Mitigasi pengurangan emisi dari sektor FoLU dan energi ditengarai justru menjadi jalan perusakan hutan di Indonesia. Dalam dokumen FoLU Net Sink 2030, lebih dari 10 juta hektare (Ha) hutan alam berada dalam status deforestasi terencana dan deforestasi tidak terencana. Berdasarkan pembagian kewenangan, mestinya kejadian ini bisa dimitigasi.
Sayangnya, pembagian peran dan kewenangan ini tidak sepenuhnya dimengerti sebagai bentuk kebijakan perlindungan oleh pemerintah daerah. Aceh, yang berdasarkan UU 11/2006, memiliki kebijakan otonomi khusus yang dapat digunakan sebagai upaya mitigasi kerusakan sumber daya alam dalam rangka memenuhi target pengurangan emisi dari sektor FoLU dan energi.
Manajer Kampanye, Intervensi Kebijakan, Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga mengatakan, Aceh ditargetkan harus melakukan mitigasi perlindungan hutan dengan total sekitar 120.000 Ha yang terbagi pada 84.160 Ha deforestasi terencana dan 37.281 Ha deforestasi tidak terencana. Dimana peran Pemerintah Aceh harus dapat menahan laju deforestasi sebesar 90 persen.
Di sisi lain mandat bauran energi nasional sebagai upaya pengurangan emisi di sektor energi dan sub sektor ketenagalistrikan memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap tata kelola hutan dan lahan di Aceh. Target bauran energi nasional sebanyak 23 persen pada 2025 juga harus diturunkan dalam target Pemerintahan Aceh.
“Sayangnya di dalam dokumen Rencana Umum Energi Aceh sesuai Qanun Nomor 4 tahun 2019 belum mencerminkan keunikan dan kekhasan kemandirian energi Aceh,” kata Anggi, dikutip Kamis (8/2).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan pembangunan hutan tanaman energi (HTE) seluas 1,3 juta Ha di seluruh Indonesia untuk menyuplai kebutuhan biomassa kayu sebagai pengganti energi batubara (bioenergi). Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh Achmad Sholihin mengatakan bahwa pembangunan HTE untuk menghasilkan biomassa kayu oleh konsesi HTE, yang kemudian dibakar bersamaan batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan solusi palsu. Perusahaan tidak bertanggung jawab melakukan tugas fungsinya. Melakukan penebangan hutan namun tidak melakukan penanaman kembali.
“Hutan yang sudah dirusak merupakan kawasan ekosistem esensial di Aceh dan berupa wilayah kelola rakyat. Aceh tidak sedang bertransisi karena hutannya dirusak,” tuturnya, dalam diskusi ‘Transisi Energi dan Nasib Hutan Aceh’, beberapa waktu lalu.
Senada, Mulyadi dari Perkumpulan Medaya menilai, transisi energi dengan masih memanfaatkan energi batu bara dalam pembakaran di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan jalan perusakan lingkungan Aceh. Masalahnya, kata Mulyadi, cukong-cukong batu bara yang sudah menguasai lahan dan konsesi batu bara tidak ingin rugi soal tekanan transisi energi.
“Tidak adanya ruang untuk masyarakat melakukan check and balance terhadap implementasi transisi energi mendorong banyaknya pelanggaran dan perusakan lingkungan di Aceh,” katanya.
Transisi energi dan demokratisasi energi di Aceh sepenuhnya meninggalkan partisipasi masyarakat Aceh dalam menentukan jenis energi yang tepat untuk kemandirian energi Aceh. Rahmi dari Solidaritas Perempuan Aceh merasakan, kaum perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan dalam konteks transisi energi.
“Peran perempuan dalam sektor-sektor kunci membuat mereka rentan terhadap perubahan ekonomi dan lingkungan yang mungkin terjadi selama transisi energi. Misalnya, penggunaan batu bara dan pertambangan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, pencemaran, dan hilangnya sumber daya pertanian, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kehidupan perempuan secara langsung,” kata Rahmi.
Oleh karena itu, lanjutnya, penting untuk melibatkan dan memperhitungkan dampak transisi energi pada perempuan agar kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan berkelanjutan. Nasir dari Walhi Aceh mencontohkan, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur mencerminkan bahwa tidak adanya ruang bagi masyarakat Aceh untuk menentukan jenis energi yang tepat serta aman bagi kelangsungan hidup masyarakat Aceh.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur dibangun di hulu sungai dan sudah dinyatakan lokasi rawan bencana karena berpotensi menenggelamkan desa. Menurut Nasir, diperlukan langkah-langkah untuk memperbaiki demokrasi energi, seperti meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Serta menciptakan iklim keterbukaan yang mendukung dialog terbuka dan inklusif.
“Dengan melibatkan masyarakat secara aktif, maka dapat dihasilkan kebijakan transisi energi yang lebih demokratis dan sesuai dengan kebutuhan serta aspirasi masyarakat Aceh,” tutup Nasir.
Sumber tulisan ini berasal dari Jawapos.com