di Dusun Mamawas, Desa Maratana Jaya, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Di bawah pohon-pohon  itu sudah sesak semak belukar. Namun Letet  seakan tak peduli. Ia memilih mengurus kebunnya. 

Kebun lelaki 64 tahun itu  berlokasi di hutan Tanah Merah, berjarak 8 kilometer dari dusun. Semenjak dua tahun terakhir, ia kembali ke dusun hanya hari Sabtu untuk persiapan Ibadah Minggu. Gerejanya kebetulan berada tepat di sisi kiri rumahnya. Meski memiliki rumah ibadah, perkampungan itu tak lumrah umumnya. Di sana terdapat lima rumah saja dan terkepung pohon Gmelina arborea Roxb—nama latin jati putih. “Pohon gmelina milik perusahan, bukan milik kitong (kita),” ungkap Letet kepada Betahita Jumat, 9 Agutus 2024.

Perusahan tersebut—PT Kirana Cakrawala—pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor 184/Kpts-II/1997. Luas konsesinya 2.3457 hektare. Produksi terakhirnya 2011. Sudah vakum 10 tahun, PT Kirana kembali mendapat izin penyetaraan melalui SK Nomor 936/MENLHK/SETJEN/HPL.0/10/2021. Izin ini diperoleh setelah lahir Permen KLHK Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.

Berdasarkan rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan (RKUPH) periode 2021—2023, model usaha PT Kirana teranyar adalah multiusaha kehutanan, berupa kebun energi atau Hutan Tanaman Energi (HTE).  Luas konsesinya masih seperti SK pertama, membentang di sebagian hutan alam Kecamatan Maba Tengah. Dusun Mamawas, perkampungan masyarakat adat Ohongana Manyawa atau Orang Tobelo Dalam masuk konsesi tersebut.

Peta konsesi PT Kirana Cakrawala tumpah tindih dengan dua konsesi tambang.

Letet, tetua dari klan suku itu, bercerita bahwa sebelum perusahan beroperasi, para datuk mereka lebih awal menempati belantara hutan. Namun saat hendak membangun perkampungan di dalam hutan itu ditolak perusahaan. Kala itu 2007, Letet bersama kerabatnya, Kepala Desa Ilili datang ke kantor PT Kirana Cakrawala di Desa Maratana Jaya. Dihadapan penanggung jawab perusahaan, ia menyampaikan maksud membangun lima hunian di kilometer 14—kini Dusun Mamawas. “Tapi pihak perusahan tar (tidak) memberikan izin,” ujarnya.

Letet tak patah arang, namun tiga kali ia mendatangi kantor itu, tiga kali pula ditolak. “Padahal ini tanah adat kita, tetapi mengapa ditolak.” Letet kemudian bertemu seorang polisi lalu meminta bantuan. Pria ini membuat warkat dan dengan diantar anak lelakinya, ia mendatangi lagi Kantor PT Kirana Cakrawala. Tak berselang lama, pihak perusahan menyetujui pembangunan hunian. “Syaratnya, boleh membangun hunian asal jangan tebang gmelina,” ungkapnya.

Letet bercerita, tanah adat mereka sebenarnya membentang dari Dusun Mamawas, Tanah Merah hingga ogah-ogah. Di sana ada kawasan hutan, kuburan, babasaram (bekas tempat tinggal), dan kebun. Klaim Letet itu dibenarkan Oraha Tomodi yang lahir di kilometer 16 di sempadan sungai Mamawas—Babasaram. Kata dia, hutan itu ditanami nanas, singkong, keladi, bambu, dan duku.

Tanaman-tanaman itu merupakan pohon sarat makna bagi warga di sana. Merujuk penilitian M Nasir Tamalene, bersama rekannya Mimien Henie Irawati Al Muhdhar, Endang Suarsini, dan Fatkhur Rochman [2014], duku dan seleguri adalah pohon kelahiran. “Untuk kematian, bambu dan nangka,” tulis mereka dalam penelitian itu.   

Oraha kecil waktu itu hidup nomaden dalam hutan, sebelum akhirnya turun bersama klannya ke Desa Miaf pada 1980. Sejak itu pula ia memilih beragama Kristen bersama Letet dan anggota suku. Oraha mengungkapkan, ada rumah semi permanen miliknya yang dibangun pemerintah di kilometer 8, Desa Maratana Jaya. Meski begitu, ia mengaku tak nyaman ditempati. “Lebih senang tinggal di hutan (Mamawas),” jelasnya Meski berkali-kali berpindah perkampungan, Mamawas selalu disematkan menjadi nama perkampungan dan lokasinya selalu berdekatan dengan sungai (Toto-doku). Mamawas adalah nama datuk mereka.

