Target Energi Baru Terbarukan: Pesimis akan Tercapai 33 Persen di Tahun 2025 di Aceh

PLTA Peusangan. Foto: PLN.

Untuk mendukung komitmen Pemerintah Republik Indonesia dalam hal program transisi energi, yaitu pemanfaatan energi listrik dari sumber energi terbarukan, Pemerintah Aceh pada 2019 melalui Qanun Nomor 4 Tahun 2019 mengeluarkan kebijakan tentang arah bauran strategi energi di Aceh. Dalam Rencana Umum Energi Aceh (RUEA) sumber energi baru dan terbarukan di targetkan jika pada tahun 2025 porsi energi baru dan terbarukan (EBT) akan mencapai 33,9% pada 2025, yang kemudian makin meningkat menjadi 43,3% pada 2050.

Provinsi Aceh sendiri memiliki potensi energi baru dan energi terbarukan yang melimpah baik berupa panas bumi, air, surya, angin, biomassa dan pasang surut. Potensi air untuk pembangunan PLTA sebesar 2.862,8 MW. Potensi air untuk pembangunan PLTMH terdapat di 15 Kab/Kota dengan kapasitas 194,517 MW. Sedangkan potensi panas bumi terdapat di 17 lokasi tersebar di sembilan kabupaten/kota dengan kapasitas 1.115 MW

“Kalau semua selesai kita realisasikan, saya kira bukan hanya 23 persen [seperti target nasional], tapi kita bisa mencapai 25 persen pada tahun 2025,” jelas Dedi M. Rozali, Kepala Bidang Energi dan Ketenagalistrikan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh pada Kamis (01/08/2024). Untuk mencapainya target bauran EBT itu, PLTP Seulawah Agam, PLTA Kombih, dan PLTP Jaboi di Sabang, pun disiapkan. Namun nyatanya yang sudah selesai dibangun hanya PLTA Peusangan, yang membuat capaian energi dari bauran EBT barulah 12,12 persen.

Dedi mengatakan ada kendala dalam investasi. Tidak saja di Aceh, tapi juga di tingkat nasional. “Target nasional bauran EBT dari energi nasional di tahun 2025 itu 23%. Tapi sampai sekarang belum juga tercapai. Kemungkinan [kendala] di investornya,” ujar Dedi M. Roza. Di Aceh, Dedi sebut ada kendala dalam prioritas proyek sehingga pembangunannya berjalan tertatih-tatih. Contohnya PLTA Peusangan yang memakan waktu belasan tahun.

“Pembangunan PLTA Peusangan I berkapasitas 88 MW dimulai tahun 1994, sempat terhenti tahun 1996 dan mulai lanjut lagi tahun 2011. Baru selesai satu unit kapasitas 35 MW. Tahun 2024 ini bakal menyusul Unit 2 berkapasitas 45 MW,” jelasnya. Sementara itu, pembangunan PLTU Nagan Raya 1 dan 2 berkapasitas 150 MW dimulai sejak tahun 2006 dan dapat dirampungkan tahun 2014.

“[Bagaimanapun] kita harus konsisten dengan EBT ini, karena ramah lingkungan dan menguntungkan kehidupan manusia di masa depan, karena persentase potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) Provinsi Aceh yaitu: air 51,79%; surya 21,38%; panas bumi 19,85%, dan biomassa 7,03%,” terangnya. Pembangunan sumber pembangkit EBT sebutnya menarget bahwa PLN, di tahun 2060 tidak ada lagi pembangkit listrik berbahan bakar batubara.

PLN di Aceh Mulai Gunakan Co-Firing

Potensi energi baru dan terbarukan, sebenarnya sangat melimpah di Aceh, termasuk dari pemanfaatan panas bumi. Pembangunan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) pun dilirik. Saat ini PLTMH yang telah beroperasi adalah PLTP Jaboi (6,19 MW) dengan tahap duanya 10 MW sedang eksplorasi IUP. Juga PLTP Seulawah Agam 2 x 55 MW (1 x 55 MW yang juga sedang tahap Pengurusan IUP. Di luar itu, ada dua lokasi lainnya sudah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri ESDM untuk dilaksanakan survey pendahuluan.

pltu cofiring dan perusahaan pembangunan hte 2021 - 2023 di provinsi aceh. sumber : forest watch indonesia

Di luar PLTMH, Pemerintah Aceh juga sedang mengupayakan pembangkit skala kecil, seperti di PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dan PLTMH (Pembangkit listrik Mikro Hidro) yang punya potensi melimpah sebagai penerangan di daerah-daerah terpencil. Untuk menuju transisi energi itu juga, PLTU (Pembangkit listrik tenaga uap batubara) pun mulai menerapkan co-firing, yaitu mencampurkan antara bahan bakar fosil batubara dengan biomassa.

