Praktik Co-Firing PLTU Nagan Raya: Kesehatan Warga Jadi Ancaman

Siang itu, Rabu 7 Agustus 2024, asap putih tipis mengepul keluar dari ujung cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1&2 Nagan Raya. Pemandangan ini terlihat jelas dari rumah Midarwati (53 tahun), warga Dusun Gelanggang Merak, Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya. Gemuruh mesin itu terdengar sayup-sayup hingga ke rumahnya yang hanya berjarak 30 meter dari dinding PLTU yang dikelola oleh PT PLN Sektor Pembangkitan Nagan Raya. “Kalau pagi sampai siang itu asapnya sedikit, tapi kalau sudah malam asapnya lebih tebal dan gemuruh mesin semakin kencang terdengar,” ungkapnya. 

Midarwati tinggal bersama ketujuh anaknya dan empat orang cucunya yang masih berusia dua hingga delapan tahun. Sebagai warga yang tinggal di dekat PLTU, selain selalu mendengar gemuruh mesin, Midarwati masih ingat dengan jelas, ketika dia harus membawa cucunya yang masih berusia 18 bulan ke klinik kesehatan akibat menderita sesak nafas pada 2023. “Dipeugah lek dokter gara-gara abee (kata dokter akibat terpapar abu),” ungkap Midarwati.

Jika sewaktu-waktu kambuh, terpaksa cucunya harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis. Kini cucunya yang bernama Sri Wahyuni itu telah berusia dua tahun dan sudah dua kali masuk rumah sakit karena menderita infeksi saluran pernafasan. Dia memperkirakan asal debu itu berasal dari dampak pembakaran PLTU.

Midarwati (53) menggendong cucunya yang terkena penyakit ISPA di Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya, Rabu (7/8/2024). Foto: (Bithe/Mardili)

Faktor keterbatasan ekonomi membuat Midarwati memilih bertahan meski harus hidup berdampingan dengan PLTU 1&2 Nagan Raya. Sehari-harinya, dia berjualan nasi di depan rumahnya. Jika warungnya sepi, Midarwati memasak di dapur dan meminta cucunya berjaga apabila ada pembeli yang datang. Midarwati mengaku keempat cucunya hanya bermain di rumah dan tidak sebebas anak-anak pada umumnya. Faktor kualitas udara yang buruk dan tidak ada lagi ruang bermain anak di daerah itu membuat Midarwati harus melindungi keluarga besarnya dari polusi udara.

“Di sini kami hanya tinggal di rumah dan tidak ada tempat bermain untuk anak-anak [di luar] karena asap dan debu,” kata Midarwati kepada Bithe saat dijumpai di kediamannya, pada Rabu (7/8/2024). Dirinya dan empat orang cucunya kini sering menderita batuk dan sesak nafas. “Saya dan empat cucu saya ini kalau sudah sakit pasti batuk, dan kalau sudah parah sampai sesak nafas,” ungkapnya.

Midarwati menjaga cucunya yang sedang bermain teras rumah. Foto: (Bithe/Mardili).

Selain gejala ISPA yang dideritanya, maka mulai muncul pula bercak hitam gatal pada kulit. Menurut pengakuan Midarwati, gatal-gatal pada kulit itu dirasakan selama 3 bulan sejak awal tahun 2024, bukannya hanya dia saja, tapi hampir seluruh anggota keluarganya dan masyarakat yang masih bermukim di dekat PLTU 1&2 Nagan Raya merasakan penderitaan yang sama. “Sebelumnya, saya tidak pernah merasakan gatal-gatal separah ini,” jelasnya.

Musim kemarau panjang 2024 ini juga membuat Midarwati sangat menderita karena asap dan abu PLTU yang masuk ventilasi rumahnya. “Kalau sudah lama musim kemarau, sekali hujan itu airnya warna hitam karena debu sudah menumpuk di genteng rumah,” ucapnya menjelaskan. Setiap pagi Midarwati harus menyapu dan dan membersihkan perabotan rumahnya akibat hujan abu hitam. Jika umumnya orang membersihkan rumah tiga kali sehari, maka Midarwati harus melakukan pekerjaan tersebut lebih dari delapan kali.

Dia heran melihat asap yang keluar dari cerobong PLTU 1&2 Nagan Raya yang tidak lagi berwarna hitam dan berubah menjadi warna putih kekuningan. “Dulu asapnya hitam saya tahu itu dari batubara, tapi sekarang warnanya putih kekuningan, apa batubara yang berubah warna?” ungkap Midarwati keheranan. Sebagai orang awam, dia tidak sepenuhnya paham tentang teknologi co-firing.

