- Perusahaan kayu, PT Hijau Artha Nusa (HAN), berizin hutan tanaman energi di Jambi. Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, selama beroperasi 2019-2021, PT HAN hanya menanam sengon 64,5 hektar. Angka itu jauh dari dokumen rencana penanaman 2015-2024 yang menargetkan penanaman 18.087 hektar. Perusahaan dinilai tidak serius membangun hutan tanaman energi.
- Konsesi perusahaan HTE ini pun terlantar. Meski begitu, pepohonan di kawasan hutan itu terus berkurang karena berubah jadi kebun sawit.
- Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, mengatakan, konsesi HAN bukan tanah kosong, meski status kawasan hutan produksi. Banyak sisa belukar dan kebun karet warga yang ada sejak puluhan tahun lalu.
- Ahmad Bestari, Kepala Dinas Kehutanan Jambi, menganggap perusahaan asal Korea Selatan itu tidak berkomitmen menjaga konsesi hingga banyak terjadi perambahan di kawasan hutan yang merugikan negara. Dia berulang kali melaporkan perusahaan penanaman modal asing (PMA) kepada KLHK agar ada evaluasi.
Suara ekskavator menderu di tengah hutan di Desa Nago Gedang, Jambi, hari itu. Ratusan pohon tumbang, rata dengan tanah. Beberapa orang tengah mengawasi. Tak jauh dari mereka, barisan bibit sawit baru ditanam. Seorang warga mengaku menyewa alat berat Rp3,5 juta sehari untuk membersihkan pinggiran tanah agar api tak merembet saat tumpukan pohon itu terbakar. Setelah itu, lahan untuk tanam padi. “Beras lagi mahal. Setelah panen [padi] baru ditanam sawit, cabai sama sayuran,” katanya.
Lahan garapan warga ini masuk konsesi PT Hijau Artha Nusa (HAN). Perusahaan hutan tanaman energi ini dengan sokongan modal dari Korea Selatan. Dalam dokumen Direktorat Jenderal Adaministrasi Hukum Umum yang Mongabay akses 5 Agustus lalu, saham HAN milik Mohamad Sukri, sebagai komisaris. Dia mengepit 5.025 lembar saham, Rp502,5 juta. Lalu, Han Man Seong, Direktur HAN tercatat mengantongi 30.475 lembar saham, Rp3,047 miliar.
Pemegang saham mayoritas HAN adalah Woorim Energy Co., Ltd, yang berbasis di Goejeong-ro 166 beon-gil, Seo-gu, Daejeon, Korea Selatan. Perusahaan yang bergerak di bisnis pembangkit listrik tanaga surya dan energi terbarukan itu menguasai 142.000 lembar saham setara Rp14,2 miliar. Sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan nomor SK 183/Menhut-II/2013 yang diteken Zulkifli Hasan pada 25 Maret 2013, PT HAN mendapatkan izin konsesi seluas 32.620 hektare di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi sampai dengan 2073.
Konsesi HAN terbagi dalam tiga blok. Blok I terletak di Kecamatan Tabir, Tabir Ulu, dan Tabir Barat seluas 11.494 hektar, blok II 10.239 hektar berada di Nalo Tantan, dan Renah Pemberap. Setidaknya, ada 15 desa masuk dalam konsesi perusahaan di Merangin, salah satunya Desa Nalo Gedang. Blok III seluas 10.947 hektar di Desa Ranggo, Panca Karya dan Demang, Kecamatan Cermin Nan Gedang dan Kecamatan Limun, Sarolangun.
Setelah muncul UU Cipta Kerja (omnibus law), terjadi perubahan izin perusahaan. HAN mengantongi perizinan berusaha pemanfaatan hasil hutan (PBPHH). Ia sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: 230/Menlhk/Setjen//HPL.3/5/2021 tertanggal 18 Mei 2021. Lewat izin sapu jagat ini perusahaan bakal memproduksi pelet kayu, veneer dan kayu gergajian. Pelet kayu dari pohon sengon tanaman perusahaan, untuk campuran bahan bakar PLTU batubara.
Perusahaan ini, sekitar awal 2022, tidak lagi beroperasi di lapangan. Belakangan, warga banyak masuk untuk membuka lahan. Sepanjang tiga jam perjalanan, Mongabay menemukan banyak pembukaan lahan baru di konsesi HAN, nayoritas untuk kebun sawit. “Yang digarap itu belukar. Sebagian kebun karet ditumbang diganti sawit. Kalau buka hutan asli jarang,” kata lelaki 52 tahun itu.
