Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau yang fantastis. Namun, di balik kebanggaan itu, terdapat ancaman nyata terhadap ribuan pulau kecil yang menjadi bagian penting dari kekayaan ekologis dan budaya bangsa. Ironisnya, banyak dari ancaman tersebut justru datang dari kebijakan pembangunan yang didukung negara.
Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau. Jika pulau besar yang luasnya lebih dari 2.000 kilometer persegi hanya berjumlah belasan, maka lebih dari 16.000 lainnya adalah pulau kecil. Bahkan, menurut data Forest Watch Indonesia (FWI) tahun 2022, jumlah pulau kecil di Indonesia mencapai sekitar 19.000 pulau, dengan total luas lebih dari 7 juta hektare.
Pulau-pulau kecil ini bukan sekadar gugusan tanah tak berpenghuni. Di atasnya hidup masyarakat adat, nelayan tradisional, dan komunitas lokal yang menggantungkan hidup dari laut, hutan, dan ekosistem pulau. Sayangnya, nasib mereka kini berada di ujung tanduk.
Konsesi Tambang Menjarah Pulau
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat, sedikitnya 35 pulau kecil di Indonesia kini terdampak langsung oleh industri pertambangan. Tidak tanggung-tanggung, di atas pulau-pulau ini tersebar 195 izin usaha pertambangan (IUP) dengan total luas konsesi mencapai 351.933 hektare. “Ironisnya, seluruh pertambangan itu berlangsung dengan restu negara dan atas nama pembangunan,” tegas JATAM dalam laporannya. Bahkan, beberapa di antaranya dibungkus dengan narasi “pembangunan hijau”.
Salah satu potret nyata kehancuran itu ada di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Pulau yang menjadi rumah bagi masyarakat adat Bajau itu kini nyaris dikepung tambang. Sekitar 73 persen atau lebih dari 650 km² wilayah Kabaena telah dikapling oleh puluhan IUP nikel. Menurut laporan Setya Bumi, LSM yang fokus pada isu HAM dan lingkungan, aktivitas tambang ini menyebabkan penggundulan hutan, pencemaran laut dan sungai, hingga hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat.
“Kami dulu bisa memanen hasil laut dan air bersih dari sungai. Sekarang semuanya berubah,” ujar Hasni, warga Kabaena, kepada tim Setya Bumi. “Air sudah tidak bisa diminum, dan ikan makin susah ditangkap.”
Privatisasi Pulau, Siapa Diuntungkan?
Ancaman terhadap pulau kecil tidak hanya datang dari tambang. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melaporkan bahwa hingga pertengahan 2023, sebanyak 226 pulau kecil telah diprivatisasi. Tujuannya bervariasi: pariwisata, konservasi, hingga pertambangan. Pola privatisasi ini dinilai mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan mengubah lanskap pulau menjadi milik eksklusif segelintir elite pemilik modal.
Masalah semakin pelik karena UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil membuka celah hukum bagi eksploitasi pulau kecil, selama tidak melanggar tata ruang. Sayangnya, pengawasan terhadap praktik-praktik ini masih lemah, dan suara masyarakat kerap terabaikan.
Ancaman terhadap pulau-pulau kecil harus menjadi perhatian serius pemerintah, terutama dalam konteks krisis iklim dan keberlanjutan ekosistem pesisir. Pulau kecil bukan hanya soal luas lahan, tetapi soal kedaulatan, keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan bangsa. Jika terus dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan pulau, tetapi juga masa depan.
Pakar geografi dari Universitas Gadjah Mada, Sutanto Kurniawan, menegaskan, “Pulau-pulau kecil adalah benteng terakhir kita dalam menghadapi perubahan iklim. Kehilangannya berarti kita kehilangan buffer alami terhadap bencana.”
Pembangunan seharusnya tidak menjadi alasan untuk melanggengkan kerusakan. Negara perlu mengevaluasi kembali seluruh izin tambang di wilayah pulau kecil, memperkuat partisipasi masyarakat adat, dan menjadikan pulau kecil sebagai zona perlindungan, bukan eksploitasi.
Sejauh ini, dari ribuan pulau kecil di Indonesia, puluhan sudah ditambang, ratusan telah diprivatisasi, dan ribuan lainnya menanti nasib. Apakah kita akan membiarkan semuanya terkubur atas nama pembangunan?
berita tersebut bersumber dari hukamanews.com