Bercak hitam bekas penyakit kulit ditangan Midarwati disebabkan oleh PLTU
Bercak hitam bekas penyakit kulit ditangan Midarwati. Foto: Bithe/Mardili

Masih di Desa Suak Puntong, Dusun Permai, tampak sejumlah anak-anak sedang asik bermain sepeda di halaman rumah. Mereka yang tinggal di sana merupakan warga yang direlokasi dan mendapatkan biaya ganti rugi dari PLTU 1&2 Nagan Raya. Darna (56), salah seorang warga Dusun Permai, dulunya tinggal di depan PLTU 1&2 Nagan Raya, kini lebih memilih tinggal sedikit lebih jauh dari perusahaan pembangkit listrik milik negara itu.

Darna merupakan salah seorang perempuan yang vokal menentang keras pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh operasi  PLTU 1&2 dan menuntut hak ganti rugi.Pada tahun 2020, Darna mendapatkan kompensasi atas tanah dan bangunan miliknya sebesar Rp 500 juta. Meski terbilang murah, Darna dan keluarganya lebih memilih menjual dan pindah ke tempat yang lebih aman dari asap dan debu PLTU.

“Saya lebih memilih pindah meski harganya tidak sesuai, daripada anak cucu saya harus kena debu setiap hari,” kata Darna saat ditemui Bithe, pada Selasa (6/8/2024). Kini Darna dan keluarganya pindah ke Dusun Permai, Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya, jaraknya sekitar 3 km dari PLTU 1&2 Nagan Raya.

Pindah dengan harapan hidup bisa peroleh lingkungan yang lebih sehat, namun pada kenyataannya Darna dan keluarganya masih saja diteror asap dan abu hasil pembakaran PLTU. “Kalau anginnya bertiup ke arah selatan, asap dan debunya tetap masih kena ke pemukiman kami,” tuturnya.

Ancaman ISPA bagi kesehatan warga

Data penyakit ISPA yang diperoleh dari Puskesmas Padang Rubek, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya menunjukkan, pada tahun 2022 tercatat sebanyak 809 kasus, tahun 2023 sebanyak 526 kasus, tahun 2024 terhitung sejak Januari hingga Juli sebanyak 146 kasus. Kepala Puskesmas Padang Rubek, Kiky Tri Wahyuni menyebutkan pasien yang mengeluhkan ISPA ke Puskesmas Padang Rubek mulai dari usia 5 tahun ke atas.

Kiky menjelaskan, penyakit ISPA merupakan penyakit infeksi yang menyerang saluran pernafasan, disebabkan oleh adanya Infeksi virus atau bakteri pada saluran pernapasan dan dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh. “Jadi, bayi dan anak-anak menjadi kategori yang rentan terkena ISPA,” ujarnya.

Ia belum bisa memastikan sumber penyebab ISPA di Padang Rubek karena belum ada riset mendalam. Namun kata dia, pola hidup tidak sehat dan lingkungan dengan kualitas udara yang buruk bisa menjadi penyebab ISPA. “Kami belum dapat memastikan karena belum adanya penelitian,” kata Kiky.

Sejumlah anak-anak sedang bermain sepeda di Dusun Permai, Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya, pada Selasa (6/8/2024). Foto: (Bithe/Mardili).

Psikolog Anak, Endang Setianingsih, menyatakan lingkungan memiliki peran penting dalam perkembangan psikologi anak terutama perkembangan mental anak. Lingkungan sekitar juga peran besar dalam membentuk pola pikir dan perilaku anak tersebut.

Bila lingkungan  yang buruk seperti kebisingan, polusi udara, serta tata ruang yang tidak nyaman dapat menyebabkan gangguan psikologis pada seseorang. “Jika lingkungan tidak bersih, maka psikologi anak akan tampak rapuh dan mudah terkena  stres, mudah cemas dan bahkan depresi,” ungkap Endang kepada Bithe, Rabu (21/8/2024).

Endang menjelaskan, pengaruh bermain bagi anak dapat membentuk otot dan melatih seluruh tubuhnya. Bermain juga berpengaruh dalam penyaluran tenaga emosi, dan bila terpendam akan dapat mempengaruhi perilakunya seperti gelisah, mudah tersinggung dan mudah tegang dalam menghadapi sesuatu hal. “Anak yang tinggal di lingkungan terbatas  akan memiliki perilaku  agitasi, mudah gelisah dan akan mengalami halusinasi,” jelas Endang.

PLTU Co-firing dan Klaim Keamanan Teknologi

PLTU 1&2 Nagan Raya terletak di tepi jalan nasional lintas Barat Sumatera tepatnya di Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya. Conveyor atau pengangkut material campuran batu bara dan biomassa, milik PLTU 1&2 Nagan Raya membentang diatas jalan nasional. Truk bermuatan tampak lalu lalang masuk ke area PLTU.