Forest Watch Indonesia (FWI) tahun 2022 mencatat, luas lahan pertanian kering campur di konsesi HAN mencapai 15.577 hektar, belukar 544 hektar, tanah terbuka 300 hektar, pertambangan emas ilegal 374 hektar dan perkebunan 182 hektar.
Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, mengatakan, konsesi HAN bukan tanah kosong, meski status kawasan hutan produksi. Banyak sisa belukar dan kebun karet warga yang ada sejak puluhan tahun lalu. “Sebelum perusahaan itu mendapatkan izin, di sana sudah banyak kebun masyarakat,” katanya.
Thamrin, Kepala Desa Baru Nalo, mengatakan, hampir separuh wilayah desa masuk konsesi HAN. Thamrin mengakui banyak lahan warga masuk dalam kawasan hutan. Seingat dia, kawasan hutan produksi itu baru ditetapkan pemerintah sekitar 1980an. “Warga buka lahan itu sudah lama, malah sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan. Makanya jadi ribut.”
Muhlisin Madras, Manajer Administrasi dan Marketing HAN mengakui, banyak alih fungsi lahan di konsesi perusahaan yang menjadi kebun karet dan sawit masyarakat. Bahkan, sebagian jadi lokasi tambang emas ilegal. Dia beralasan jumlah pegawai yang terbatas membuat perusahaan kesulitan memberantas aktivitas ilegal itu. “Kita capek bertengkar terus dengan masyarakat. Tapi untuk kegiatan ilegal—tambang emas—kita sudah lakukan imbauan, bahkan kita pernah laporkan ke pihak berwajib.”
Konsesi terlantar
Hasil Monitoring dan Evaluasi Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah IV Jambi , menyimpulkan perusahaan asal Korea Selatan itu berhenti beroperasi sejak April 2023. Meski begitu, Khairul mantan komandan Satpam HAN yang ditemui Mongabay mengaku, perusahaan beroperasi di lapangan hanya sampai 2021. “Perusahaan itu cuma tiga tahun beroperasi mulai 2019-2021, sudah itu tidak operasi lagi,” katanya.
Sejak itu, konsesi terlantar. Hutan yang sebelumnya terbabat, sekarang jadi semak. Di beberapa bukit terlihat banyak coakan. Perusahaan milik Woorim Energy itu seharusnya menanam sengon di lahan yang ditebang. Tetapi selama beroperasi, perusahaan diduga hanya fokus menebang kayu.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, selama beroperasi 2019-2021, HAN hanya menanam sengon seluas 64,5 hektar. Angka itu jauh dari dokumen rencana penanaman 2015-2024 yang menargetkan penanaman 18.087 hektar. Lembaga yang fokus isu hutan ini menuding, HAN sebetulnya tidak serius membangun hutan tanaman energi. “HAN ini sebetulnya hanya mengincar kayu, tapi kedok HTE. Mereka mengekstraksi hutan, dapat kayu gratis terus dijual,” kata Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI.
Berdasarkan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) produksi kayu bulat HAN selama 2021-2023 sebanyak 7.014 meter kubik. Sementara data SKSHHK menunjukkan mulai 2021 sampai 2023, HAN mengangkut kayu bulat 14.851 meter kubik. Tetapi kayu itu tidak jadi kayu pelet (wood pellet) maupun veneer. Analisis Geospasial Walhi Jambi menggunakan platform Global Forest Watch (GFW) menunjukkan, selama tiga tahun perusahaan Korea Selatan itu beroperasi, luas tutupan hutan hilang mencapai 990 hektar tetapi lahan ditanami sengon tidak sampai 7%. “HAN ini adalah protret pemegang izin HTE di Indonesia, mereka sebenarnya hanya ingin mengusai hutan untuk kepentingan ekonomi,” kata Anggi.
Muhlisin mengakui, realisasi penanaman sengon tidak sesuai target. Dia beralasan banyak pegawai yang dirumahkan karena perusahaan pailit. Dalam laporan BPHL Wilayah IV Jambi, perusahaan berencana menjajakan konsesi karena sudah tidak dapat beroperasi.
