Tengah hari di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Udara terasa panas menyengat. Debu-debu bertebaran di jalanan. Puluhan truk bermuatan 7 hingga 15 ton serbuk gergaji atau sawdust terlihat melintasi jalan menuju PLTU Indramayu. Pemandangan yang nyaris terekam saban hari. Lokasinya memang tak begitu jauh dari permukiman warga. Hanya berjarak beberapa kilometer saja. Jalan desa menjadi satu-satunya trayek beraspal yang terhubung ke anak usaha PT PLN (Persero) itu.
Sejak 18 Juni 2021, PLTU Indramayu telah menerapkan co-firing biomassa, sebuah sistem pembakaran dua jenis bahan bakar yang berbeda secara bersamaan. Skema ini sejalan dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2017 tentang penggunaan biomassa sebagai bahan bakar pada pembangkit tenaga listrik.
Pemerintah, melalui beleid tersebut hendak menekan ketergantungan pada energi fosil khususnya batu bara, sekaligus mendorong pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2025 sebesar 23% dari total konsumsi energi nasional. Ada empat jenis biomassa yang biasanya digunakan saat proses co-firing: hutan energi, limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri, dan sampah rumah tangga. Beberapa contohnya seperti wood pellet, cangkang sawit, dan sawdust (serbuk gergaji). PLTU Indramayu, dalam penelusuran Parboaboa, memanfaatkan serbuk gergaji sebagai salah satu substitusi batu bara pada pembangkit listrik.
Kebutuhan biomassa secara keseluruhan, mengacu data Trend Asia, bisa menembus ratusan ribu ton per tahun. Hitungan tersebut, menurut Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Oktaviani, berdasarkan jumlah unit PLTU Indramayu yang telah diset untuk proses co-firing. Dengan aktivasi tiga unit, kata Amalya, estimasi kebutuhan wood pellet mencapai 688.430 ton per tahun. Namun, jika menggunakan sawdust sebagai bahan baku, kebutuhan akan meningkat karena nilai kalorinya lebih rendah dibandingkan dengan wood pellet.
“Kalau sawdust yang cuma 2.900 kalori, maka setidaknya butuh 1,5 kali lipat, yaitu 900-an ribu ton sawdust [per tahun],” jelas perempuan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut. Kalkulasi pasokan biomassa juga sempat disinggung seorang supplier, yang juga merangkap sebagai pekerja di PLTU Indramayu.
Menurutnya, pihak PLTU akan menampung sebanyak apapun serbuk gergaji, selagi kualitas biomassa terpenuhi. Kebutuhan pasokan sawdust, kata dia, mencapai 12.000 ton dalam sebulan. “Jadi kita tuh, kebutuhan per tahunnya mencapai seratus ribu ton lebih,” ungkap lelaki paruh baya itu. Masalahnya, beberapa pemasok mencampur serbuk gergaji dengan air untuk menambah berat biomassa sebelum menjualnya ke PLTU.
Rabu, 17 Juli 2024. Gumpalan asap tebal mengepul di ujung cerobong. Sekitar tiga kilometer dari lokasi, truk-truk dengan muatan serbuk gergaji berjejer di halaman sebuah rumah tembok bercat putih. Beberapa pria larut dalam obrolan di gazebo tua yang terletak di sudut rumah. Seorang pria lain mendekat sambil memegang selembar kertas putih di tangan. Rumah tersebut, berdasarkan informasi yang dihimpun Parboaboa, merupakan milik seorang penyuplai biomassa ke PLTU Indramayu.
Mayoritas truk dengan model colt diesel dan karoseri kayu itu, membawa serbuk dari banyak daerah yang tersebar di Pulau Jawa. Mulai dari Tasikmalaya, Bandung, Majalengka, Subang, Ciamis, hingga Kabupaten Kuningan dan Ciasem. Para sopir truk biasanya berhenti di sana sebelum melanjutkan perjalanan ke PLTU Indramayu. Mereka mengambil surat kirim barang (SKB), sebagai syarat administratif saat masuk ke lokasi.
SKB hanya dimiliki oleh pemasok serbuk, mereka yang telah bekerja sama dengan PLTU untuk menyuplai bahan baku. Kesempatan inilah yang digunakan para sopir untuk menambahkan air pada muatan sawdust sebelum dijual ke PLTU. Parboaboa mencoba memasuki area pembongkaran akhir sawdust, tetapi gagal lantaran pengawasan yang terlampau ketat. Dengan bantuan salah satu sopir truk, Parboaboa berhasil memperoleh informasi mengenai alur proses di dalam kawasan PLTU. Berdasarkan foto dan video yang diperoleh, truk pengangkut serbuk gergaji melewati empat pos sebelum memasuki tempat pengecekan terakhir. Di lokasi pengecekan terakhir ini, serbuk gergaji dikumpulkan di satu tempat sebelum dibakar.