Contohnya di PLTU Nagan Raya, yang dimiliki oleh PT PLN (Persero). Biomassa yang digunakan berasal dari cangkang buah sawit (palm kernel shell) dan kayu kaliandra yang dicampurkan ke batubara jenis low range coal dan medium range coal. “Uji coba pertama pun telah mulai dilakukan pada Oktober 2020, dan implementasi tahun 2021, dengan menggunakan cangkang sawit sebesar 5-10 persen. Namun ketersediaan cangkang sawit menjadi kendala,” tutur General Manager PT PLN Unit Induk Distribusi (IUD) Aceh Mundhakir pada Rabu (30/7/2024).

Untuk menyiasatinya, pihak PLN lalu mencoba kayu kalindra. Hasilnya dari parameter operasi yaitu pressure maupun temperatur masih dalam batasan rentang normal operasi. Begitu juga emisi gas buang yang dihasilkan masih dalam batasan normal baku mutu yang ditetapkan kementerian lingkungan hidup.

Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Pengendalian Pencemaran, DLHK Aceh, Joni, menyebut jika transisi energi baru terbarukan, tidak melulu soal penggunaan pohon. Pengalaman di PLTU Nagan 1 dan 2, bahan baku co-firing ternyata juga dapat menggunakan jumpueng atau batang padi yang sudah dipanen). “Jumpueng juga lebih ekonomis digunakan untuk bahan co-firing, ketimbang diolah menjadi pakan ternak. Bandingkan dengan kayu, yang lebih bernilai dijadikan mebel ketimbang dibakar sebagai kayu bakar,” terang Joni pada Jumat (26/07/2024). Selain itu tuturnya dalam waktu dekat Dinas LHK Aceh akan mencoba refuse derived fuel (RDF) atau teknologi yang mampu mengubah sampah menjadi energi.

Penggunaan Energi Biomassa Akan Mengubah Tata Ruang di Aceh

Namun target transisi energi di Aceh ini ditanggapi pesimis oleh para pemerhati dan pegiat lingkungan. “Sampai akhir tahun 2023, capaian target bauran energi baru 12 persen, padahal dari Rencana Umum Energi Aceh (RUEA) dari bauran EBT adalah 33,9 persen di tahun 2025. Bisa dibayangkan dalam 1 atau 2 tahun ini, apakah pemerintah mampu mencapai target yang telah direncanakannya sendiri?” jelas Ahmad Shalihin, Direktur Eksekutif WALHI Aceh (12/08/2024).

Dia pun menyinggung penggunaan biomassa sebagai co-firing PLTU yang sebenarnya tidak banyak berkontribusi dalam pengurangan emisi. “Proses co-firing itu menghasilkan emisi karbon yang cukup tinggi. Bedanya hanya material yang digunakan seperti sekam padi, cangkang sawit, pelet kayu yang bisa dibudidayakan. Sedangkan emisinya tetap,” lanjutnya. “Jangan sampai transisi EBT ini jadi “solusi palsu’ penurunan emisi.”

Di sisi lain, dia pesimis karena banyak konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang digadang-gadang sebagai produsen kayu untuk biomassa atau Hutan Tanaman Energi (HTE) sudah banyak yang tidak beroperasi. “Ada beberapa HTI di Aceh, seperti Aceh Nusa Indrapuri (Kabupaten Aceh Besar), Mandum Payah Tamita (MPT) di Cot Girek, Rencong Pulp and Paper Indonesia (RPPI) di Kabupaten Aceh Utara, yang itu semua bisa dikatakan dalam posisi mangkrak atau terlantar.”

Dia juga menengarai tren HTE akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mendapatkan pendanaan. Alih-alih melakukan reboisasi, ujung-ujungnya praktik ini akan mendorong makin maraknya deforestasi di Aceh. “Dengan adanya agenda HTE ini, sudah dipastikan bahwa proses tahapan (pembibitan, penanaman, perawatan dan pemanenan) itu tidak akan dilakukan secara tertib, kalaupun itu ada dilakukan maka tidak sesuai dengan jumlah yang dipanen atau ditebang,” jelasnya.