Negara rugi puluhan miliar
Pada September 2023, Deri Sopian, staf Lembaga Tiga Beradik menemukan aktivitas illegal logging di wilayah Desa Baru Kibul, yang masuk dalam konsesi HAN. Beberapa orang tengah sibuk mengangkut puluhan kayu gelondongan ke atas truk. Kayu berdiameter 40-50 centimer dan panjang belasan meter itu diduga akan dikirim ke tempat penggergajian.
Dua tahun lalu, 8 warga Desa Nalo Baru ditangkap Satreskrim Polres Merangin karena terlibat kasus illegal logging di konsesi HAN. Polisi mengamankan puluhan kubik kayu yang dimuat dalam tiga truk. Tiga pelaku vonis setahun penjara. Kasus ini turut menyeret aparat desa. Deri bilang, aktivitas ilegal di konsesi HAN makin marak sejak perusahaan mandek beroperasi. “Sekarang ada dua sawmill baru dekat HAN,” katanya.
Konsesi HAN merupakan hutan hujan dataran rendah di Sumatera. Sepanjang 2017-2021, FWI mencatat terjadi penggudulan hutan seluas 4.834,52 hektar. Analisis geospasial Walhi Jambi menggunakan platform Global Forest Watch (GFW) menunjukkan, empat tahun sejak perusahaan asing itu dapat izin HTE pada 2013, luas tutupan hutan hilang mencapai 1.557 hektar. Hilangnya tutupan hutan membuat negara rugi. Sesuai SK Menteri LHK No 661/2023 yang mengatur besaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR), kerugian negara akibat pembukaan lahan ilegal di konsesi HAN ditaksir mencapai Rp30 miliar lebih. Sampai sekarang, katanya, pembabatan hutan di konsesi HAN terus berlanjut.
Ahmad Bestari, Kepala Dinas Kehutanan Jambi, menganggap perusahaan asal Korea Selatan itu tidak berkomitmen menjaga konsesi hingga banyak terjadi perambahan di kawasan hutan yang merugikan negara. “Kalau bicara devisa, hasusnya negara dapat duit, tapi gak jadi. Dia—HAN—nggak bayar karena tidak ada kegiatan. Negara justru rugi akibat sumber daya-nya hilang, karena banyak perambahan. Mestinya izin HAN diberikan ke investor lain, sehingga ada pendapatan untuk negara.”
Bestari mengaku berulang kali melaporkan perusahaan penanaman modal asing (PMA) kepada KLHK agar ada evaluasi. Keberadaan HAN, katanya, tidak menguntungkan pemerintah meski perusahaan Woorim Energy itu ikut mendukung program energi hijau. “Karena hasil produksi wood pellet-nya dijual ke Korea Selatan, bukan untuk kebutuhan listrik di Indonesia,” katanya.
Bambang Hero Saharjo, ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, pembalakan liar, tambang ilegal hingga perkebunan masyarakat di konsesi perusahaan tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi tetapi juga ekologi. “Kalau kita hitung kerugian negara, nilai akan jauh lebih besar dari PSDH-DR yang hilang. Belum lagi kalau kita hitung biaya pemulihannya,” katanya.
Peraih penghargaan Sense About Science John Maddox 2019 itu juga menegaskan, perusahaan bertanggung jawab memulihkan wilayah izin konsesi rusak, meski bukan disebabkan aktivitas perusahaan. “Sebetulnya ini bisa dilaporkan ke Gakkum karena terjadi kerusakan lingkungan. Bahkan kalau terbukti menyebabkan dampak buruk yang merugikan, perusahaan bisa digugat ke pengadilan,” katanya.
Tinggalkan utang
Zuhadi, mantan Kepala Desa Nalo Gedang, masih ingat betul janji manis Richo Widoyo Manajer Produksi HAN PADA 2019. Waktu itu, Richo menjanjikan warga pemilik pancong alas dan pemerintah desa bakal dapat bagian dari setiap kubik kayu yang ditebang dari kawasan hutan. “Janjinya dulu per kubik masyarakat yang punya lahan dapat Rp25.000, desa Rp25.000.”
Berpikir bakal dapat banyak uang, Zuhadi kemudian mengajukan pinjaman Rp250 juta ke perusahaan. Dia pikir, uang bagian desa bisa melunasi utang. Sampai sekarang Pemerintah Desa Nalo Gedang hanya menerima bagian Rp100 juta dari hasil tebangan kayu hutan. “Dulu itu dikasih Rp100 juta untuk DP—down payment. Sisanya akan dikasih 3-4 bulan lagi, tapi sampai sekarang nggak ada dibayar,” kata Zuhadi jengkel.
