Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi secara nasional. Dalam target ENDC yang disampaikan pada UNFCCC bulan September 2022, nilainya mencapai 32 sampai 43 persen secara agregat nasional pada tahun 2030. Pada sektor hutan dan penggunaan lahan serta sektor energi menyumbang untuk target yang sangat ambisius sebanyak 97 persen dan deforestasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah meluncurkan dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FOLU NET SINK 2030 sebagai upaya pengendalian perubahan iklim dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Di sisi lain, terdapat konsekuensi terhadap tata kelola hutan dan lahan di Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi dari sektor energi, yakni yang ditentukan dengan skema pengembangan bioenergi menggunakan biomassa kayu yang dibangun di dalam konsesi perusahaan kehutanan.
KLHK telah memperhitungkan deforestasi serta mitigasi perlindungan hutan yang dibedakan ke dalam kategori deforestasi terencana[1] dan deforestasi tidak terencana[2]. Hal tersebut guna memenuhi target pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya yang disebutkan di dalam dokumen Indonesia’s Folu Net Sink 2030. Hasil analisis template spasial yang dilakukan KLHK menunjukkan areal hutan alam yang mempunyai risiko tinggi terdeforestasi mencapai 10,48 juta hektar pada berbagai fungsi hutan. Risiko tertinggi ada di luar kawasan hutan (APL) dalam pemangkuan Pemerintah Daerah dan risiko kedua berada di dalam PBPH-HT dalam pemangkuan Ditjen PHL.
Kebijakan FoLU Net Sink 2030 dapat menjadi rujukan bagaimana orientasi pembangunan kehutanan oleh KLHK dilakukan kedepan. Ekspansi HTI yang sejatinya merupakan rehabilitasi rotasi dianggap sebagai upaya pengurangan emisi. Padahal prinsip-prinsip komodifikasi sumber daya alam yang diterapkan perusahaan HTI justru meningkatkan demand pasar yang sulit dikontrol sehingga memunculkan permasalahan-permasalahan seperti deforestasi dan ketimpangan penguasaan lahan. Dengan menjadikan hutan tanaman energi bagian dari upaya rehabilitasi rotasi untuk memenuhi target produksi bauran energi nasional maka akan memperburuk situasi tata Kelola hutan dan lahan yang ada saat ini. Apalagi jika memaksakan situasi PS dan kondisi social masyarakat yang memiliki permasalahan sendiri dalam kelembagaan, kapasitas pengelolaan Kawasan, dan Kelola usaha yang sangat rendah, sehingga ekspansi HTI dan bisnis HTE ini tidak lebih dimaknai sebagai ekspansi dan sewa lahan saja.
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga menjelaskan bahwa upaya meningkatkan pembangunan hutan tanaman sebagai upaya mencapai target pengurangan emisi di tahun 2030 justru akan mengantarkan kita pada “jurang-jurang” deforestasi. Kebijakan bauran energi nasional untuk mencapai target 23 persen pada tahun 2025 yang juga didukung kebijakan cofiring di 52 PLTU di Indonesia akan mendorong ekspansi hutan tanaman energi. Pembangunan hutan tanaman energi akan menjadi sulit dikontrol karena tingginya kebutuhan nasional untuk menggunakan biomassa kayu sebagai energi pengganti batu bara. Diperburuk ketergantungan pasar global seperti Korea dan Jepang terhadap komoditas biomassa kayu Indonesia yang juga mereka manfaatkan biomassa kayu (sebagai pengganti batu bara).
FWI mencatatkan nilai proyeksi deforestasi akibat kebijakan transisi energi yang memanfaatkan biomassa kayu (bioenergy) sebagai energi terbarukan dapat mencapai 4,65 juta hectare. Hal tersebut diperkuat dengan kebijakan FoLU Net Sink 2030 yang mendorong ekspansi hutan tanaman seluas 6 juta hectare dan kebijakan multiusaha kehutanan dengan memanfaatkan areal PS dan wilayah Kelola rakyat sebagai areal perluasan, tutup Anggi.
Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki angka proyeksi deforestasi tinggi dengan nilai mencapai 447 ribu hektare (planned deforestation) dan 571 ribu hektare (unplanned deforestation)[3]. Berdasarkan data yang didapat dari dokumen FoLU Net Sink 2030, untuk mencapai net sink 2030 setidaknya dibutuhkan 6 juta hectare hutan tanaman baru (agregat nasional) yang akan diperoleh dari izin baru HTI dan PS, serta melalui skema multiusaha kehutanan, kemitraan, dan kerjasama PS. Konversi hutan alam memungkinkan terjadi karena tingginya target pencapaian pembangunan hutan tanaman yang juga akan mengekspansi wilayah Kelola rakyat. Hutan tanaman dapat berupa hutan tanaman energi untuk memenuhi kebutuhan biomassa kayu yang diklaim sebagai peningkatan bauran energi terbarukan.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur berinisiasi menggelar diskusi dengan mengangkat tema “Penurunan Emisi Skema Biomassa Kayu Adalah Modus Lanjutan Perampasan Ruang Hidup Rakyat”. Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Timur melihat bahwa adanya upaya ekspansi perusahaan kehutanan terutama hutan tanaman industri (HTI) yang justru akan merampas ruang hidup rakyat sehingga proses transisi energi dengan memanfaatkan biomassa kayu ini harus dikonsolidasikan di kalangan masyarakat sipil. Yudi Syah selaku pengkampanye Walhi Kaltim menerangkan bahwa “Transisi Energi adalah satu bentuk modal dusta untuk melengkapi motif jalan raya oligarki melakukan perampasan wilayah kelola rakyat”. Kegiatan yang diselenggarakan di kantor Walhi tersebut pada tanggal 15 Oktober 2023 setidaknya dihadiri oleh berbagai perwakilan organisasi masyarakat sipil, seperti Pokja 30, LBH Kaltim, IMAPA UNMUL, Jatam Kaltim, dan FRI.
Kaltim dinilai sudah mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup yang begitu besar. Hutan- hutan telah mengalami pembukaan secara ugal ugalan oleh konsesi-konsesi besar (HPH, HTI, Sawit, Pertambangan). Disamping itu, di tahun 2023 saja ada pelepasan kawasan hutan dan penurunan status kawasan hutan yang diusulkan Pemerintah Daerah Provinsi Kaltim lewat penerbitan RTRW tahun 2022-2024. Luasnya mencapai 600 ribu hektare. Niat penurunan emisi tapi disisi lain merusak hutan dengan mendukung hutan dilepas dan diturunkan. Ini merupakan paradoks kontradiktif.
Salsabila selaku perwakilan Fraksi Rakyat Kaltim menjelaskan bahwa “Niat KLHK yang ingin mengurangi emisi dengan munculnya mekanisme PS menjadi target ekspansi (HTI-HTE) tersebut akan menambah berbagai penyimpangan di Kaltim. Akan adanya perubahan bentang alam (landscape) yang tidak sesuai dengan fungsi hutan, mengancam timbulnya konflik horizontal antar masyarakat yang mengubah konstelasi sosial politik di tingkat akar rumput.”
Sementara itu, nasib masyarakat adat Kaltim yang dinilai merupakan pelindung-penjaga hutan yang saat ini tidak mendapatkan perlindungan dan pengakuan secara hukum oleh negara justru akan dimanfaatkan oleh kelompok oligarki untuk memanjangkan bisnis mereka saja, tutup Salsabila.
Catatan :
[1] Deforestasi yang direncanakan adalah konversi legal hutan alam menjadi non-hutan, termasuk di dalam kawasan produksi yang dimaksudkan kegiatan budi daya (arahan produksi) dan HPK yang berpotensi untuk dikonversi menjadi kegunaan lainnya.
[2] Deforestasi tidak terencana adalah perubahan tutupan hutan alam menjadi hutan non alam yang disebabkan oleh salah satu hal tersebut dari kegiatan ilegal (perambahan hutan) atau bencana alam, seperti kebakaran.
[3] Hasil perhitungan dalam dokumen FoLU Net Sink 2030. Tertinggi pada pemangku kawasan Pemda (sebanyak 574 ribu Ha) dan Ditjen PHL (sebanyak 405 ribu Ha).