Manager Kampanye, Advokasi, Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Yoga mengkritik izin pembaruan PT Kirana Cakrawala. Ia menilai, prinsipal izinnya cacat karena mengabaikan modal sosial di Maluku Utara. Pasalnya dalam konsesi itu terdapat eksistensi masyarakat adat yang hidup, tinggal dan bergantung terhadap alam. Selain itu, ada kebun kelapa, cekolat, cengkih dan pala milik masyarakat.

Selain Letet dan Oraha, ada juga Alfons Tutuarima dan Maskatim—dua dari sekian masyarakat berstatus petani—bergantung hidup dari kebun dalam konsesi demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang kini was-was. Misalnya Maskatim, warga transmigrasi asal Jawa Barat ini terpaksa berkebun dalam konsesi karena tidak ada lahan kosong lagi. Alasannya ada benarnya. Permukimannya yang sudah beralih status menjadi Desa Maratana Jaya itu lahan usahanya masih dalam konsesi perusahan.   “Tidak ada tanah lagi tersisa, makanya saya berkebun di sini,” ujarnya.

Bagi Anggi, kondisi faktual itu bertentangan dengan Standar Norma dan Pengaturan (NSP) tentang HAM atas Tanah dan Sumber Daya Alam (TSDA). NSP ini disahkan melalui Keputusan Sidang Paripurna No. 14/PS/00.04/XI/2021 tanggal 2 November 2021. “Seharusnya pembaruan izin tidak diberikan kepada PT Kirana Cakrawala,” kata Anggi. Anggi menyarankan sebelum izin pembaruan dikeluarkan harusnya di audit, dimonitoring, dan dievaluasi kembali. Ia khawatirkan, transisi energi memenuhi target bauran energi dapat mencederai pripsip hak asasi manusia dan merusak hutan alam.

Muhammad Nur Abdullah Aziz tak menampik semenjak penyetaraan izin, pihaknya belum turun ke lokasi melakukan pemantauan. Kepala Seksi Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi dan Hutan Lindung BPHL Wilayah XIV Ambon itu mengaku hanya menganalisis melalui information system (DIS) laporan PT Kirana Cakrawala. “Kita belum turun ke lapangan melakukan evaluasi dan monitoring secara langsung [PT Kirana Cakrawala]. Tapi 2023, kita sudah bedah kinerja,” ungkapnya kepada Betahita, Selasa, 8 Oktober 2024.

Dia berujar, khusus untuk kebun masyarakat dalam konsesi seharusnya perusahan melakukan kemitraan kehutaan dan juga pemetaan konflik. “Kalau misalnya, tidak melaksanakan kewajiban salahnya perusahan.” Tapi menurutnya, perusahan telah melakukan tata batas hingga luas efektifnya cuma 13.000 hektare. Kemungkinan, katanya, tata batas itu untuk menghindari menggarap kebun masyarakat, apalagi perusahan lama tak beroperasi sehingga jadi terbuka bagi masyarakat.

Oraha Tomodi bersantai di rumah di Dusun Mamawas, Halmahera Timur, Maluku Utara (Foto: Jaya Barens)
Ancaman Senyap Deforestasi dan Bencana

Awal Agustus 2024, Betahita menyusuri konsesi PT Kirana Cakrawala melalui Desa Maratana Jaya. Sepanjang perjalanan, tak tampak hamparan pohon ‘raksasa’ hingga menuju batas izin di kilometer 23.  Tutupan hutan renggang. Cuma ada hamparan pepohonan yang ketinggian sekitar 15-24 meter dengan diameter sekitar 15-34 sentimeter. Bahkan areal konsesi juga tergerus erosi Sungai Onat yang makin meluas di sepanjang kilometer 14-22.

Haji Suaib Haji Hasan Tiyabo bercerita akhir Juli 2024, para-para asaran kopra di sana pernah terbawa banjir. Mantan Kepala Desa Maratana Jaya ini menuturkan sempadan sungai juga ikut terkikis 2 meter akibat meluapnya Sungai Onat. “Kopra miliki warga di kilometer 8 [Desa Maratana] yang berdekatan dengan sempadan sungai terbawa banjir,” katanya.

