Sore yang hangat menyinari ratusan tanaman gamal di petak hutan yang dikelola Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwodadi di Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jumat (2/8/2024). Tanaman energi tersebut berjajar rapi dengan jarak 1 x 2 meter satu sama lain di petak 6B yang dipangku oleh Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Karangasem, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Karangasem. Selain gamal, KPH Purwodadi juga menanam kaliandra. Pada 2020, mereka mulai menanam dua jenis tanaman tersebut di lahan seluas 897 hektare. Lokasi penanaman tidak dilakukan di satu tempat, melainkan disebar di sejumlah RPH naungan KPH Purwodadi.
Tanaman-tanaman tersebut sedianya akan menjadi campuran bahan bakar alias co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Jawa Tengah. Dengan tinggi rata-rata tujuh sampah delapan meter, dan diameter batang 10 sentimeter, tegakan gamal tersebut sebetulnya sudah siap dipanen dan dijadikan biomassa. Namun, sejak ditanam pada 2020 hingga sekarang, belum ada satu pun batang pohon gamal atau kaliandra yang dipanen.
Administratur KPH Purwodadi Untoro Tri Kurniawan mengatakan, sebagai pelaksana program penanaman tanaman energi di level tapak, pihaknya hanya menunggu aba-aba dari hierarki yang lebih tinggi. “(Sampai sekarang) belum ada perintah untuk diarahkan ke mana. Karena kan sifatnya kalau tanaman energi harus segera dikirim ke pabrik (untuk diolah),” jelas Untoro saat ditemui Kompas.com di kantornya.
Dia menuturkan, gamal adalah tanaman yang cepat kering. Begitu dipangkas, tanaman tersebut harus segera diolah dan dikirim ke pabrik untuk diolah, entah itu menjadi wood chip, wood pellet, briket, atau produk lainnya. “Tidak lebih dari dua sampai tiga hari (untuk diolah sejak dipanen),” tuturnya. Meski masih belum dipanen, Untoro menyatakan KPH Purwodadi tetap mengalokasikan lahan dan menanam gamal dan kaliandra sesuai Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) yang ditetapkan untuk kawasan tersebut.
Dari data yang diperoleh Kompas.com, KPH Purwodadi mengalokasikan 2.330 hektare lahan hingga 2023 untuk ditanami gamal dan kaliandra. Rencana produksinya ditarget 4.660 ton dari tanaman yang ditanam pada 2020 dan 2021. Gamal dan kaliandra di KPH Purwodadi adalah satu dari berbagai proyek tanaman energi untuk memenuhi program co-firing PLTU. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menargetkan co-firing biomassa dengan porsi antara 10-20 persen pada 2025 di 52 PLTU. Untuk mencapai target tersebut, biomassa yang diperlukan bisa mencapai 8 sampai 14 juta ton per tahun. Sepanjang 2023, serapan biomassa untuk co-firing di 43 PLTU mencapai 1 juta ton untuk campuran batu bara dengan rasio antara 1-3 persen.
Perjanjian Kerjasama
Pada 1 Maret 2022, PT PLN meneken Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan PT Perhutani untuk menyediakan pasokan biomassa dalam program co-firing PLTU. Dalam kerja sama tersebut, Perhutani diminta menyediakan kebutuhan biomassa dari tanaman energi untuk dua pembangkit yakni PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Rembang. Dari kerja sama tersebut, Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah mengalokasikan tujuh wilayah KPH untuk mengembangkan tanaman energi, yaitu KPH Blora, KPH Cepu, KPH Mantingan, KPH Pati, KPH Purwodadi, KPH Semarang, dan KPH Telawa untuk dipasok ke PLTU.
Kasi Komunikasi Perusahaan dan Pelaporan Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah Tri Utdiono mengatakan, luas lahan yang dialokasikan untuk menanam tanaman energi berupa gamal dan kaliandra adalah mencapai 18.605,2 hektare yang tersebar di tujuh KPH tersebut. Dalam situs web Perhutani, Divisi Regional Jawa Tengah mengelola hutan seluas 635.858 hektare. Dengan demikian, alokasi lahan untuk tanaman energi sekitar 2,3 persen dari hutan yang dikelola.
Tri menuturkan, sampai saat ini tanaman energi untuk dipasok ke PLTU Rembang masih belum terealisasi. Dia menyampaikan, gamal dan kaliandra yang sudah terlanjur ditanam oleh Perhutani masih belum dapat diserap untuk co-firing PLTU karena belum ada pabrik yang mengolahnya menjadi wood pellet. Rencananya, Perhutani bakal mengolah gamal dan kaliandra yang mereka tanam menjadi wood pellet di dua pabrik yang saat ini sedang dibangun. Satu berlokasi di Semarang, lainnya berlokasi di Rembang. “Saat ini kami sedang membangun pabriknya dulu. Baru proses kemarin ground breaking,” ucap Tri.