Bagi warga Desa Sumuradem, pencampuran air dan sawdust jamak dilakukan para sopir truk. Dulmin, seorang warga yang tergabung dalam komunitas Jatayu (Jaringan Tanpa Asap Batubara di Indramayu), mengaku jengah dengan keadaan. Sependek ingatannya, hampir semua sopir truk yang memasok biomassa ke PLTU Indramayu melakukan hal serupa. “Biasanya nggak ada tempat khusus atau tempat-tempat tertentu untuk melakukan penyiraman serbuk. Ya, dilakukan di mana saja,” ujar pria yang akrab disapa Muin tersebut.
Seorang supplier, yang juga diketahui sebagai karyawan PLTU Indramayu, bahkan mengarahkan Parboaboa untuk melakukan pengoplosan jika ingin menyuplai serbuk. Pihak supplier, kata dia, telah membuat kebijakan tidak tertulis untuk para pengangkut serbuk: selama air tidak menetes banyak, truk-truk tersebut masih diperbolehkan masuk. “Nggak papa [basah]. Kan kita bisa itu saja, bawahnya dikasih plastik [agar tidak rembes],” ujar pria sawo matang itu.
Lokasi penyiraman biomassa tak hanya berada di kitaran area PLTU. Truk-truk juga biasa beroperasi di SPBU atau pabrik yang berada di jalur Pantura. “Bayar 50 ribu, sepuasnya [siram air],” katanya. Bahkan, ada orang-orang yang secara khusus ditugaskan untuk menyiram truk pengangkut biomassa, meski dengan upah yang tak seberapa.
Truk yang digunakan oleh pemasok dapat mengangkut sekitar 6-7 ton serbuk gergaji dalam kondisi kering. Dengan penambahan air, berat akan meningkat sekitar 40 persen lebih dari jumlah biomassa kering. Artinya, total tonase yang dapat dijual bisa mencapai 9-10 ton. Penambahan massa air pada bahan baku co-firing, menurut pengakuan pria asal Indramayu itu, terpaksa dilakukan demi mendapatkan profit yang lebih besar.
Dalam hitungannya, 1 ton serbuk dibanderol dengan harga Rp320.000. Dengan komposisi biomassa dan air 7:3, maka sekali angkut saja, penjual bisa mendapat laba Rp960 ribu. Laba sebesar itu tidak akan diperoleh jika serbuk dikirim dalam kondisi kering ke PLTU. Dengan berat yang tidak mencapai 10 ton dan biaya operasional yang tinggi, keuntungan yang didapat menjadi jauh lebih kecil. “Kalau kering itu paling dapat cuman 6 ton. Paling besar itu 7 ton. Ya, [biayanya] habis-habis untuk perjalanan saja,” katanya.
Di balik laba yang diraup para supplier, PLTU Indramayu justru merugi. Dalam perhitungan Parboaboa, kerugian ini berasal dari selisih penambahan muatan serbuk gergaji setelah ditambah air. Dengan kebutuhan bulanan sekitar 12.000 ton serbuk gergaji untuk co-firing, PLTU yang memiliki kapasitas 3 x 330 Megawatt ini mengalami kerugian lebih dari 1 miliar rupiah setiap bulan dari pembelian serbuk gergaji. Parboaboa sudah melayangkan surat permohonan wawancara, baik ke pihak PLTU Indramayu maupun PT PLN. Namun, belum ada tanggapan hingga laporan ini ditayangkan.
Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Prayoga, menyebut praktik pencampuran sawdust dan air, tak hanya terjadi di PLTU Indramayu. FWI mengendus praktik serupa terjadi di PLTU Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Praktik tersebut sempat dihentikan, namun kembali beroperasi lantaran implementasi co-firing bersifat mandatory.
Anggi meyakini, pihak PLN menyadari pencampuran sawdust dan air adalah cara kotor yang tidak proper diterapkan di lapangan. Namun, karena bersifat perintah, mereka tidak bisa menghentikannya begitu saja. Mandat yang ia maksud mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tentang Pengesahan RUPTL PT PLN (Persero) Tahun 2021-2030.
Dalam diktum kedua bagian c, disebutkan bahwa target bauran energi baru dan terbarukan pembangkitan tenaga listrik pada akhir tahun 2025 sebesar 23,0 persen. Dengan demikian, apapun persoalannya termasuk potensi kerugian yang akan dialami oleh PLN maupun PLTU, seakan diabaikan demi mengejar target yang ditetapkan pemerintah. “Mau tidak mau, suka tidak suka, PLN menyadari bahwa ini adalah praktik kotor [tapi tetap dijalankan],” ungkapnya awal Agustus 2024.