Kondisi serupa dirasakan sebagian warga Desa Tatanggapu. Letak desa berada tak jauh dari Hulu sungai. Dua desa ini potret dari hutan yang terbentang di konsesi HTE. Ada juga Desa Babasaram, Beringin Lamo, Bebsili, Wayamli, Yawanli, Gaifoli dan Marasipno. Di Desa Gaifoli bertetangga dengan Desa Marsipno, Juli 2024, enam rumah terbawa banjir akibat meluapnya Sungai Gaifoli. Berbeda di Sungai Walolo di Desa Beringin Lamo. Banjir kerap meluap ke permukiman dan sapi terbawa banjir.

Di tengah ancaman bencana, warga Desa Marsipno, Suleman Pakor mengatakan pada 2017 pihak PT Kirana Cakrawala bersama PT Sampoerna Kayoe melakukan sosialisasi ke desa-desa dan mengabarkan bahwa mereka akan beroperasi lagi. Desa yang didatangi, di antaranya Desa Miaf, Marsipno, dan Wayamli. Ia mengaku kaget setelah perusahan menyatakan kembali beroperasi. Tentu saja, Suleman khawatir ancaman bencana yang mengintai jika perusahan beroperasi. 

Merujuk data FWI mengenai tabulasi tutupan hutan Maluku Utara 2021, semula di Maluku Utara ada hutan seluas 2.361.723,33 hektar. Sejak 2017 hingga 2021, kawasan hutan alam menyusut sekitar 237.515, 42 hektare.

Suleman bilang, staf PT Kirana Cakrawala telah menyisir bekas konsesi yang pohonnya belum sempat tergarap untuk ditebang. Baginya penebangan ini menyebabkan pengundulan hutan dan ancaman bencana.  “(Mereka) Akan menebang pohon sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) dan gmelina yang ditanam dan menggarap hutan alam tersisa,” jelasnya.

Terkait afiliasi PT Kirana Cakrawala, Betahita menukil laporan Trend Asia berjudul Penangguk Cuan Transisi Energi. Riset ini menyebut PT Kirana Cakrawala anak usaha tak langsung PT Barito Pacific Tbk dan pemilik manfaat dari PT Sumber Agung Maluku yang dimiliki PT Barito Wanabinar Indonesia bagian dari Barito Pacific Group. Namun dalam laporan keuangan kuartal pertama 2022, PT Kirana Cakrawala tidak terdaftar lagi sebagai perusahan anak tidak langsung. 

Penelusuran Betahita, PT Sumber Agung Maluku merupakan joint venture antara Barito Pacific Group dan PT Sampoerna Kayoe. Perusaan patungan itu menaungi PT Kirana Cakrawala; PT Kalpika Wanatama di Pulau Taliabu dan Pulau Mangole;  PT Manggole Timber Producer—pabrik plywood dan wood pallet—beroperasi di Desa Falabisahaya, Kecamatan Mangoli Utara, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Nantinya, bahan baku dipasok dari tiga konsesi korporasi tersebut.

“Konsesi HTI-HTI Barito Pacific Grup dulu vakum. Tapi setelah bekerjasama dengan PT Sampoerna Kayoe beroperasi kembali di Taliabu dan Mangole pada 2023,” jelas Muhammad Nur Abdullah Aziz. “Kalau PT Kirana Cakrawala belum realisasi penanaman maupun produksi.”

Target penanaman dan produksinya 234 hektare. Di akhir RKUPH 2023 target ini tidak terealisasi. Oleh KLHK, PT Kirana Cakrawala masuk daftar izin konsesi evaluasi sebagaimana SK Menteri LHK Nomor: SK.01/2022. Lalu, perusahan ini diberikan kesempatan lagi menyusun RKUPH 2023-2032. Jenis pohon yang akan ditanam, sengon, gmelina, jabon (Neolamarckia cadamba), dua belanga dan binuang (Octomeles sumatrana Miq).

Penanggung jawab PT Kirana Cakrawara—PT Sumber Agung Maluku—Sayudiyanta tak bersedia memberikan keterangan ihwal hal di atas. Iamengatakan perlu konsultasi dengan manajemen untuk menjawab pertanyaan Betahita. “Ada beberapa item [pertanyaan] yang saya gak bisa jawab,” katanya kepada Betahita Jumat, 11 Oktober 2024.