Lelaki 52 tahun itu sudah bolak-balik menagih, tetapi manajemen perusahaan selalu berkelit. Rencana Zuhadi, uang kurang bayar itu untuk melunasi pembelian tanah desa. “Uang Rp100 juta itu saya belikan tanah satu hektar untuk desa, harga Rp130 juta. Sampai sekarang belum lunas, masih kurang Rp30 juta. Duit dari perusahaan itu rencananya buat ngelunasi utang, tapi nggak dibayar.”
Gara-gara utang Rp 30 juta ini, pemerintah desa Nalo Gedang digugat keluarga M. Syafei. Pemerintah desa diminta membayar Rp80 juta karena melanggar perjanjian pelunasan tanah. Akhirnya kedua pihak sepakat di angka Rp35 juta. Zuhadi bilang, perusahaan tidak hanya nunggak bayar dengan Pemerintah Desa Nalo Gedang juga kepada Sarmono, pengusaha kayu asal Bangko, Merangin. “Kabarnya utang sampai Rp 1 miliar, maka swamill perusahaan di Mentawak itu dibongkar Sarmono, karena utangnya nggak dibayar.” Perusahaan asal Korea Selatan itu juga masih ada sangkutan utang dengan Pemerintah Desa Baru Nalo. Kata Thamrin, perusahaan masih ada utang Rp140 juta lebih.
Kepala Desa Baru Nalo itu cerita, awalnya pihak desa mengajukan pinjaman Rp20 juta ke perusahaan setelah dijanjikan ada bagi hasil kayu. Selama empat bulan pembayaran lancar. Setelah itu macet. “Macet sampai sekarang nggak operasi lagi. Bagian masyarakat juga masih banyak yang belum lunas. Gaji pegawai nunggak, ada yang dua bulan belum dibayar.”
Perusahaan juga menjanjikan bagian 10% dari hasil panen tanaman sengon pada masyarakat yang terikat pola kemitraan. Tetapi banyak yang kecewa. Sampai sekarang, sengon yang perusahaan tanam belum pernah panen dan perusahaan berhenti beroperasi. Muhlisin mengaku uang bagi hasil kayu Rp100 juta untuk Desa Nalo Gedang sudah dibayar perusahaan. Dia justru ragu perusahaan berutang dengan desa atau sebaliknya. “Karena di wilayah Desa Nalo Gedang kayunya itu tidak banyak, dikit. Kayu yang banyak itu di Nalo Baru.”
Mulai terdampak banjir
Pembabatan hutan di Kecamatan Nalo Tantan, Tabir dan Tabir Barat yang menjadi konsesi HAN mulai menimbulkan bencana. Said, Kepala Desa Nalo Gedang, mengatakan, desanya kerap kebajiran setiap kali turun hujan. “Kapan hujan pasti banjir, jalan pinggir sungai itu ketutup air. Yang parah itu kebun warga,” katanya, 7 Agustus 2024. Banjir yang terjadi karena Sungai Lontar di dalam konsesi HAN tidak sanggup menampung debit air hujan, setelah hutan di atasnya terbabat perusahaan. Desa di sekitar Sungai Tantan, muara dari Sungai Lontar juga kerap kebanjiran. “Yang parah itu Desa Sungai Ulak karena posisinya di bawah.”
Abdullah mengatakan, konsesi HAN merupakan wilayah tangkapan air. Eksploitasi kawasan hutan alam akan menyebabkan bencana ekologis seperti banjir. “Kalau wilayah hutan di hulu dihabiskan akan berpotensi menimbulkan bencana. Banjir datang lebih cepat karena daerah tangkapan air sudah hancur,” katanya.
November 2020, BPBD Merangin melaporkan, ratusan rumah di Kecamatan Tabir, Tabir Ilir, Tabir Timur dan Margo Tabir, terendam banjir. Menurut Abdullah, banjir yang terjadi di Merangin saat itu bukan hanya karena curah hujan tinggi, juga masif pembabatan hutan. Dia mendesak, pemerintah mencabut izin HAN dan area konsesi . serahkan ke masyarakat untuk dikelola lewat perhutanan sosial. “Untuk perhutanan sosial ini sebenarnya kesempatan pas. Skemanya bisa hutan desa atau lainnya.”
*Tulisan ini merupakan Fellowship dari Forest Watch Indonesia (FWI)
Sumber tulisan ini berasal dari Mongabay.co.id