Puluhan truk bermuatan kayu campuran yang ditutupi terpal biru, terparkir di sepanjang jalan dekat PT Rimba Plasma Sejahtera Lestari (RPSL) di RT 24, Kelurahan Payo Selincah, Kecamatan Pal Merah, Kota Jambi, pada 6 Agustus 2024. Truk-truk tersebut terhenti karena dihadang oleh dua anak perempuan, Fadiyah Alkaff (16) dan kakaknya, Fadilah Alkaff. Mereka menghadang truk-truk yang melintasi jalan di depan rumah nenek mereka, Hafsah di dengan membentangkan beberapa batang kayu di jalan.
Protes ini dilakukan oleh keluarga nenek Nafsiah, yang diinisiasi oleh Fadiyah, karena rumah dan sumur nenek mereka rusak akibat aktivitas pabrik dan truk yang setiap hari berlalu-lalang di pemukiman menuju RPSL. Aktivitas truk dan pabrik RPSL ini juga dinilai menyebabkan pencemaran polusi dan getaran yang merusak rumah-rumah di sekitar, sejak perusahaan berdiri 10 tahun silam.
Aksi penghadangan yang dilakukan cucu Nafsiah ini didasari oleh kerugian yang dialami keluarga mereka yang tidak dipertanggungjawabkan oleh pihak PT RPSL, seperti kerusakan rumah yang retak dan sumur yang rusak. Selain itu, operasi pabrik RPSL yang mengolah kayu menjadi Wood Pellet biomassa untuk pembangkit listrik juga berdampak pada polusi lingkungan di sekitar.
Memang, jarak pabrik tersebut tidak begitu jauh dari pemukiman warga. Masyarakat sempat melakukan protes saat awal pendirian pabrik, namun setelah banyak yang diajak bekerja di perusahaan tersebut, protes pun mereda. “Setelah masyarakat diajak bekerja di perusahaan, tidak ada lagi yang protes. Banyak masyarakat sini yang sudah bekerja di situ ( Pabrik RPSL),” kata Fadilah saat ditemui awal Agustus lalu.
Seorang pria yang tak ingin menyebut namanya juga mengaku merasakan hal yang sama akibat aktivitas truk dan pabrik pengolahan Wood Pellet biomassa yang beroperasi ditengah pemukiman warga, melintasi jalan umum. “Samalah, cuma lebih resah lagi soal angkutan yang lalu lalang tidak tahu siang dan malam,” kata seorang warga saat ditemui, 3 Agustus 2024. Menurutnya, sebagian besar masyarakat direkrut untuk bekerja di perusahaan itu paskah konflik sosial di kawasan RT 24 Payo Lebar. “Itupun baru-baru ini setelah ribut-ribut, sebelumnya tidak ada,” ujarnya.
Dia juga merasakan dampak operasional perusahaan itu, dampak dari mondar-mandir truk dan cerobong asap juga dinilai menimbulkan debu di sekitar rumah warga. Bahkan warga tersebut juga sudah bosan dengan tenaga kesehatan yang sering mengecek warga namun tidak membuahkan hasil. “Macam debu nyembur ke sini semua. Sudah bosan, ambil dokumen saja balik sudah itu,” ungkapnya
***
Keluarga nenek Hafsah, melalui Fadiyah dan Fadilah, hampir satu dekade memprotes keberadaan perusahaan yang berdampak pada masyarakat ini. Keluarga nenek Hafsah ditemani Fadilah, pun sempat dipertemukan oleh Gubernur Al Haris dengan Tommy Fahrizal, Corporate Holding PT RPSL dan juga selaku juru bicara perusahaan dan beberapa perwakilan, pada 15 Agustus 2024. Konflik panjang itu awalnya hendak diselesaikan oleh pemerintah Kota Jambi, namun perundingan antara kedua belah pihak menemui kebuntuan, hingga diambil alih oleh Gubernur Jambi.
Al Haris saat diwawancarai mengatakan, penyelesaian tuntutan yang selama ini menjadi tuntutan keluarga nenek Hafsah kepada PT RPSL berupa tali asih sejumlah uang tunai yang tak disebutkan secara rinci jumlahnya. Haris bilang, telah terjadi perdamaian antara kedua belah pihak. “Kedua belah pihak sudah sepakat berdamai secara kekeluargaan, sudah ditandatangani semua artinya ini sudah selesai semua,” kata Haris. Meski permasalahan sosial antara keluarga nenek Hafsah dan PT RPSL telah usai, kerusakan lingkungan dan kenyamanan warga sekitar mengenai operasional belum juga teratasi.
Direktur Perkumpulan Hijau Feri Irawan mengatakan, penyelesaian konflik sosial masyarakat dengan pola memberikan tali asih dan pembayaran terhadap warga yang terdampak, belum menyelesaikan masalah lingkungan. “Orang itu dibayar atas nama ganti rugi, ganti rugi lingkungan itu tidak bisa dibayar dengan nilai. Nilai kerusakan lingkungan lebih besar dari pada uang karena dampak lingkungan mulai dari limbah perusahaan, asap, butiran hasil produksi itu menyebar di sekitar pabrik dalam bentuk udara. Dapat berefek pada ibu hamil dan bayi,” kata Feri. Selain itu, operasional pabrik dan kendaraan yang hilir mudik membawa kayu-kayu juga menyebabkan kebisingan.