Sementara itu, BPHL Wilayah XIV Ambon mengancam akan memberi sanksi tegas ke PT Kirana Cakrawala. Muhammad Nur Abdullah Aziz bilang, bila kemudian kewajiban perusahan tak segera direalisasi tiga tahun berturut-turut sebagaimana ditegaskan dalam Permen KLHK Nomor 8 Tahun 2021, “Bisa sanksi tertulis, pembekuan izin hingga pencabutan izin.”

Petani sedang membersihkan kebun kelapa, cokelat, dan pala dalam konsesi PT Kirana Cakrawala (Foto:
Sasar Hutan Adat yang Gundul Berulang

Ingatan Suleman lekat dengan pembicaraan dalam sosialiasi pada 2017 tersebut. Soalnya, lahan yang akan digarap itu bernama “lahan-lahan kehidupan”, sungguhpun hutan kawasan Gosora dan Kajawu sebagian dalam konsesi. “Kalau Kajawu hutan waris, ada Perkebunan. Selain itu juga ada bukti peradaban kita, seperti kelapa raja Y jauh sebelum PT Kirana Cakrawala beroperasi,” ungkap Suleman Pakor. Marga Pakor yang dipakai Suleman merupakan salah satu nama moyang O’hongana Manyawa. Orang tuanya, turun dari belantara hutan—menetap di pesisir dan beragama Islam 1984. Pantas saja Suleman mengklaim memiliki tanah waris-klan O’Hongana Manyawa—marga Pakor, Gilalo dan Dubalen.

Betahita mengunjungi hutan waris itu awal Agustus 2024. Melalui Avenza Maps—aplikasi peta—Betahita melakukan pemetaan lahan kelola rakyat dengan batas izin PT Kirana Cakrawala. Saat memasuki areal, tampak bentangan hutan telah berubah hanya ditumbuhi pohon-pohon berdiameter kecil. Bahkan di beberapa titik, terdapat tanah lapang penuh semak belukar dan tunggul pohon sisa perusahan beroperasi sebelumnya. Di sisi lain, terdapat sungai Gaifolo dan Sungai Kajawu yang sempadannya rusak tergerus erosi.

Meski begitu, Welmince Gilalo masih tahu tempatnya termasuk batas-batasnya. Kerabat Suleman ini mengatakan,  Kajawu dan sungainya bekas perkampungan O’Hongana Manyawa, sebelum ia turun dan menetap bersama anggota suku di Marsipno, dulu dusun II—anak dusun—Desa Wayamli 1961.  Wanita 56 tahun itu juga mengatakan, tete dan bapaknya dulu tanam pohon kelapa, duku, sagu, nanas dan kelapa di sana. “Dulunya kelapa buat makan saja, tidak untuk di jual,” katanya. Setiap kali berpindah perkampungan, ujarnya, selalu berdekatan Toto-doku.

Napak Tilas Datuk Mamawas dan Maratana

Memang sungai bagian tidak terpisahkah dari perkampungan O’Honga Manyawa. Sungai tak sekedar menjadi tempat mandi. Lebih dari itu: tempat mencari ikan dan sumber kehidupan. Setelah itu, 1963 mereka hijrah menuju tepian pantai bergabung dengan penduduk Desa Wayamli. Maka terbentuklah Dusun Haramoni. Kemudian kembali lagi ke Marsipno 1969, tepat 17 April 2006 menjadi desa definitif.  

Jauh sebelum PT Kirana Cakrawala beroperasi di kawasan hutan, sebelumnya ada dua perusahan raksasa kayu beropersai. Dua perusahan menebang pohon pada 1961.   Suleman tak menampik aktivitas dua perusahan itu mengusik keberadaan mereka dalam hutan.  Belum lagi, kehadiran PT Kirana Cakrawala yang mengakibatkan kenyaman semakin terganggu.

Mimin Dwi Hartono, Analisis Kebijakan Madya Komnas HAM RI menyebut sebelum KLHK menerbitkan izin penyetaraan, harus dipastikan tidak ada lagi tumpang tindih konsesi antara perusahan dan hak kelola masyarakat adat. “Perusahan juga harus memberikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi masyarakat adat,” katanya. Selain norma hak asasi manusia, ada juga prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang harus dipatuhi perusahan.

