Dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), yang akan mengatur alokasi dana USD21 miliar dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP), co-firing biomassa di 52 PLTU dimasukkan dalam kategori pendanaan transisi energi. Hal tersebut mendapat sorotan dari kelompok masyarakat sipil, yang menilai penggunaan biomassa untuk bahan bakar PLTU tak pantas masuk dalam skema pendanaan JETP.
Kelompok tersebut menganggap co-firing biomassa bermasalah, karena energi dari pembakaran biomassa bersifat problematik untuk disebut sebagai solusi pengurangan emisi karbon. Kayu, menurut mereka, adalah bahan bakar yang buruk, polutif, dan padat karbon. Namun, ia dianggap netral karbon karena emisi dari pembakaran kayu diasumsikan akan ditangkap kembali oleh pohon yang ditanam di perkebunan kayu energi, atau lazim disebut hutan tanaman energi (HTE).
Pembakaran kayu, menurut kelompok masyarakat sipil, tetap menghasilkan hutang karbon yang butuh puluhan tahun untuk dilunasi–waktu yang terlalu panjang dalam rangka melawan perubahan iklim. Hutang ini terjadi karena penyediaan feedstock biomassa diperoleh dari pembukaan kebun energi yang menghilangkan hutan alam. Dalam skala besar, biomassa kayu tidak akan netral karbon karena kecepatan penyerapan karbon lewat pertumbuhan pohon baru tidak akan menandingi kecepatan pembakaran kayu.
Dalam praktik co-firing, biomassa akan dimanfaatkan untuk pencitraan bersih dan menunda pemensiunan PLTU. Hal ini akan memperpanjang penderitaan warga di sekitar PLTU, yang didera polusi dan limbah. Bertentangan dengan beberapa klaim pemerintah, praktik co-firing tidak mengurangi polusi dan limbah.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Wahyudin, mengatakan penggunaan biomassa akan memunculkan masalah baru bagi keberlangsungan alam dan manusianya. Apabila mendapatkan dukungan biaya internasional, biomassa akan semakin memperburuk pencemaran di hilir.
Tak hanya itu masyarakat di sekitar PLTU setiap harinya akan terus dibanjiri polusi dari aktivitas pembakaran batubara dan serbuk kayu. Sebelum co-firing diterapkan di dua PLTU di Jawa Barat, lanjut Wahyudin, warga sudah merasakan dampak kesehatan dari aktivitas PLTU. Bila ditambah dengan campuran serbuk kayu, maka potensi gangguan kesehatan warga sekitar akan lebih parah.
“Menurut kami CIPP cuma akal-akalan untuk peluang bisnis, dan kami merekomendasikan pendana internasional untuk tidak masuk ke biomassa. Ketimbang dijadikan bisnis yang mengancam hutan alam dan wilayah kelola masyarakat, pemerintah lebih baik meningkatkan status kawasan hutan dan memberikan pengelolaannya kepada masyarakat sekitar hutan agar mereka mendapatkan kedaulatan agraria,” ujar Wahyudin dalam rilis yang dipublikasikan, Senin (27/11/2023).
Kelompok masyarakat sipil menguraikan, kebutuhan suplai biomassa kayu dalam skala besar juga menyebabkan ketergantungan akan sumber daya hutan dan lahan. Laporan Forest Watch Indonesia (2023), memproyeksikan deforestasi hutan alam untuk memenuhi kebutuhan co-firing di 52 PLTU di seluruh Indonesia dapat mencapai 4,65 juta hektare, yang setidaknya berasal dari 43 perusahaan HPH, 147 perusahaan HTI, serta 1124 konsesi Perhutanan Sosial (PS).
Kebijakan co-firing akan terus mendorong ekspansi perusahaan-perusahaan kehutanan (PBPH-HA/HPH dan PBPH-HT/HTI) dan bahkan PS untuk melakukan pembangunan hutan tanaman energi. Pembangunan hutan tanaman energi dengan mengorbankan hutan alam bukanlah cara yang berkeadilan ataupun berkelanjutan dalam transisi energi.
