“Berangkat dari kekacauan kepemilikan lahan tidur bekas konsesi HTI, ekowisata kebun kurma Barbate kini masyhur di Nusantara. Menginspirasi perdagangan karbon.”
Mobil berkelir biru tua itu mulai tampak dari lekuk bukit menuju ke lokasi kebun kurma yang kami datangi. Dari balik kaca jendela mobil, lambaian tangan pemiliknya terlihat bersahabat sembari mengirim isyarat lewat suara klakson. Saat turun, dia langsung menyapa dan menyalami. “Apa kabar,” katanya kepada kami.
Lelaki 61 tahun itu adalah Mahdi Muhammad. Dia inisiator pengembangan kebun kurma di Barbate. Kebun ini mulai ditanami pohon kurma sejak awal 2015, luas lahannya berkisar 18 hektare. Perkebunan tanaman gurun pasir ini tumbuh di Lembah Barbate di Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Mahdi menjadi sosok pelopor perkebunan kurma di sana. Nama Barbate yang unik dan sohor itu ditabalkan dari nama kota yang ada di Spanyol, yaitu Kota Barbate. “Menanam kurma ini terinspirasi dari ayat Al Qur’an. Lebih dari 21 kali disebutkan dalam Al qur’an tentang kurma,” cerita Mahdi kepada kami.
Di Semenanjung Iberia, Spanyol, Barbate adalah wilayah tandus. Banyak tanaman yang ditanami petani di sana gagal tumbuh karena area ini tidak memungkinkan untuk bercocok tanam. “Tanahnya berunsur asam sehingga apapun ditanam tentu tidak bagus, malahan daerah sini curah hujannya sangat minim,” ungkap Mantan Kepala Bank Indonesia (BI) di Pekanbaru dan Banda Aceh ini, Sabtu 24 Agustus 2024.
Tapi, di Barbate Aceh Besar, Mahdi sukses. Ia sudah menanami sekitar 3000 pohon kurma di kebunnya yang di sela-sela pohon kurma disisip tanaman cabai dan tomat. Kini, kata Mahdi, tanah tandus yang tidak cocok ditanami pohon berbuah itu sudah menjadi tanah gembur yang subur. Kiat Mahdi selama ini adalah menaburkan pupuk alami ke dalam unsur tanah, terutama unsur asam sulfat. Ini sangatlah membantu menyuburkan tanah yang gersang. Mahdi mendatangkan bibit kurma yang ditanami di Barbate itu dari Inggris. Jenis kurma yang dipilihnya adalah betina. “Kalau yang jantan tidak berbuah, tetapi tetap diselingi yang jantan agar pohon kurmanya berbunga untuk menjadi buah kurma,” jelasnya.
Pada 2015, di kawasan Barbate hanya Mahdi sendiri yang menanam pohon kurma. Setelah itu barulah kawan-kawannya ikut bergabung untuk berdirikan satu komunitas pengelola kebun kurma. Komunitas ini mereka namakan; “Komunitas Petani Kebun Kurma Barbate”. Seiring berjalannya waktu, perlahan tapi pasti, kebun kurma hasil olahan “tangan dingin” Mahdi berkembang dan semakin banyak diminati pengunjung. Mahdi dan rekan-rekannya pun mendeklarasikan Barbate sebagai kawasan wisata kebun kurma.
Lokasi Konsesi Terlantar
Kebun kurma Barbate awalnya adalah kawasan konsesi terlantar milik PT Aceh Nusa Indrapuri (PT ANI) yang bergerak dalam usaha perkayuan tanaman industri. Mahdi membeli tanah itu dari penggarap sebelumnya. “Saya membeli tanah ini dari masyarakat setempat, dan harga satu meternya adalah Rp40 rupiah,” terang Mahdi.
Sebelum ada perkebunan kurma, Barbate adalah kawasan tanaman eukaliptus dan akasia yang tidak terurus, sebagian lainnya tanah gersang. Selama ini PT ANI menelantarkan kawasan konsesinya di Barbate, kemudian masyarakat menggarapnya. “PT ANI pernah meminta kepada saya untuk bermitra dalam hal perkebunan dan wisata, namun saya menolaknya,” kenang Mahdi. Mahdi tak sepakat bermitra karena pihak PT ANI datang setelah kebun kurma sudah jadi. “Mungkin akan berbeda jika sejak awal mereka datang untuk saling bekerja sama membangun kebun ini. Bisa jadi saya setuju,” ujar Mahdi.
