SUARA MASYARAKAT SEPAKU: Banjir, IKN, dan Masa Depan Yang Tak Pasti

Banjir tahunan disebut sering terjadi di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU). Padahal, wilayah tersebut sudah ditetapkan menjadi kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN). Urgensi pemindahan ibu kota Indonesia itu sudah disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia pada 16 Agustus 2019 lalu. Di mana, pemindahan itu didasari oleh terpusatnya kegiatan perekonomian di Jakarta dan Jawa yang menyebabkan kesenjangan ekonomi terjadi di luar pulau tersebut.

IKN di Benua Etam, ingin dijadikan sebagai kota yang aman, modern, berkelanjutan dan berketahanan. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut, IKN sudah memiliki undang-undang (UU). Yakni, UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. UU itu ditetapkan pada 15 Februari 2022 lalu. IKN bakal menjadi satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, setingkat provinsi. Di mana, wilayahnya menjadi tempat kedudukan ibu kota sebagaimana ditetapkan dan diatur dari UU tersebut.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim Fathur Roziqin Fen, untuk memberikan tanggapan. Namun tak ada jawaban. Lalu, jurnalis ini lantas mencoba menghubungi Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian. Dihubungi melalui panggilan telepon, dia menjelaskan soal kondisi PPU di 10 tahun ke belakang sebelum IKN.

“Di wilayah PPU sebelum diputuskan IKN bakal dipindahkan ke wilayah PPU, itu kan memang sudah masif terjadi banjir. Apalagi kalau misalnya hujan yang lebih dari 1 jam (terjadi) itu sudah (menyebabkan) banjir,” jelasnya.

Dia menyebut, berdasarkan banyak laporan yang diterimanya dalam bentuk video, banjir yang terjadi di PPU merupakan konsekuensi logis dari perubahan lanskap di wilayah tersebut. Dia menjelaskan, perubahan lanskap itu seperti hutan dan serapan air kini menjadi monokultur sawit atau tambang. Hal itu menyebabkan fungsi hutan sebagai serapan air hilang.

“Faktanya, sekitar wilayah PPU itu adalah tempat yang memang masih dieksploitasi sejak tahun 1980-an. Logging (dilakukan) di sana dilanjutkan dengan HTI, sawit, bahkan ada tambang. Jadi sebenarnya, situasi kerentanan wilayah itu ketika kemudian negara memutuskan memindahkan ibu kota di wilayah tersebut, pasti pembangunannya skala besar.”

Dia menegaskan, masalah PPU cukup kompleks. Selain soal lanskap yang sudah buruk, kualitas daya dukung dan tampung juga tidak memadai. Penambahan pembangunan infrastruktur secara besar katanya akan memperburuk keadaan tanah PPU.

“Dan beberapa kali kan kita dapat sebaran video yang menunjukkan bahwa wilayah PPU, bahkan (wilayah) dekat Titik Nol itu terendam banjir. Sebenarnya situasi banjir yang masif terjadi itu adalah konsekuensi logis dari perubahan lanskap dari wilayah itu sendiri,” bebernya.

Berdasarkan fakta yang dia sebutkan, wilayah PPU adalah tempat yang memang masih dieksploitasi sejak 1980-an. Pembuatan hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawait, lalu tambang, dia menyebut hal itu sudah berlangsung sejak lama.

“Jadi sebenarnya, situasi kerentanan wilayah itu ketika kemudian negara memutuskan memindahkan ibu kota di wilayah tersebut, pasti pembangunannya skala besar,” sambungnya.

Lebih lanjut katanya, pembangunan IKN bukan diakomodir pada perencanaan ruang sebelumnya. Melainkan pada perencanaan ruang yang mengikuti keputusan politik. 

 Baginya, kajian lingkungan hidup strategis untuk IKN, secara sederhana dilakukan pasca pemutusan bahwa ibu kota negara akan dipindahkan ke PPU.

“Ada banyak hal yang sebenarnya itu adalah analisa-analisa substansi, seperti analisa KLHS, (lalu analisa) kesesuaian dengan tata ruang, (semua) itu mengikuti keputusan politik. Basisnya bukan saintifik, bukan ekologis, tetapi keputusan politik dengan kepentingannya.”

“Itu yang salah dan itu yang terjadi di IKN. Kalau kemudian ditanya apakah penataan ruangnya berkesesuaian dengan pemindahan ibu kota, bisa jadi iya. Karena perda tata ruangnya mengalami perubahan, pasti dia mengikuti soal keputusan politik tadi,” lanjutnya.