Pihak PT Kirana Cakrawala, menolak wawancara langsung bersama Betahita. Melalui staf PT Sumber Agung Maluku yang menaungi perusaha tersebut, Fitri meminta Betahita mengajukan pertanyaan tertulis. “Untuk pertanyaan yang ingin ditanyakan boleh kirim ke saya. Maksudnya, agar sekalian kami jawab,” jelasnya. Saat dikonfirmasi kembali, ia menyuruh menghubungi pengacara perusahan bernama Wandi Kuswandi Buamona.  Meski begitu, surat yang dikirim tak berbalas. 

Sementara itu, Muhammad Nur Abdullah Aziz, Kepala Seksi Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi dan Hutan Lindung BPHL Wilayah XIV Ambon mengatakan, untuk masyarakat adat ada undang-undang dan aturan sendiri dan masuk ke perhutanan sosial. Tapi yang ia alami, di Maluku-Maluku Utara secara de facto kawasan hutan miliki negara, namun secara de jure ada masyarakat adat. “Kami kan bergerak ikuti aturan, hutan adat akan diakui apabila sudah ada pengakuan dari pemerintah daerah,” jelasnya.

Buku Perampasan Ruang Hidup Cerita Orang Halmahera [2014] menyebut O’Hongana Manyawa diprediksi sudah berabad-abad mendiami pedalaman hutan Pulau Halmahera. Sebagian besar terpusat di Halmahera Utara. Kemudian menyebar ke tengah dan selatan. Kabupaten Halmahera Timur adalah daerah otonomi baru hasil pemekaran Halmahera Timur. Di bagian Kecamatan Maba Tengah ada gunung Isa Lou-Isa Lei. Gunung ini tampak dari Desa Marsipno. Gunung ini pula disebut tempat awal O’Hongana Manyawa bermukim di kawasan hutan ini. 

Baim Bulawa, tokoh pemuda Desa Wayamli menuturkan di kaki gunung dahulu kala ada dua datuk saudara kandung. Datuk Maratana bermukim di Isa Lei adalah kakaksementara Datuk Mamawas di Isa Lou adalah adeTempat tinggal keduanya terpisah aliran sungai.  “Saat itu, datuk Kapita Maratana lebih awal turun ke pesisir. Datuk Mamawas masih memilih bertahan,” jelasnya.

Bekas perkampungan masyarakat adat Ohongana Manyawa dalam konses PT Kirana Cakrawala (Foto: Jaya Ba

Saat turun ke pesisir, datuk Maratana punya empat keturunan dan berpindah-pindah ke empat Lokasi, salah satunya Obu. Ia kemudian memilih menetap di Desa Wayamli dan Obu—tempat keramat. Sedangkan keturunan Mamawas tersebar di antaranya di Desa Miaf.  Desa Bebsili, Desa Marsipno, Desa Gaifoli. Dua nama datuk kini disematkan untuk nama desa dan dusun.

Meski memiliki sejarah kepemilikan lahan, tetapi hak adat terkesan diabaikan. Padahal ada ancaman lain dari aktivitas PT Kirana Cakrawala. Ancaman itu adalah menyusutnya habitat burung akibat terjadinya deforestasi di hutan alam. Soalnya, sebagian konsesi perusahan beririsan dengan Taman Nasional Akejawe blok Lolobata. Di sini terdapat sejumlah spesies burung endemik Maluku Utara.

Bahwa ancaman itu nyata bisa dilihat dari wilayah lain dengan konsesi serupa. Di wilayah lain, merujuk catatan FWI pada 2023, sudah terjadi deforestasi. Sebanyak 31 konsesi kebun energi yang ditargetkan memenuhi biomassa kayu untuk kebutuhan co-firing di 52 PLTU diketahui telah merusak hutan alam Indonesia sebanyak 55 ribu hektare. Deforestasi itu diproyeksi meningkat di angka 4,65 juta hektare bila co-firing dan biomassa kayu tetap dijadikan strategi bauran energi dan upaya pengurangan emisi. Sebab, bionergi dikhawatikan bisnis yang mendorong deforestasi.

*Liputan ini didukung Forest Watch Indonesia (FWI) melalui program Forest Watch Journalist Fellowship 2024

Sumber tulisan ini berasal dari Betahita.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top