Menurutnya, biomassa dari tanaman energi memiliki prospek bisnis yang bagus di masa depan. Selain bisa diserap untuk co-firing PLTU, Tri meyakini pasar ekspor masih terbuka lebar. “Tidak harus di PLN juga. Bisa ekspor biomassa ke luar negeri, (seperti) untuk pemanas ruangan,” papar Tri.
Kompas.com mencoba meminta wawancara dan mengirim permintaan konfirmasi mengenai realisasi serapan biomassa dari Perhutani ke PLN melalui Executive Vice President Komunikasi Korporat & TJSL PLN Gregorius Adi. Namun hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan.
Pilih limbah
Direktur Biomassa PLN Energi Primer Indonesia (EPI) Antonius Aris Sudjatmiko mengatakan, pihaknya selama ini hanya menyerap limbah sebagai campuran pembakaran PLTU batu bara. Dia menegaskan, tidak sebatang pun biomassa yang dipakai untuk co-firing yang terealisasi diambil dari hutan tanaman industri (HTI). Aris juga menuturkan, untuk mencukupi target co-firing PLTU yang telah ditetapkan, PT PLN EPI selaku anak perusahan PT PLN meyakini dapat tercukupi dengan potensi limbah biomassa yang ada.
Dia menuturkan, bahan baku biomassa untuk co-firing PLTU didapatkan dari berbagai sumber yaitu limbah pertanian, limbah tanaman pakan ternak, limbah serbuk dari berbagai produk perkayuan, limbah HTI, atau limbah replanting alias penanaman kembali tanaman contohnya karet. “Jadi kalau selama ini di HTI, seperti pulp and paper, itu kan banyak ranting yang ditinggal begitu saja. Nah limbah-limbah itu bisa dipakai (untuk co-firing PLTU),” ujar Aris saat dihubungi Kompas.com.
PLTN EPI, lanjut Aris, tidak mengolah kayu dari HTI untuk dijadikan bahan co-firing karena akan bertolak belakang dengan semangat menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di PLTU. “Kalau HTI itu artinya mulainya dari mengubah dari suatu kontur, suatu lahan menjadi hutan yang dikhususkan untuk tanaman energi. Artinya secara emisi itu sudah terganggu. Sistem biodiversitas dan lain-lain. Karena tujuannya co-firing biomassa itu kan untuk menurunkan emisi,” papar Aris.
Dengan memanfaatkan limbah untuk bahan baku co-firing PLTU, Aris berujar langkah tersebut sekaligus mencegah pelepasan emisi metana ke atmosfer. “Jadi yang selama selama ini ditimbun seperti sekam padi, kemudian serbuk gergaji yang selama ini dibuang-buang, serbuk aren, limbah jagung yang ditimbun, itu menghasilkan metana,” ucap Aris.
Perubahan fungsi
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Maksum Syam menyampaikan, penanaman tanaman energi yang dilakukan oleh Perhutani mengukuhkan “hutan politik” alias monopoli kawasan hutan di Jawa oleh pemerintah. Melalui monopoli tersebut, pemerintah dapat melakukan kontrol atas tiga hal di hutan yakni kontrol teritori, kontrol spesies, dan kontrol warga. “Kalau dipakai untuk kebun energi, berarti tanamannya menjadi monokultur dan sudah tidak bisa lagi disebut sebagai hutan,” ujar Maksum kepada Kompas.com melalui sambungan telepon.
Di sisi lain, alih fungsi hutan untuk ditanami komoditas keperluan energi dapat mengubah pergeseran sosial di masyarakat sekitar. Bila dulu masyarakat bergantung kepada hutan di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan, energi, dan ternak, alih fungsi hutan akan membuat masyarakat sekitar mau tak mau menjadi pekerja yang diupah atau buruh.
Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga menyebutkan, Jawa sebagai wilayah yang sudah padat penduduk sangat rentan bila terjadi perubahan fungsi hutan. Menurut data FWI, luas tutupan hutan tersisa di Jawa Tengah hanya sekitar 602.237,71 hektare atau sekitar 18 persen dari total wilayah provinsi tersebut yang mencapai 3,25 juta hektare. Perubahan fungsi dan tutupan hutan lebih lanjut berpotensi besar memicu bencana hidrologis yang dapat memengaruhi masyarakat di sekitarnya.
“Jawa sebagai lanskap sudah seharusnya butuh treatment untuk mengembalikan fungsi hutan. Bukan untuk menambah perubahan-perubahan pola tanam atau fungsi dari hutan itu sendiri,” ujar Anggi kepada Kompas.com, Senin (5/8/2024). Untuk mengembalikan fungsi hutan di Jawa, seharusnya dilakukan rehabilitasi permanen. Hal tersebut perlu dilakukan agar fungsi hutan di Jawa bisa kembali pulih, contohnya untuk konservasi air dan tanah.
*Tulisan ini didukung Forest Watch Indonesia (FWI) dalam program “Transisi Energi Watch: Journalist Fellowship Program”
Sumber tulisan berasal dari lestari.kompas.com