Dia menegaskan, secara fungsi dan status ruang PPU sudah tidak cocok lagi. Ditambah, dengan beban pembangunan ibu kota baru yang yang menurutnya pembangunan infrastrukturnya terjadi masif.

Dia menuding, pemerintah belum punya konsep pembangunan kota yang tidak berbasis infrastruktur besar. Bagi wanita yang biasa disapa Uli ini, hampir rata-rata semua kota-kota besar di Indonesia basisnya adalah infrastruktur besar.

“Pasti itu yang akan dilakukan ke IKN, dan berdampak buruk kepada lingkungan,” singkatnya.

Seperti diketahui proses pembangunan IKN ini kemudian mendorong perluasan pembukaan lahan hampir 14 ribu hektare dalam waktu 6 bulan untuk pembangunan infrastruktur, disinggung soal apa dampak terbesarnya bagi lingkungan di rentang waktu 5 tahun ke depan, dia menyebut hal pertama adalah deforestasi.

Dia menyinggung, soal logika pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta. Yakni, karena Jakarta sudah mengalami kebangkrutan secara ekologis, baik banjir dan sebagainya sudah sering terjadi di wilayah tersebut.

“Cerita itu akan terjadi di PPU. Di lokasi di mana ibu kota baru berada,” tegasnya.

Bicara soal dampak lingkungan ikutan di wilayah lain juga disampaikan Uli. Dia mencontohkan, ketika membangun infrastruktur misalnya wilayah perkantoran di IKN.

Di mana, gedung-gedung pemerintah pasti membutuhkan material, baik batu, semen, dan lain sebagainya. Baginya hal tersebut secara otomatis akan membesarkan ekstrasi batu di wilayah-wilayah lain.

“Yang saya tahu, kerjasama yang sudah kebangun antara Gubernur Kalimantan Timur dan Gubernur Sulawesi Tengah untuk saling bertukar sumber daya. Sulteng akan mengirimkan batu-batu sebagai material pembangunan. Nah itu adalah dampak lingkungan ikutan di wilayah lain yang kemudian diekstraksi sumber dayanya untuk menunjang sistem pemerintahan dan kehidupan di IKN. Belum lagi misalnya, untuk kebutuhan energi yang akan dibangun PLTA Kayan di Kaltara (Kalimantan Utara),” terangnya.

Dia mengatakan, PLTA Kayan energinya bukan untuk masyarakat Kaltara, tetapi didistribusikan untuk IKN. Maka, baginya, akan banyak persoalan sosial, ekonomi dan lingkungan di wilayah lain bukan hanya lokasi di IKN saja.

Soal banyaknya perusahaan tambang yang bermunculan di sekitar IKN, dia menyatakan ‘kiamat ekologis’ akan lebih cepat terjadi. Baik di IKN maupun di Kalimantan secara keseluruhan.

“Bisa jadi (kiamat ekologis akan lebih cepat). Karena sekarang saja sebelum IKN selesai dibangun, itu kan sudah banyak terjadi eksploitasi masif dan berdampak pada situasi lingkungan di Kalimantan. Banjir dan longsor sudah hal biasa di Kalimantan, seperti di Samarinda.

Kemudian kata Uli, jika melihat dampak lingkungan secara luas, seperti perubahan iklim, yang pasti proses pembangunan IKN akan berkontribusi pada pelepasan emisi. Pelepasan emisi itu dia sebut pastinya berdampak pada masyarakat luas. Bukan hanya masyarakat Kaltim.

Dia menuturkan, untuk melihat situasinya di PPU, hutan yang ada adalah hutan tanaman industri. Sawit dan tambang disebutnya ada di sana.

“Logiknya, si pemegang izin (pemilik lahan sawit atau tambang), ini dia tidak akan mungkin mengembalikan dengan begitu saja, pasti ada negosiasi-negosiai pemindahan ke wilayah lain Ketika itu terjadi, akan masif lagi pembukaan tambang, masif lagi pembukaan sawit dan HTI di wilayah lain. Itu sebagai konsekuensi dari negosiasi landswabnya ketika yang memiliki izin memberikan kepada negara untuk dibangun IKN. Itu pasti akan terjadi,” timpalnya.

Dia juga menyoroti wilayah di sekitar IKN lainnya. Yakni Balikpapan. Di mana katanya, kondisi pesisir Balikpapan kini semakin rentan. Baik secara lingkungan, ekonomi masyarakat, bahkan dugaan akan adanya penggusuran juga disampaikan Uli.