Perihal potensi meningkatnya deforestasi akibat tren HTE, dijelaskan oleh Anggi Putra Prayoga, Manajer Komunikasi, Kerjasama, dan Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI). “Ketika bicara tentang kebutuhan co-firing, yang salah satu bahan bakunya biomassa maka akan membutuhkan lahan atau ruang. Hasil analisis kami, ini akan perlu wilayah yang lebih luas lagi. Akan ada 4,65 juta hektar lahan hutan yang dipertaruhkan,” katanya, (1/8/2024).

Karena membutuhkan lahan yang lebih luas, maka HTE pun jelasnya juga akan dapat menimbulkan gesekan sosial dengan warga masyarakat lokal, mengeliminasi masyarakat adat yang telah mengelola hutan sebagai ruang hidupnya. “Korporasi yang mendapatkan izin berdasarkan surat yang dipegangnya, akan melakukan apa saja, selama dia bisa mengelola lahan yang diberikan,” jelas Anggi.

Apa Kendala Transisi Energi di Aceh?

General Manager PT PLN Unit Induk Distribusi (IUD) Aceh Mundhakir menyebut beberapa kendala yang menyebabkan proses transisi energi di Aceh yang dicanangkan tidak berjalan sesuai rencana. “Ada kendala sosial, berkaitan dengan masyarakat yang pro dan kontra di sekitar proyek pembangkit; juga kendala lahan, meliputi tata ruang kehutanan, pemukiman penduduk, kendala peraturan, dengan banyaknya lintas sektor yang terlibat dan saling terkait,” ujarnya. Di sisi lain, di tingkat pengembang atau Independent Power Producer (IPP) yang turut jadi kendala. “Kendala Internal di IPP, misalnya kemampuan modal, dari investor atau pendananya seperti di tingkat perbankan nasional maupun perbankan luar negeri, yang punya aturan masing-masing.”

Namun, pihak pemerintah juga dianggap berkontribusi dalam memperlambat pembangunan di bidang EBT. Seperti yang diungkap oleh Erdiwansyah, praktisi EBT sekaligus akademisi di Universitas Serambi Mekkah (USM) Banda Aceh. “Transisi energi di Aceh sering terkendala dengan kebijakan pemerintah yang sering berganti. Seperti izin lingkungan (Amdal) yang sulit keluar, rentang waktu yang lama dan berlarut-larut serta masih banyaknya pajak yang harus disetorkan para investor,” jelas Erdiwansyah, (15/08/2024).

Praktik-praktik pungli dan uang-uang ‘siluman’ pun masih kerap dijumpai. “Saya pernah tanya kepada investor yang sedang urus izin di Samar Kilang. ‘Sudah habis uang berapa untuk dapat izin lingkungan?’ Mereka bilang sudah hampir Rp 5 miliar. Hanya untuk selembar izin. Kita tanya kendalanya dimana, mereka bilang ada di dinas, di kampung, yah banyak. Banyak preman yang jadi momok bagi investor.”

Atas performa yang RUEA yang tampaknya tidak akan mencapai target ini, Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Bidang Perekonomian, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Khairil Syahrial, menyebut perlu ada evaluasi. “Pendapat saya jika Qanun No. 4 tahun 2019 tentang RUEA tidak efektif kita gunakan, tentunya harus ada evaluasi, setelah kita evaluasi maka kita lakukan perubahan sebab sudah lima tahun berjalan,” jelas Khairil, (29/08/2024). “Apabila Pemerintah Aceh tidak mampu menjalankan amanat qanun, maka atas masukan Dinas ESDM Aceh perlu segera mengajukan perubahan (revisi) Qanun tersebut ke DPRA,” lanjutnya. Dia pun menyebut jika pihak DPRA sudah mengusulkan revisi qanun, tetapi hal ini masih menunggu revisi RUEN dari Kementerian ESDM, pungkasnya.

 *Liputan ini hasil kolaborasi dengan Forest Watch Indonesia melalui program Transisi Energi Watch.

Sumber tulisan ini berasal dari Komparatif.id

Thank you for your vote!
Post rating: 5 from 5 (according 1 vote)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top