PLTU ini mulai beroperasi sejak 2014 dengan menggunakan bahan bakar batu bara, ini juga merupakan program percepatan 10.000 MW tahap pertama, yang tertuang dalam Perpres No. 71 Tahun 2006. Kemudian, pada Oktober 2020 dilakukan uji coba co-firing menggunakan cangkang sawit sebesar 5 sampai 10 persen biomassa. Penerapan co-firing pada 2021 menggunakan teknologi co-firing sebesar 4,6 MW.

Team Tata Niaga dan Bahan Bakar PLTU 1&2 Nagan Raya, Edy Purnama menyampaikan bahwa, hingga saat ini 2024 PLTU Nagan Raya telah menggunakan empat jenis biomassa yakni cangkang sawit, serbuk gergaji (sawdust), sekam padi, potongan kayu berukuran kecil (wood chip). “Kita juga sedang dalam tahap uji coba serat kelapa sawit (fiber),” ucap Edy.

Untuk pencampuran, kata Edy, masih 3 hingga 5 persen biomassa yang dicampur dengan batubara. Target pencampurannya hingga 10 persen, namun masih terkendala di bahan baku biomassa. Edy menyebutkan, jumlah pembakaran perhari di PLTU 1&2 Nagan Raya sebesar 50 hingga 100 ton. “Dari kebutuhan harusnya pembakaran sebesar 300 ton per hari, tapi belum optimal karena masih ada keterbatasan bahan baku,” pungkasnya.

Dalam wawancara dengan Bithe.co, Team Leader Lingkungan PLTU 1&2 Nagan Raya, Husnul Hidayat, mengatakan program co-firing jauh lebih aman dibandingkan sebelumnya. “Program co-firing biomassa ini jauh lebih aman dan mampu menekan jumlah partikel karbon pencemaran udara,” ungkap Husnul Hidayat.

Cerobong asap PLTU 1&2 Nagan Raya. Foto: (Bithe/Mardili).

Husnul menyampaikan, hingga April 2024 PLTU 1&2 Nagan Raya sudah membakar biomassa sebesar 18.982 ton dan listrik yang dihasilkan dari biomas tersebut sebesar 14.800 megawattouwer. Untuk besaran CO2 yang berhasil ditekan sejumlah 18.122 ton. “Artinya, lebih sedikit bahkan hampir tidak ada emisi,” tegasnya. Dia juga menerangkan terkait abu sisa pembakaran boiler, PLTU Nagan Raya telah dilengkapi dengan teknologi ramah lingkungan yakni Electrostatic Emission Monitoring (ESP) yang berfungsi untuk menangkap debu dari emisi gas buang.

“Kita sudah menggunakan teknologi ESP, jadi tidak ada lagi pencemaran udara,” kata Husnul Hidayat. Terkait asap pekat di malam hari, Husnul membantah adanya praktik pengoperasian di waktu-waktu tertentu. Dia mengatakan proses pembakaran pada PLTU dilakukan selama 24 jam dengan pengendalian emisi gas buang.

Dampak Polusi dari PLTU

Studi yang dilakukan Salikin Mirza pada tahun 2021 tentang dampak PLTU bagi warga di Desa Suak Puntong, dari delapan warga yang diwawancarai mendapatkan data bahwa kesejahteraan warga sekitar PLTU yang beroperasi sangat rendah. “Faktor utamanya karena debu yang dihasilkan oleh PLTU itu sendiri, faktor lainnya karena polusi dan kebisingan dan jalan utama yang rusak,” tulis Salikin Mirza dalam penelitiannya.

Direktur Yayasan Apel Green Aceh, Syukur Tadu mengatakan, PLTU 1&2 Nagan Raya telah mempersempit ruang hidup masyarakat disana. Pencemaran lingkungan lewat asap dan debu hasil pembakarannya telah mengancam kesehatan warga terutama anak-anak. “Solusi terbaiknya adalah pensiun dini PLTU 1&2 Nagan Raya,” kata Syukur Tadu.

Syukur juga menyebutkan, praktik pembakaran batu bara dengan biomassa atau disebut co-firing yang dilakukan oleh PLTU 1&2 malah memperburuk kondisi lingkungan, asap yang semakin pekat dan debu yang semakin banyak telah mengundang bencana penyakit ISPA dan mengancam lingkungan bermain anak. “Sudah saatnya beralih ke energi yang lebih bersih, karena nyawa manusia lebih berharga dibandingkan PLTU,” tuturnya.

