Kebun Energi Ancam Hutan Bangka Belitung

Demi memenuhi target ambisius pengurangan emisi 31,89 persen (43,2 persen dengan dukungan internasional) pada 2030, sektor hutan dan penggunaan lahan (forest and land use/FoLU) serta energi akan digenjot hingga 97 persen. Hutan yang seharusnya menjadi benteng karbon, justru terancam dikorbankan untuk pembangunan kebun energi (hutan tanaman energi/HTE).

Menurut laporan Forest Watch Indonesia (FWI), pembangunan HTE di Indonesia telah merenggut sekitar 55.000 hektare hutan alam dan mengancam 420.000 hektare hutan alam lainnya yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan, termasuk hutan di Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Di Pulau Bangka, ada dua perusahaan yang diketahui berkomitmen membangun kebun kayu, yakni PT Bangkanesia yang mengantongi SK.639/Menhut-II/2009 dengan luas 51.269 hektare dan PT Istana Kawi Kencana mengantongi SK.20/Kpts-II/1998 dengan luasan 14.116 hektare.

Di konsesi PT Bangkanesia dan PT Istana Kawi Kencana itu tercatat deforestasi yang cukup masif. Data FWI menunjukkan, 2.758 hektare hutan alam hilang selama 2017 sampai 2021. Sementara itu hutan alam tersisa di dua konsesi tersebut seluas 4.332 hektare, yang berpotensi menjadi sasaran deforestasi terencana untuk memenuhi kebutuhan pembangunan HTE ke depan.

Tampak dari ketinggian hamparan PBPH hutan tanaman yang dipergunakan untuk biomassa PLTU./Foto: Trend Asia.
Tampak dari ketinggian hamparan PBPH hutan tanaman yang dipergunakan untuk biomassa PLTU./Foto: Trend Asia.

“Status perizinan PT Bangkanesia sejatinya sudah non aktif. Izin usaha perusahaan ini dicabut pada 2022 oleh KLHK. Belum ada keterangan lebih dalam mengenai kelanjutan usaha yang dilakukan PT Bangkanesia,” kata Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media FWI, Rabu (10/7/2024).

Sedangkan PT Istana Kawi Kencana, lanjut Anggi, secara perizinan diduga juga tidak baik-baik saja. Izinnya terancam dicabut karena berkaitan dengan kepatuhan perizinan. Pada 2023, DPRD Bangka Belitung merekomendasikan pencabutan izin enam perusahaan pengelolaan hutan tanaman industri (HTI), termasuk PT Istana Kawi Kencana, kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Rekomendasi ini didasarkan pada temuan pelanggaran dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

Fakta-fakta ini, kata Anggi, menunjukkan bahwa ambisi transisi energi melalui pembangunan HTE di Bangka tergopoh-gopoh dan diduga diselimuti praktik yang berpotensi merusak sumber daya hutan dan lingkungan. Hutan alam yang seharusnya dilestarikan justru ditebang demi tanaman energi, memicu siklus hutang emisi yang tiada henti. Hal ini, imbuh Anggi, membuat upaya transisi energi yang bertujuan mengurangi emisi justru berpotensi memperburuk krisis iklim, menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.

“Tanpa peninjauan ulang kebijakan dan langkah korektif dari pemerintah, upaya transisi energi berisiko besar membawa Indonesia ke jurang deforestasi dan kegagalan pencapaian target emisi nol bersih,” ujar Anggi. Anggi menguraikan, Indonesia melalui Kebijakan Energi Nasional telah menetapkan target bauran energi nasional sebagaimana yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Bahkan untuk memenuhi target bauran energi nasional tersebut yang sebesar 23 persen pada 2025, Pemerintah melalui KLHK, berencana melepaskan 6,91 juta hektare kawasan hutan,.

Dari luasan tersebut 78,39 persen di antaranya untuk perkebunan sawit, yang notabene sebagai bahan baku bioenergi non listrik. Selain itu KLHK juga menyediakan 0,44 juta hektare kawasan hutan untuk HTE berupa izin pinjam pakai. “Dan rencana Kementerian ATR/BPN membangun 4 juta hektare lahan khusus kebun energi selama 2016-2025, kian memperparah tata kelola hutan dan lahan. Bahwa transisi energi menjadi driver deforestasi baru di Indonesia,” tuturnya.

Alih-alih melindungi hutan alam tersisa untuk mencapai target pengurangan emisi di 2030, lanjut Anggi, KLHK justru menargetkan pembangunan HTE seluas 1,29 juta hektare di kawasan hutan kepada 31 pengusaha kehutanan. Anehnya lagi untuk mencapai target net sink 2030 dari sektor hutan dan penggunaan lahan, KLHK menargetkan pembangunan hutan tanaman baru sebanyak 6 juta hektare. Sehingga bila ditotal, seluruh luasan hutan tanaman di Indonesia akan mencapai 11 juta hektare.

Meskipun kebijakan FoLU Net Sink 2030 yang mendorong ekspansi hutan tanaman tersebut dimaksudkan sebagai upaya rehabilitasi, namun praktik perusahaan hutan tanaman dilakukan dengan mendeforestasi hutan alam. “Tanpa mitigasi perlindungan hutan alam, FWI memproyeksikan 4,65 juta hektare hutan alam akan musnah akibat pembangunan hutan tanaman (terutama energi) di dalam konsesi HPH, HTI, dan Perhutanan Sosial (PS),” ucap Anggi.

Riset Trend Asia (2023) menunjukkan, transisi energi melalui HTE berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam “hutang emisi”, akibat pembakaran biomassa. Target ambisius yang dibarengi dengan praktik yang merusak ini dikhawatirkan justru kontra-produktif dengan upaya penanggulangan perubahan iklim.

Sumber tulisan ini berasal dari Betahita.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top