Dia membeberkan, rencana pembangunan IKN juga sampai ke wilayah teluk Balikpapan. Di mana yang Uli ketahui, daerah itu adalah kawasan mangrove yang berfungsi sebagai penata iklim.

“(Mangrove) itu greenbelt di wilayah pesisir, karena dia yang menahan gelombang laut, sebagai rumah ikan-ikan yang menjadi mata pencaharian warga,” sebutnya.

Dia menyatakan, ketika kawasan mangrove itu dihilangkan, karena dijadikan kawasan industri atau kawasan apapun yang menunjang IKN, akan berdampak pada lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat. Khususnya, kepada nelayan.

Di daerah tersebut, akan makin sulit mencari ikan, nelayan akan makin jauh mencari ikan lantaran mangrove yang ada sebelumnya hilang.

“Jelajahnya nelayan kita kan terbatas,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Uli menyatakan Walhi sendiri meminta adanya evaluasi mendasar terhadap keputusan memindahkan ibu kota, dan evaluasi terhadap proses pembangunan dan lain sebagainya di IKN.

Ketika proses evaluasi itu dilakukan, harus dipertimbangkan beberapa hal. Seperti apakah harus dihentikan dulu pembangunan di IKN atau apakah itu menjadi kebutuhan rakyat.

“Atau apakah ketika dipindahkan, dampak dan kerugiannya yang kita tanggung akan besar? Pertimbangan -pertimbangan itu menjadi pisau, apakah kita layak melanjutkan IKN atau kita kemudian kita batalkan? Nah itu yang harus dilakukan Kedua, apakah kemudian ketika IKN dipindahkan, orang akan bermigrasi dan membuat pengaruh terhadap lingkungan? Jawabannya adalah iya. Walaupun kemudian, pemerintah bilang akan membatasi penduduknya cuma 2 juta jiwa.”

Masyarakat di wilayah Sepaku lantas membenarkan di sekitar wilayah IKN sering terjadi banjir. Namun, tidak terjadi di tiap tahun.

Hal itu disampaikan Kepala Adat Kelurahan Pemaluan, Jubaen. Dihubungi melalui panggilan telepon, Jubaen menuturkan, banjir di RT 02, tempatnya tinggal, memang terjadi pada Maret 2023 lalu.

Ia menyatakan, dirinya salah satu korban dari peristiwa tersebut. Musibah yang terjadi saat itu tak semua merendam rumah di wilayahnya.

“Banjir itu di mana yang rumah-rumah berdirinya di dataran rendah, itu yang terkena (banjir). Tapi yang (rumahnya dibangun di dataran) tinggi, mungkin juga tidak kena (banjir). Termasuk punya saya juga (dibangun) di tanah rata, di rawa-rawa, lalu dekat sungai, jadi otomatis (kebanjiran),” terangnya, Jumat (23/02/2024).

Ia memaparkan beberapa faktor banjir terjadi di daerahnya. Pertama, diakibatkan intensitas hujan yang tinggi di Sepaku. Kedua, air sungai yang pasang dan bertemu di titik tempatnya tinggal.

Untuk banjir di Maret 2023 lalu menimpa RT 02 dan 01. Air pasang yang bertemu menetap hingga menimbulkan genangan.

“Kalau korban banjir di RT 02 dan 01 kemarin, mungkin juga karena penggundulan hutan. Karena hutan alam sudah tidak ada lagi. Sudah tidak seperti dulu,” bebernya.

Ia menegaskan, hutan industri justru lebih dominan. Hutan tersebut cuma bisa bertahan selama 5 tahun. Hilangnya hutan alam juga katanya membuat resapan air tak lagi ada.

Soal banjir yang dialami Jubaen, tak terjadi tiap tahun. Jangka waktunya dari 3 sampai 5 tahun musibah itu baru terjadi.

“Tidak setiap tahunnya banjir,” singkatnya.

Sebelum ada IKN, ia mengaku banjir juga sering terjadi. IKN hadir, justru menjadi faktor lain penyebab banjir.

Dahulu kata Jubaen, banjir tak terlalu memiliki dampak yang besar. Namun, saat IKN hadir peristiwa itu justru lebih parah.

“Dulunya banyak kolam, banyak rawa, banyak aluran-aluran air. Perusahaan yang ada katanya buat parit. Semacam parit gajah. Jadi rawa dan kolam dikeringin supaya bisa ditanamin tanaman industri. Makanya yang biasanya air kalau hujan ada penampungan, sekarang sudah tidak ada. Air otomatis larinya ke sungai, tak ada resapan,” bebernya.