Feri menyebut, di kemudian hari bisa saja terjadi masalah kesehatan dan lingkungan yang dirasakan oleh warga. Dia menyebut, secara tata ruang Kota Jambi, keberadaan PT RPSL yang berada di kelurahan Payo Selincah, kecamatan Pall Merah Kota Jambi menyalahi aturan. “Itu sudah jelas, itu tata ruang untuk Ruang Terbuka Hijau ( RTH) dan permukiman. Itu tidak boleh pabrik besar yang beroperasi 100 ribu per ton dalam satu jam mengelola kayu di dalam perkampungan,” sebut Feri.
Mempertanyakan Dokumen Asal Kayu
Feri menduga bahwa PT RPSL mungkin tidak memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA), yang merupakan izin resmi untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu di hutan produksi, termasuk dalam kegiatan penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran kayu. “Mereka harus memiliki izin resmi untuk memanfaatkan hasil hutan. Tanpa izin tersebut, mereka berpotensi mendukung aktivitas deforestasi dan penggundulan hutan di Jambi,” ujar Feri.
Perkumpulan Hijau, sebutnya telah membuat kajian terhadap PT RPSL. Hasilnya ada kejanggalan dalam proses penerbitan izin. Feri mengungkapkan bahwa Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia Nomor SK.60/1/KLHK/2020 tentang Jenis Industri, Ragam Produk, dan Kapasitas Izin Produksi untuk PT RPSL di Kota Jambi, menggunakan tulisan tangan dengan tinta biru pada bagian nomornya. Menurut Feri, hal ini sangat tidak biasa. “Apalagi sekarang perizinan sudah berbasis Online Single Submission (OSS). Selain itu, dari segi substansi, izin ini juga cacat administrasi,” tambahnya.
Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.1/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2019 tentang Izin Usaha, izin industri primer hasil hutan hanya dapat diberikan kepada pemegang IUPHHK, IUPHHBK, pengelola hutan, atau IUPHKm pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi di wilayah kerjanya.
Dengan demikian, jika PT RPSL beroperasi di Kota Jambi, mereka harus memiliki hutan produksi yang mereka kelola sebagai sumber bahan baku. “Jika mereka tidak memiliki wilayah kelola di Kota Jambi, dari mana mereka mendapatkan kayu untuk memproduksi kayu olahan sebanyak 100.000 ton per tahun? Kami khawatir ada praktik penebangan kayu ilegal,” kata Feri.
Siapa Pemilik PT RPSL
Menurut data yang dihimpun Kalanganjambi.pikiran-rakyat.com, RPSL memiliki pemegang saham mayoritas, yaitu ELL Environmental Holdings, sebuah perusahaan besar asal Tiongkok. Dalam situs resminya, ELL mengoperasikan pengelolaan limbah air di Jiangsu, Tiongkok. Radius Suhendra, seorang konglomerat asal Medan yang juga pendiri PT Indoferro, perusahaan pengolahan dan pemurnian bijih besi serta nikel, menjabat sebagai Direktur Eksekutif ELL. Selain itu, ia juga menjadi anggota Dewan Komisaris PT Rimba Palma Sejahtera Lestari (RPSL). Radius merupakan putra dari Fajar Suhendra, pendiri Growth Steel Group. Berdasarkan dokumen pemegang saham RPSL tahun 2019, Fajar Suhendra tercatat memiliki 6.927.000 lembar saham dengan nilai sekitar Rp6,9 miliar.
Sugih Suhendra, pendiri PT Growth Asia, memegang 4.618.000 lembar saham senilai Rp4,6 miliar. Sedangkan 95% saham RPSL dikuasai oleh ELL melalui anak usahanya, PT Weal Union Limited yang berbasis di Hong Kong. ELL telah menginvestasikan Rp219,3 miliar dalam bisnis produksi wood pellet dan pembangkit listrik tenaga biomassa yang dikelola RPSL di Kota Jambi.
Rimba Palma Sejahtera Lestari memiliki Izin Lingkungan yang dikeluarkan oleh Badan Penanaman Modal Daerah dan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jambi Nomor 132/Kep.Ka.BPMD-PPT.4/2016 tanggal 16 Mei 2016 tentang kegiatan Pembangunan Palm Kernel Mill dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Biomassa 2 x 15 MW di Kelurahan Payo Selincah Kecamatan Jambi Timur Kota Jambi Provinsi Jambi.
Lokasi kegiatan berada di Jalan Berdikari No. 47 RT. 24 Kelurahan Payo Selincah Kecamatan Paal Merah, Kota Jambi Provinsi Jambi. Pembangkit Listrik Tenaga Uap Biomassa (selanjutnya disingkat PLTBm) yang menghasilkan listrik, sebesar 5 MW dipakai untuk keperluan sendiri dan sisanya 10 MW dijual beli “excess power” ke PT. PLN WS2JB di Palembang.