Penjelasan serupa juga diungkapkan Ramadani, Pengelola Perkebunan Kurma Barbate milik Haji Syukri seluas 15 hektare. Kata dia, luas area keseluruhan yang digarap oleh Koperasi Kebun Kurma Barbate mencapai 600 hektare. “Itu keseluruhan perkebunan kurma yang dimiliki oleh koperasi,” ungkap Ramadani saat ditemui di perkebunan Barbate, Kamis 8 Agustus 2024. Ramadani mengungkapkan saat ini koperasi baru mampu menanam kurma di wilayah Barbate sekitar 150 hektare, belum sepenuhnya ditanami bibit kurma.
Dalam proses pembelian lahan hutan sebelum dijadikan perkebunan kurma, Ramadani sebut Haji Syukri membeli tanah hutan ini melalui aparatur desa langsung. Yusman, Imum Mukim Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, menjelaskan wilayah Barbate adalah tanah tandus. Dulunya masyarakat menjadikan wilayah tersebut tempat menggembala lembu dan kambing. Biasanya masyarakat sekitar menyebutnya “Padang Meurabe”.
“Sebagian wilayah Barbate yang masuk dalam kawasan HTI bukan wilayah kelola masyarakat Kecamatan Krueng Raya,” sebut Yusman, Kamis 8 Agustus 2024. “Persoalannya, secara administratif, imam mukim tidak pernah terlibat dalam hal tapal batas antara wilayah mukim dengan PT ANI.” Dia menerangkan ada beberapa desa yang langsung berdekatan dengan kawasan konsesi yaitu Desa Ruyung, Paya Kameng, Beurandeh, Meunasah Kulam, Meunasah Keude, Meunasah Mon, dan Lamreh. Hingga sekarang pun, tapal batas mukim dengan konsesi PT. ANI belum ada penjelasan. “Hingga kini tidak pernah ada lagi aktivitas dalam wilayah kami,” jelas Yusman. Dia mengingat komunikasi hanya pernah terjadi pada tahun 2004 lalu.
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menjelaskan PT Aceh Nusa Indrapuri (ANI) sebagai salah satu implementator Hutan Tanaman Energi (HTE) di Aceh telah bermasalah. Seharusnya, kata dia, hutan alam dalam konteks transisi energi ini dijaga. Akan tetapi kredibilitas perusahaan tidak mampu untuk melakukan pengawasan dan menjaga hutan secara manajemen dan tata kelola hutan dengan baik. “Perusahaan tidak mampu dalam menjalankan tugasnya,” ungkap Anggi, Kamis, 1 Agustus 2024.
Izin Operasi Sejak Era Orde Baru: Dari HTI ke HTE
PT. Aceh Nusa Indrapuri sendiri didirikan di Jakarta pada 2 April 1993, dengan Akte Nomor 3 Notaris Abdul Latief, SH, dengan komposisi saham 60 % milik PT. Takengon Pulp dan Paper utama dan 40% milik PT. INHUTANI IV. Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No. 762/kpts-II/92 tertanggal 5 Agustus 1992 yang bersifat sementara, Izin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) telah diberikan kepada PT. Takengon Pulp dan Paper Utama seluas 166.500 hektare.
Selanjutnya, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 1571/MENHUT-IV/1993 tertanggal 10 September 1993, IUPHHK-HTI tersebut dialihkan kepada PT. Indonusa Indrapuri, sekarang PT. Aceh Nusa Indrapuri, dengan luas areal 118.515 hektare. Dalam perkembangannya, areal pengusahaan tersebut mengalami pengurangan menjadi 111.000 hektare.
Pengurangan terjadi setelah diterbitkannya surat keputusan Menteri Kehutanan No. 95/kpts-II/97, tanggal 17 Februari 1997, tentang pemberian HPHTI (IUPHHK-HTI) atas areal hutan seluas ± 111.000 hektare di Aceh kepada PT. Aceh Nusa Indrapuri. Kemudian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Keputusan No.131/MenLHK- II/2015 tanggal 4 Mei 2015 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No.95/Kpts-II/1997 tanggal 17 Februari 1997, dimana luas areal IUPHHK-HTI PT. Aceh Nusa Indrapuri ± 111.000 Ha berubah menjadi ± 106.197 Ha di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.
Pada Keputusan No.SK.261/ Menlhk/Setjen/HPL.0/4/2019 tanggal 1 April 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehutanan No.95/Kpts-II/1997 tanggal 17 Februari 1997, dimana luas areal IUPHHK-HTI PT. Aceh Nusa Indrapuri ± 106.197 Ha berubah menjadi ± 97.905 Ha di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.
Adanya perubahan ketiga dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Keputusan No. 1483/MENLHK/SETJEN/HPL.0/12/2021 tanggal 31 Desember 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan No.95/Kpts-II/1997 tanggal 17 Februari 1997, telah dilakukan perubahan nomenklatur Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri menjadi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk Kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman.