Dia mengaku, upaya pengawasan yang serius dari PLTU masih belum terlihat. FWI justru menduga, ada semacam kompromi antara oknum PLN maupun PLTU dengan supplier sawdust. “Jadi, ada yang memanfaatkan situasi tersebut. Nggak mungkin PLN tidak mengetahui karena truk itu hanya bisa masuk [atas izin] PLN atau petugas di PLTU,” ujarnya. Praktik curang ini, dalam analisis Anggi, terjadi di hampir semua PLTU yang menggunakan bahan baku sawdust. Bahkan diduga melibatkan para petinggi badan usaha milik negara itu.
Trend Asia, misalnya, mendeteksi bahwa pencampuran sawdust dan air sebagai biomassa pembakaran terjadi di seluruh provinsi di Pulau Jawa. Terdapat setidaknya tiga PLTU besar yang mewakili tiga provinsi tersebut: PLTU Indramayu di Jawa Barat, PLTU Rembang di Jawa Tengah, dan PLTU Paiton di Jawa Timur. Semestinya, dengan sistem pengawasan operasional yang ketat, praktik semacam ini akan mudah terpantau oleh pihak PLTU.
Cara mendeteksinya, kata Anggi, cukup sederhana: ketika serbuk gergaji basah dicampur dengan batu bara, hasil pembakarannya pasti akan berbeda. Sebab, yang terbakar sebagian besarnya adalah air. “Jadi, enggak mungkin enggak ada laporan atau audit. Dugaan besar saya, ada keterlibatan kelas atas,” kata Anggi.
Di sisi lain, Anggi menganggap bahwa co-firing adalah bisnis yang tidak realistis. Dalam analisisnya, harga sawdust yang ditetapkan sebesar Rp300 per kilogram tidak masuk akal jika mempertimbangkan biaya pengangkutan dari lokasi produksi ke PLTU. Ongkos transportasi dan logistik bisa membengkak, tergantung pada jarak dan volume pengiriman. Dengan harga jual sawdust yang rendah, maka produsen akan menghitung ulang beban finansial yang ditanggung. Pada akhirnya, ketidakwajaran harga ini, singgung Anggi, membuka celah bagi produsen untuk mencampur bahan baku biomassa dengan air. “Ini murni bisnis meraup keuntungan,” tegasnya.
Anggi juga menyoroti potensi kerugian negara yang cukup besar jika praktik ini terus dibiarkan. Ia memperkirakan, dalam satu bulan negara bisa mengalami kerugian sebesar 1-1,5 miliar rupiah per PLTU. Ia merekomendasikan agar proses audit dan evaluasi besar-besaran terkait kebijakan co-firing tersebut, perlu segera dilakukan. “Ini harus diaudit dan dievaluasi besar-besaran kebijakan co-firing ini,” tegas Anggi.
Peneliti Biomassa, Justin Satrio, mengatakan penggunaan sawdust dalam kondisi basah itu aneh. Menurutnya, dalam pembakaran co-firing diperlukan bahan baku yang kering. Seandainya pun terdapat kadar air pada biomassa tersebut, maka harus dikeringkan terlebih dahulu. Di sinilah tantangannya. Karena untuk memperoleh biomassa dengan kadar air rendah, biaya yang dikeluarkan akan sangat besar.
Pada prinsipnya, kata Justin, kadar air biomassa itu mesti di bawah 20 persen atau lebih rendah lagi, yaitu 15 persen. Jika biomassa berasal dari tanaman seperti rumput atau sekam padi, kadar airnya bisa mencapai 40 hingga 50 persen, sehingga perlu dikeringkan terlebih dahulu. “Air itu kan suatu gangguan yang negatif. Jadi, harus dihilangkan. Karena air itu juga mengurangi nilai panas yang dihasilkan,” jelas Justin saat dihubungi melalui saluran Zoom.
Selain itu, Justin memastikan bahwa sawdust basah itu sangat berpengaruh pada energi yang dihasilkan dari proses pembakaran. Dia mencontohkan, di Amerika Serikat, jika dirinya membeli biomassa, maka harga per ton itu ditentukan oleh kualitas biomassa dan kadar airnya. Karena semakin banyak kadar air, nilai kalori dari biomassa tersebut juga akan semakin rendah. Justin mengaku kaget dengan temuan Parboaboa terkait praktik oplosan biomassa di Indramayu.
Dalam perhitungannya, jika 7 ton sawdust dalam satu truk berubah menjadi 10 ton setelah ditambah air, maka kadar air yang dihasilkan bisa mencapai 44%. “Itu aneh sekali. Artinya, biomassa yang bermanfaat tinggal 56% saja, sisanya adalah air yang justru akan mengurangi efisiensi pembakaran,” katanya. Praktik semacam itu, singgung Justin, secara tidak langsung juga berpotensi menghasilkan polusi lebih tinggi karena energi yang dibutuhkan untuk pembakaran menjadi lebih besar.
*Tulisan ini didukung Forest Watch Indonesia (FWI) dalam program “Transisi Energi Watch: Journalist Fellowship Program”
Sumber tulisan ini berasal dari Parboaboa.com