Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materiil UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) yang diajukan oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group. Putusan perkara nomor 35/PUU-XXI/2023 tersebut dibacakan pada Kamis (21/3) dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo.
PT GKP dengan tegas menggugat Pasal 37 huruf K, yang melarang penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. PT GKP memiliki konsesi seluas 1.800 hektare (Ha) di atas Pulau Wawonii (Kabupaten Konawe Kepulauan) yang luasnya 70,6 ribu Ha. Penolakan MK terhadap judicial review PT GKP dinilai sebagai langkah maju yang signifikan dalam melindungi alam dan ruang hidup masyarakat/masyarakat adat di Indonesia. Putusan ini menegaskan bahwa pulau-pulau kecil harus dilindungi untuk menjaga kelestarian lingkungan, ekonomi, dan sosial masyarakat.
Forum Akademisi Timur Melawan Tambang di Pulau Kecil menyikapi putusan MK tersebut. Akademisi Universitas Pattimura, Prof. Agustinus Kastanya, menegaskan bahwa putusan MK merupakan momentum untuk menghentikan aktivitas pertambangan di pulau kecil yang memiliki daya rusak luar biasa di wilayah Timur Indonesia. Di Provinsi Maluku dan Maluku Utara saja tercatat terdapat 32 jumlah izin usaha pertambangan (nikel, tembaga, bijih besi, emas, mangan, dan lainnya) yang mengkapling 24 pulau kecil dengan total luas 118 ribu Ha.
“Kedepan pasca putusan MK, harus dilakukan monev dan audit usaha pertambangan di pulau kecil untuk menjadikannya pertimbangan dalam pencabutan izin. Penting juga memastikan agar tidak ada lagi izin baru pertambangan di pulau kecil khususnya di wilayah Timur, yang notabene sebagai ruang hidup masyarakat adat,” katanya. Menurut Agustinus, tambang mengakibatkan kerusakan lingkungan secara masif, yang menyebabkan pencemaran di sungai, pesisir, dan lautan, sehingga berdampak pada hilangnya mata pencaharian dan kemiskinan masyarakat.
Senada, akademisi Universitas Halu Oleo, Prof. Laode M Aslan menegaskan bahwa putusan MK merupakan momentum untuk membenahi tata kelola pertambangan di pulau pulau kecil. Di Indonesia, ada banyak pulau kecil yang telah rusak bahkan hilang akibat tambang. Aktivitas pertambangan mengakibatkan pencemaran lingkungan, dan alih fungsi lahan-lahan produktif masyarakat lokal dan adat. Di Sulawesi Tenggara, ratusan hektare tambak rusak dan tidak dapat digunakan lagi karena tercemar. Nelayan pun terdampak, sulit menangkap ikan. “Evaluasi harus dilakukan termasuk audit usaha pertambangan di pulau kecil secara komprehensif,” kata Laode.
Akademisi Universitas Mataram, Dr. Andi Chairil Ichsan, menjelaskan bahwa putusan MK memperkuat instrumen pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, baik pada sistem perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah. Sehingga dapat memastikan pulau-pulau kecil tumbuh dan berkembang berdasarkan karakteristik wilayahnya. “Upaya ini menutup peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan kejahatan lingkungan di wilayah kepulauan,” ujar Andi.
Manager Kampanye Advokasi Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menerangkan bahwa luas hutan alam di pulau-pulau kecil mencapai 3,49 juta Ha atau setara 50 persen dari luas daratan pulau kecil di Indonesia. Hutan alam ini memiliki fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi yang sangat penting. “Hilangnya hutan alam akibat konversi masif dapat mengancam eksistensi pulau-pulau kecil yang rentan terhadap perubahan lingkungan,” kata Anggi dalam keterangannya, dikutip JawaPos.com, Jumat (29/3).
Putusan MK yang menolak gugatan PT GKP, menurutnya, merupakan langkah maju dalam upaya melindungi hutan alam. Data FWI menunjukkan bahwa deforestasi hutan alam akibat tambang saja di pulau pulau kecil Indonesia memiliki nilai yang cukup signifikan, yakni sekitar 13.100 Ha (2017-2021).
Anggi menambahkan, setidaknya MK dengan putusannya telah berupaya menyelamatkan hutan alam tersisa yang luasnya capai 51.950 Ha dari aktivitas tambang di pulau-pulau kecil di Kabupaten Konawe Kepulauan.b”Menutup ruang bagi pertambangan di pulau kecil merupakan pendekatan pengelolaan yang tepat, karena pengelolaan pulau kecil tidak sama dengan pulau besar. Setiap pulau kecil memiliki karakter dan keunikannya, dan banyaknya campur tangan hanya menyebabkan tumpang tindih kepentingan,” tutup Anggi.
Sebagai informasi, luas pulau-pulau kecil di Indonesia mencapai 7 juta Ha atau setara 105 kali luas DKI Jakarta. Tambang menjadi salah satu sektor yang paling mengancam eksistensi pulau-pulau kecil di Indonesia. FWI mencatat seluas 876 ribu Ha pulau-pulau kecil di Indonesia telah dikuasai oleh konsesi perusahaan, yang mana 245 ribu Ha diantaranya telah dikapling untuk pertambangan. Konsesi pertambangan ini menempati 242 pulau.
Sumber tulisan ini berasal dari jawapos.com