Pada perubahan terakhir ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Keputusan No. SK.1344/MENLHK/SETJEN/PHL.1/12/2022 tanggal 30 Desember 2022 tentang Pemulihan Kegiatan Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) D/H Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT. Aceh Nusa Indrapuri di Provinsi Aceh.
Menurut data FWI, PT Aceh Nusa Indrapuri (ANI) diberikan konsesi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang kini direncanakan menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE) di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie dengan luas 97.806 hektare. Sejak keberadaan perusahaan, Deforestasi sejak 2015-2021 telah mencapai 35.235,74 hektare, dan cakupan wilayah bukan hutan 41.858, 58 hektare.
Respon Perusahaan
Supervisor Management Planning PT ANI, Muammar Syafwan, menjelaskan dari tahun 1992 sampai tahun 2000 perusahaannya fokus pada penanaman Hutan Tanaman Industri (HTI). Pada saat pemilik perusahaan berganti, arah kebijakan perusahaanpun berganti. “Saat ini kami sedang memproses mengubah rencana kerja, yang awalnya bisnis pada kayu, kini mulai mengarah ke perdagangan karbon, ini sudah tersusun rencana kerjanya, sedang dalam tahapan revisi oleh pihak manajemen PT. ANI,” jelas Syafwani ketika ditemui di kantor PT ANI Sabtu 24 Agustus 2024.
Bukan hanya perdagangan karbon, perusahaan juga merencanakan kerja kemitraan dalam ekowisata dengan masyarakat dan kemitraan dengan perusahaan lainnya. “Konflik dengan masyarakat begitu banyak. Di daerah Barbate, konflik itu sangat masif, jadi mau tidak mau kita harus berdampingan bersama masyarakat dengan bermitra dalam hal ekowisata dan kebun kurma pada daerah tersebut. Wilayah tersebut sangat jelas milik konsesi PT Aceh Nusa Indrapuri,” jelas Syafwan.
Permasalahannya, kata Syafwan, selama ini tidak ada komunikasi antara pihak kebun kurma dan ekowisata yang berada di Barbate dengan PT ANI. “Pihak perusahan pernah melayangkan surat teguran kepada pemilik kebun kurma di Barbate dan menawarkan kemitraan kerja sama. Itu sudah pernah dibahas pada tahun 2022 lalu. Malah mereka ingin agar kawasan tersebut dikeluarkan dari konsesi,” kata Syafwan.
Syafwan mengakui pengawasan yang dilakukan sangat kurang. Perusahaan, jelasnya, pernah berhenti bekerja saat konflik di Aceh. Pegawai perusahaan pun sudah sangat minim jumlahnya. Dia pun menyebut tidak saja dengan para pemilik kebun kurma, di Blang Bintang, ada beberapa instansi pemerintah yang tumpang tindih dengan lahan konsesi. Pihak perusahaan, katanya, terus berkoordinasi dengan Balai pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Hutan (DLHK) Aceh, untuk menyurati instansi-instansi yang berada di dalam kawasan konsesi PT ANI.
Dia pun menyinggung perihal pemanfaatan lahan dan indikasi penjualan lahan masif di Barbate, dari 40 hektar hingga ratusan hektar. Informasi yang dia temukan, oknum perangkat desa bermain dalam skema penjualan lahan di area konsesi. “Saya pernah diskusi dengan pemilik lahan dalam kawasan Barbate tersebut, selama ini pelaku pemilik lahan di sana tidak memiliki sertifikat izin guna lahan secara resmi. Mereka hanya mengandalkan bukti jual-beli saja melalui oknum perangkat desa dengan bentuk kwitansi saja,” katanya. Dia pun menyebut perlunya pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh kepada PT ANI. “Negara perlu melakukan evaluasi terhadap lahan konsesi. Negara juga berhak membatalkan izin kepada PT ANI,” tutur Nasir.
Sub Koordinator Bidang Usaha dan Perhutanan Sosial Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Faisal, mengungkapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengevaluasi terhadap izin-izin perhutanan, salah satunya PT ANI Dia menyebut PT ANI diberikan waktu enam bulan untuk merealisasikan kerja. “Tim DLHK selanjutnya akan meninjau mereka apakah telah merealisasikan kinerjanya,” kata Faisal.
Bagaimana soal adanya aktivitas di luar kegiatan utama? Faisal menyarankan PT ANI harus melaksanakan kewajiban perusahaan mengamankan wilayah mereka serta turut membangun kemitraan multi usaha dengan mitra mereka. | AKRAM, Kontributor Banda Aceh
*Liputan ini hasil kolaborasi dengan Forest Watch Indonesia melalui program Transisi Energi Watch.
Sumber tulisan ini berasal dari kba.one