Ia meminta, masuknya IKN bisa membuat pemerintah menormalisasikan sungai di wilayah tersebut. Pelebaran dan pembuatan kolam penanggulangan banjir bisa diwujudkan.

Rencana itu katanya sudah disosialisasikan pihak Otorita IKN ke masyarakat. Seperti ke ketua adat, kelurahan, namun belum disetujui oleh warga.

“Belum kami iyakan. Kami harus musyawarah dulu dengan para tokoh-tokoh bagaimama nanti kedepannya. Apakah rencana itu efektif atau tidak,” lanjutnya.

Pembangunan IKN juga menjadi sorotan penting oleh Forest Watch Indonesia (FWI). Mereka menyebut, pembangunan IKN merupakan driver terjadinya deforestasi.

Hal itu disampaikan Kampanye, Advokasi, Media FWI, Anggi Putra Prayoga. Dihubungi melalui panggilan telepon, menurutnya, IKN sebagai proyek nasional dan urbanisasi yang ingin menciptakan pradaban baru di Kaltim membutuhkan sumber daya air, energi, dan tanah yang berlimpah.

“Ketika proyek IKN dibangun, membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Akan dibangun proyek-proyek lain, berkaitan dengan food estate, energi, dan air untuk memenuhi kebutuhan di IKN,” ucapnya, Senin (26/02/2024) kemarin.

Ia menegaskan, ketika proyek urbanisasi IKN masuk di Kaltim, yang mengalami dampak adalah hutan dan ruang hidup masyarakat. Namun, katanya, tak cuma Bumi Mulawarman saja yang akan merasakan hal tersebut, melainkan Kalsel, Kalteng, Kalbar, dan Kaltara juga.

Ia membenarkan akan ada pembukaan hutan yang sangat masif di Kalimantan. Kegiatan itu mereka sebut sebagai anatomi deforestasi IKN.

“Sebetulnya ini, ketika proyek IKN dibangun, maka akan ada proyek-proyek baru. Saat ini belum ada mobilisasi atau urbanisasi yang masif, terjadi nanti di Agustus, nah proyek itu apakah nanti berdampak positif jika memang diasumsikan bahwa IKN memerlukan lahan yang banyak, terkait pangan, energi dan air, justru ini akan meningkatkan laju deforestasi di Kalimantan,” bebernya.

Untuk diketahui, dari data yang diperoleh, deforestasi hutan alam di IKN terus terjadi. Sepanjang 2017 sampai 2021 ada 18 ribu hektare.

Lalu, di 2022 sekitar 1.322,57 hektare. Kemudian, deforestasi pada 2023 di periode Januari sampai Juni, sebanyak 310,67 hektare.

“Saya sempat ke sana, saya juga sempat memantau daerah pesisir wilayah IKN. Ada beberapa kelompok marginal yang kita sorot, seperti kelompok masyarakat adat, nelayan, perempuan dan masyarakat kecil,” sebutnya.

Ia mengatakanm pantai-pantai yang ada di pesisir Balikpapan masuk dalam perencanaan IKN dan pemerintah daerah untuk dibangun kawasan industri. Dari situ, hal yang ia lihat ialah masyarakat yang terpinggirkan nanti ialah nelayan.

“Termasuk juga pembangunan yang ada di IKN sendiri, di Desa Bumi Harapan, (salah satu warga bernama) Ibu Dahlia, itu juga sama (nasibnya). Kami juga menyoroti, kelompok-kelompok masyarakat adat ini juga tidak memiliki hak yang sama untuk menentukan hidup dan nasibnya pasca ditentukannya IKN.”

“Kalau dulu (sebelum ada IKN), mereka masih bisa bertani, bersawah, berkebun (intinya) melakukan aktivitas keseharian mereka. Tapi, pasca IKN (ada) mereka justru dibatasi (aktivitas sehari-harinya). Untuk membangun rumah pun mereka sudah sulit,” lanjutnya.

Ia menegaskan, saat IKN ditentukan, perubahan signifikan terjadi. Khususnya bagi masyarakat adat yang sangat bergantung dengan hutan.

Ia juga sempat menyinggung soal hutan penyangga atau hutan transisi di IKN yang dihancurkan untuk pembangunan mega proyek tersebut.