FWI (2023) mencatat, pembangunan HTE yang dilakukan oleh 13 perusahaan implementor sudah mengorbankan 55 ribu hektare hutan alam. Deforestasi tersebut menyebabkan hilangnya ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal yang eksistensinya sangat bergantung pada sumber daya hutan.
Selain itu, deforestasi dari pembangunan HTE telah menyebabkan hilangnya habitat spesies kunci, seperti harimau sumatera dan gajah sumatera. Pembangunan HTE adalah ancaman planned deforestation terhadap hutan alam di dalam 31 konsesi HTE di Indonesia, yang nilainya mencapai 420 ribu hektare.
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga menuturkan, pembangunan HTE saat ini menunjukkan kinerja yang buruk. Misalnya, perusahaan HTE di Jambi melakukan penanaman energi dengan melakukan deforestasi dengan menghabiskan tegakan pohon di daerah tangkapan air di hulu sungai, habitat harimau sumatera, dan tempat bergantungnya Suku Anak Dalam di Jambi.
“Hutan alam yang hilang kemudian digantikan dengan tanaman monokultur (tanaman energi), yang secara fungsi tidak akan pernah bisa menyamai hutan alam. Hutan alam memiliki fungsi lebih dari sekedar hitungan emisi karbon. Pembiayaan transisi energi untuk bisnis biomassa tidak tepat dan keliru,” ujar Anggi.
Dalam rekam jejaknya, industri perkayuan Indonesia juga erat dengan perampasan lahan dan praktik buruk yang mendorong konflik warga. Padahal dalam penelitian Trend Asia, untuk proyek co-firing biomassa 10% di seluruh PLTU yang dicanangkan pemerintah, membutuhkan lahan sebanyak 2,33 juta hektare, atau 35 kali luas DKI Jakarta. Potensi praktik buruk dalam pengadaan ini akan sangat besar.
Masalahnya, industri biomassa dalam bentuk pelet kayu di Indonesia selama ini bukan hanya dilakukan untuk kebutuhan domestik. pelet kayu juga diekspor untuk kebutuhan listrik Jepang dan Korea. Data Trend Asia, sejak 2019 hingga 2021, Indonesia sudah mengekspor hampir 800 ribu ton pelet kayu, termasuk sebanyak 43,8 ribu ton ke Jepang, yang merupakan salah satu negara investor dalam skema JETP.
Masuknya co-firing biomassa ke dalam skema pendanaan JETP akan semakin mendorong pengembangan biomassa kayu yang bermasalah. Negara yang mengembangkan bioenergi dari kayu sebagai sumber energi terbarukan, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Denmark, dan Jepang, akan semakin didorong untuk berinvestasi dalam pengembangan biomassa kayu guna menjamin suplai untuk negara mereka sendiri. Denmark misalnya, telah menjajaki kemungkinan investasi pembangkit dan penyediaan biomassa di Sumbawa.
Menurut, Manajer Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Oktaviani, ketergantungan Indonesia kepada negara-negara investor terkait bentuk pengembangan energi terbarukan, menunjukkan Indonesia tidak berdaulat dalam menentukan sumber energi terbarukannya. Dengan memasukkan bioenergi dan melegitimasi kayu sebagai bahan bakar energi terbarukan dalam dokumen CIPP JETP, menjadi jalan klaim bagi negara investor pengembang industri biomassa, mereka telah mewujudkan energi terbarukan. Tapi dengan mengorbankan hutan alam di Indonesia.
“Di dalam dokumen CIPP JETP, ada 31 PLT Bioenergi, termasuk PLTBm Merauke yang kita tahu menyebabkan deforestasi masif dan penyingkiran hak-hak masyarakat adat. Pola ekstraksi seperti ini terus berulang, dari mulai sektor kehutanan, perkebunan, hingga energi. Kita bukan sedang melangkah di jalan transisi energi, tapi sedang mengalami climate colonialism dari negara yang kita bilang negara investor. Jauh dari transisi berkeadilan,” ujar Amalya.
Sumber tulisan ini berasal dari Betahita.id