Manager Kampanye dan Advokasi Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga menilai, teknologi co-firing dengan cara membakar batubara dan biomassa akan tetap menghasilkan pencemaran lingkungan dan berdampak bagi kesehatan masyarakat sekitar. “Co-firing ini sebenarnya hanya kamuflase transisi energi,” kata Anggi Prayoga, Senin (12/8/2024). “Kata co-firing digunakan seolah-olah merupakan solusi krisis iklim,” tambahnya.

Menurut Anggi, selama proses bakar membakar masih dipraktikkan, maka selama itu pula pencemaran akan terus terjadi dan belum bisa disebut transisi energi. Dia juga menyoroti permasalahan lingkungan dan kesehatan warga di lingkar PLTU. Praktik co-firing dianggap akan lebih banyak berdampak pada lingkungan dan kesehatan terutama anak-anak yang menjadi kelompok rentan terinfeksi penyakit ISPA.

“Kalau kita bicara perubahan, maka harus di audit semuanya mulai dari aktor, implementasi, dan kebijakan,” tegas Anggi Prayoga. Tujuan audit jelasnya untuk menghindari perluasan dampak buruk dari co-firing. Jika masih berdampak, maka praktik co-firing harus dihentikan, sebutnya.

Walhi Aceh menilai, transisi energi model co-firing adalah cara melegalkan pembangkit listrik tetap beroperasi dengan memanfaatkan bahan bakar fosil dan biomassa. Nyatanya hal tersebut hanya menambah penderitaan warga sekitar PLTU.

“Co-firing ini tidak mengurangi emisi gas rumah kaca karena masih melakukan proses pembakaran batubara dan biomassa, malah ini akan memperburuk kondisi lingkungan,” ucap Direktur Walhi Aceh, Ahmad Shalihin. “Praktik ini (co-firing) tidak mengurangi emisi, karena mereka menebang pohon dan merusak biodiversiti di lokasi pengembangan biomassa. Akibatnya hutan yang menyerap emisi malah hilang,” tambahnya.

Tinjauan Ilmiah Keberadaan Dampak Polusi Bagi Anak

Laporan dari organisasi penelitian Health Effects Institute (HEI) menemukan bahwa anak-anak dibawah usia lima tahun sangat rentan terdampak polusi udara hingga menyebabkan kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, asma, dan penyakit paru-paru. Mereka juga menemukan, pada tahun 2021 polusi udara menyebabkan 8,1 juta kematian di seluruh dunia. Selain kematian, jutaan orang lainnya hidup dengan penyakit kronis yang melemahkan kesehatan, ekonomi, dan masyarakat.

Lebih khusus, sebuah studi tentang dampak polutan dari Universitas Diponegoro pada April 2022, menyatakan bahwa pencampuran bahan bakar batubara dan biomassa sekam padi dapat meningkatkan kualitas abu yang cukup tinggi. “Kandungan abu dan volatile matter atau zat terbang dari sekam padi jauh lebih tinggi dibandingkan batubara,” kata peneliti Nur Cahyo dkk.

Nur Cahyo menjelaskan, secara karakteristik, sekam padi mempunyai kandungan nilai kalor dan kandungan air yang lebih rendah dibandingkan dengan batubara. Dari penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Farras Ilham dan Nazaruddin Sinaga, menyebutkan, pengaruh co-firing dengan menggunakan serbuk gergaji (sawdust) 5 persen masih belum ada pengaruh signifikan pada emisi gas buang.

Lanjutnya, meski nilai rata-rata data temperatur buangan menggunakan teknologi co-firing terbilang lebih rendah sekitar 2,2 derajat celcius, namun mereka menemukan adanya peningkatan pada gas buangan yakni Nitrogen Oksida (NOx), meskipun tidak signifikan dibandingkan saat Coal firing dan masih memenuhi batas baku mutu Peraturan menteri No.P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019.

***

Midarwati harus menutup makanan di warungnya rapat-rapat dari abu yang beterbangan. Ia juga menutup penampungan air hujan dengan kain menghindari paparan partikel kecil berbahaya itu. “Sudah ditutup pakai kain pun tetap debunya masuk ke air yang ditampung,” keluhnya.

Midarwati mengaku sudah tidak tahan tinggal di lingkar PLTU dengan kualitas udara yang semakin buruk. Dia juga bersedia apabila sewaktu-waktu pihak PLTU membeli rumah dan tanahnya. “Belum dibeli, tapi lebih baik rumah ini saya jual daripada tinggal dalam abu kotor,” pungkasnya menutup harapan terbesarnya saat ini.

 *Liputan ini hasil kolaborasi dengan Forest Watch Indonesia melalui program Transisi Energi Watch.

Sumber tulisan ini berasal dari bithe.co

Thank you for your vote!
Post rating: 4.5 from 5 (according 3 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top