Transisi Energi ke Biomassa Berpotensi Memicu Deforestasi

biomassa
Truk menurunkan cangkang sawit yang digunakan untuk campuran bahan bakar batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selasa (12/10/2021).

Transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan berpotensi menimbulkan masalah baru bagi lingkungan. Deforestasi mengancam hutan alam karena tuntutan pemenuhan biomassa dari kayu melalui penyediaan hutan tanaman energi. Kebijakan transisi energi perlu dievaluasi agar lebih berkeadilan.

Laporan Forest Watch Indonesia (2023) menyebutkan, pembangunan hutan tanaman energi (HTE) mengakibatkan kehilangan hutan alam seluas 55.000 hektar serta 420.000 hektar hutan alam yang tersisa terancam dirusak atau mengalami deforestasi. Riset Trend Asia (2023) juga menyebut transisi energi akan menimbulkan ”utang emisi” karena pembakaran biomassa.

Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza Oktaviani mengatakan, Pemerintah Indonesia kerap kali menyampaikan komitmennya untuk melakukan transisi energi. ”Sayangnya, transisi energi yang disebut-sebut pemerintah hanyalah solusi palsu,” katanya saat berbincang dengan awak media di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (23/2/2024) sore.

Dalam proses transisi energi, misalnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menargetkan co-firing biomassa di 52 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia dan mengimplementasikan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) di setiap provinsi. Proyek ini dijalankan karena dianggap sebagai alternatif energi hijau.

Pemenuhan biomassa dari kayu melalui penyediaan HTE diklaim sebagai terobosan untuk mengurangi emisi dan meningkatkan porsi energi terbarukan. HTE ditanami dengan tanaman penghasil biomassa, seperti eukaliptus, kaliandra, gamal, lamtoro, sengon, dan akasia. ”Potensi deforestasi akibat program co-firing di PLTU mencapai 1 juta hektar,” ujarnya.

Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza Oktaviani memaparkan kondisi transisi energi di Indonesia saat berbincang dengan awak media di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (23/2/2024) sore.

Dalam dokumen Rencana Operasional Indonesia’s Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030 yang selaras dengan target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), untuk memenuhi target Net Sink 2030 dibutuhkan pembangunan hutan tanaman, termasuk HTE baru hingga 6 juta hektar.

Menurut Amalya, target tersebut akan dipenuhi melalui skema arahan pemanfaatan hutan produksi (perizinan berusaha pemanfaatan hutan tanaman) dan pemberian izin baru melalui persetujuan perhutanan sosial dengan luas 2 juta hektar. ”Sisanya akan dipenuhi melalui multiusaha kehutanan, kemitraan kehutanan, dan kerja sama perhutanan sosial,” katanya.

Ia menyebutkan, Kalimantan Selatan merupakan provinsi dengan target pengembangan hutan tanaman baru mencapai 76.567 hektar. Namun, untuk mencapai Net Sink 2030 terdapat hutan alam seluas 397.511 hektar di Kalsel. Dari jumlah tersebut, 111.969 hektar berstatus deforestasi terencana dan 285.542 hektar berstatus tidak terencana yang perlu dimitigasi. ”Demokratis, keadilan, dan berkeadilan merupakan aspek utama dalam transisi energi, termasuk di Kalimantan Selatan. Maka, pelibatan masyarakat lokal merupakan syarat utama untuk mencapai pemenuhan energi yang demokratis,” katanya.

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga menyampaikan, total luas potensi HTE di Indonesia mencapai 1,29 juta hektar. Sebanyak 31 unit usaha telah berkomitmen mengembangkan HTE. Di Kalsel, ada tiga korporasi yang mendapat izin untuk mengembangkan HTE. ”Transisi energi bisa jadi pemicu baru kerusakan sumber daya alam Indonesia. Proyeksi deforestasi untuk pemenuhan biomassa mencapai 4,65 juta hektar,” katanya.

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga memaparkan kondisi transisi energi di Indonesia saat berbincang dengan awak media di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (23/2/2024) sore.
Perlu dievaluasi

Menurut Anggi, kebijakan transisi energi yang telah dimulai sejak 2014 perlu dievaluasi. Hal itu untuk memastikan bahwa proyek-proyek transisi energi yang dijalankan selama ini betul-betul merupakan energi baru terbarukan. ”Selama ini kita selalu termakan konsep bahwa bioenergi itu sudah pasti energi terbarukan. Semua konsep itu harusnya diuji dalam implementasi di lapangan,” ujarnya.

Amalya menambahkan, proses transisi energi sejatinya tidak hanya mengubah jenis energi dan teknologi, tetapi harus bisa menjawab masalah perubahan iklim, meninggalkan ketergantungan terhadap energi fosil, kerusakan lingkungan, serta mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial bagi masyarakat di sekitarnya.

Guru Besar Universitas Indonesia Bambang PS Brodjonegoro dalam artikelnya di Kompas (24/2/2023) menyebutkan, transisi energi dengan bahan bakar biomassa bukanlah tanpa tantangan. Jika tidak direncanakan dan dikelola dengan baik, percepatan PLTBm justru dapat menghambat terpenuhinya transisi yang adil dan inklusif. Indonesia sebagai negara tropis sudah memiliki keunggulan kompetitif dalam mengembangkan biomassa, sebuah sumber daya berharga yang dapat memainkan peran penting dalam memastikan transisi energi yang adil dan inklusif.

”Pemerintah dan masyarakat perlu mempertimbangkan potensi biomassa dalam rencana transisi energi sembari tetap memastikan pemanfaatan biomassa dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab dan berkelanjutan,” kata mantan Menteri Riset dan Teknologi Indonesia/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia itu.

Sumber tulisan ini berasal dari kompas.id

Thank you for your vote!
Post rating: 4.9 from 5 (according 3 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top