Humas PT RPSL Defri saat dikonfirmasi menerangkan, jika pabrik perusahaan berada jauh dari pemukiman warga RT 24 Kelurahan Payo Lebar, Kecamatan Pall Merah Kota Jambi. Namun akses untuk keluar masuk kendaraan harus melewati pemukiman warga. “PLTU kita ini kan pltbm, jadi suara mesin-mesinnya itu nggak [bising] ketika operasional. Hanya pas baru pertama startup hidup aja yang dia agak besar suaranya,” kata Defri saat dihubungi via telepon akhir Agustus 2024.
Defri mengaku perusahaan telah melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar untuk memitigasi dampak negatif yang dialami warga sekitar. Mempertanyakan keluhan langsung. “Kita CSR aktif bulanan kepada masyarakat yang terdampak. Dampak buruk dan kerugian balik lagi cara kita ya CSR setiap bulannya,” ujarnya. Defri juga mengklaim, perusahaan PLTBm itu rutin melaporkan kegiatan operasi ke Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi. Uji kebisingan, debu dan getaran di ukuran ambang batas normal.
Suara Penolakan dari Kelompok Masyarakat Sipil
Dilansir dari website YLBHI.or.id, 29 organisasi masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan bersama yang menolak penggunaan biomassa kayu dalam strategi transisi energi pemerintah. Mereka menganggap bahwa penggunaan biomassa kayu tidak hanya memperpanjang emisi polutan di sektor pembangkitan listrik, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat adat dan penduduk sekitar hutan yang tergantung pada kelestarian lingkungan.
Dalam upaya mencapai target 23% bauran energi pada 2023, pemerintah mendorong penggunaan biomassa sebagai bagian dari solusi. Biomassa pelet kayu diusulkan sebagai campuran batubara di PLTU (co-firing) atau digunakan secara mandiri di Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm). Peta jalan PLN menargetkan co-firing hingga 10% di 52 PLTU yang sudah ada, dan hingga 30% di PLTU baru. Pemerintah mengklaim telah menurunkan emisi karbon sebesar 717.616 ton melalui pembakaran 668.869 ton biomassa di 41 PLTU.
Riset Trend Asia mengkritik klaim tersebut, menegaskan bahwa perhitungan pemerintah berdasarkan asumsi netral karbon dari pembakaran biomassa adalah keliru. Menurut perhitungan mereka, pembakaran pelet kayu dalam jumlah yang disebutkan akan menghasilkan emisi setara karbon sebesar 1,188 juta ton. Asumsi netralitas karbon ini dianggap tidak tepat karena ekspansi Hutan Tanaman Energi (HTE) yang dibutuhkan untuk mendukung co-firing biomassa justru berpotensi mendorong deforestasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan emisi baru.
Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga, menyatakan bahwa industri listrik berbasis biomassa hanya merupakan bentuk kamuflase. “Ini semua hanyalah kamuflase dalam transisi energi, tujuannya sebenarnya untuk menebang kayu,” ungkap Anggi saat diwawancarai Kalanganjambipikiran-rakyat.com. Menurutnya, perusahaan hanya berupaya memanfaatkan kayu dari hutan rakyat maupun hutan alam untuk keuntungan bisnis. Pembangunan PLTBm di Jambi, katanya, akan mendorong deforestasi yang lebih luas, yang bertentangan dengan kondisi sosial dan budaya setempat. “Sangat sulit melacak asal usul kayu dengan legalitas yang jelas. Mereka mencampur kayu-kayu dari berbagai sumber tanpa kejelasan legalitas, kemudian mengklaim bahwa kayu tersebut merupakan limbah,” jelasnya.
Jika perusahaan benar-benar berkomitmen pada transisi energi dan pengurangan emisi, menurutnya seharusnya mereka tidak menebang kayu, karena tindakan tersebut justru meningkatkan emisi karbon. Menurut Anggi, pembakaran kayu membutuhkan waktu 40 hingga 100 tahun untuk mencapai kondisi Netral Karbon, dan itu pun hanya jika dilakukan rehabilitasi, sementara PT RPSL tidak memiliki tanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi karena mereka hanya memanfaatkan masyarakat.
Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi Walhi Jambi, menekankan bahwa transisi energi tidak cukup hanya disebut sebagai energi baru dan terbarukan. Dwi menyebut sejak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencanangkan program 1,29 juta hektar untuk pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE), di Provinsi Jambi sudah ada beberapa lokasi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diubah menjadi HTE yang pada akhirnya bakal mendorong deforestasi. “Jika energi baru terbarukan diproduksi dari biomassa tetapi dilakukan dengan cara deforestasi, sama saja seperti batu bara. Akhirnya kita tetap merusak hutan. Hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat juga harus dipertimbangkan,” pungkasnya.
**Liputan ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI) melalui Journalist Fellowship Program : Transisi Energi Watch
Sumber tulisan ini berasal dari Kalanganjambi.pikiran-rakyat.com