“Nah di situ, ketika jalan tol dibangun, merusak hutan yang ada tanpa adanya analisis dampak. Jadi, dibangunnya hutan satwa, koridor satwa, itu semua (ada) setelah (muncul) dorongan masyarakat sipil. Itu baru bagian pembangunan jalan.
Kemudian juga, pembangunan lain seperti bandara VVIP di Pantai Lango, itu merusak hutan mangrove yang ada di sana (Balikpapan). Pelanbuhan-pelabuhan juga membuka hutan-hutan pesisir di Teluk Balikpapan,” bebernya.

Lebih lanjut, untuk di IKN sendiri, definisi hutan alam yang dimaksud FWI katanya sudah berbeda. Alias, hutan yang ditanami tanaman, seperti (tanaman) akasia, dan lain halnya.

Baginya, hal itu berbeda definisi ketika disebut deforestasi adalah hutan alam yang berubah menjadi bukan hutan. Entah menjadi lahan terbuka, jalan, atau lainnya

“Dan luasannya cukup luas untuk setahun atau dua tahun, bukan hutan tanaman yang dirusak, tapi hutan alam. Ada kejadian inconsistency yang kita temukan di lapangan merusak hutan alam di sana (IKN),” terangnya.

Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kehutanan dan Sumber Daya Air OIKN, Pungku Widiaryanto ikut memberikan tanggapan. Ia memaparkan, pembangunan IKN ini memiliki beberapa tahap.

Saat ini, pemerintah sedang fokus untuk mengerjakan tahap 1. Yakni, pembangunan Istana Garuda dan sekitarnya.

“Di beberapa tahap, ada tahap 1, 2, 3, 4 sampai 5. Untuk di tahap 1, memang fokusnya di area Istana (Garuda) dan sekitarnya itu progresnya sudah 75 persen dari tahap 1 yang sudah direncanakan. Kebetulan di kami ini, bertanggung jawab dengan alam atau untuk menciptakan Kota Hutan,” akunya.

Ia mengklaim, progres yang mereka miliki bisa disebut ‘lumayan’. Seperti melakukan korrdinasi lebih banyak untuk melakukan konservasi.

Ia mengaku memiliki beberapa program. Contohnya, untuk deforestasi, saat ini sudah mencapai 3.000 hektare. Lalu, konservasi.

“Tahap 1 ini kebetulan, sebagian besar di taraf kebijakan. Tentu sudah menyusun beberapa (kebijakan) termasuk mewujudkan bagaimana IKN sebagai Net Zero City, sebagai (kota) dengan keanekaragaman yang tinggi, melestarikan hayati dan bagaimana melestarikan kebijakan-kebijakan lainnya,” timpalnya.

Ia mengatakan, untuk menciptakan IKN sebagai Forest City maka, 75 persen wilayah nanti ialah kawasan hijau. Di mana 65 persen tertutup hutan atau kawasan lindung dan 10 persennya merupakan kawasan pangan.

Ia menyebut, saat ini, kondisi di IKN yang tertutup hutan hanya 16 persen saja. Akan ada usaha lebih untuk bisa mewujudkan kota hutan seperti yang ia jelaskan sebelumnya.

“Yang berarti, kita perlu effort untuk melakukan deforestasi. Tentu saja bukan (waktu) yang setahun, dua tahun, tapi jangka panjang hingga 2045. Dan kebijkan kita untuk di lapangan, yang konkrit adalah kita melindungi hutan yang ada, yang tersisa, yang 16 persen tersebut, dengan tidak diapa-apakan. Di sisi lain kita ingin meningkatkan hutan dengan melakukan penanaman. Berharapnya itu menjadi kunci utama untuk mewujudkan 65 persen tadi,” terangnya.

Ia mengklaim, dengan adanya IKN ini, pemerintah akan memperbaiki hutan di Kalimantan. Ia menjelaskan, sisa 16 persen hutan yang ada di IKN, bentuknya merupakan kebun, tanaman ekaliptus, tambang, ada perumahan, pemukiman, dan lain sebagainya.

Ia menyatakan, area pembangunan saat ini bukan berada di hutan alam atau hutan tropis. Pemerintah katanya ingin menaikkan jumlah hutan di Kalimantan.

“Bukan terus ‘Oh hanya 75 persen yang hijau, sisanya rusak’, bukan gitu. Karena kondisi saat ini sudah rusak, yang bagus hanya 16 persen,” tutupnya.

Sumber tulisan ini berasal dari kaltim.suara.com

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top