Perusahaan Bantah Ekspor Pelet Kayu Ilegal, Pegiat Lingkungan: Perlu Audit dan Transparansi Data KLHK

  • Perusahaan pengolahan pelet kayu (wood pellet) di Gorontalo,  PT Biomassa Jaya Abadi (BJA), mengirimkan surat bantahan kalau mereka tak melakukan perdagangan pelet kayu ilegal padahal dalam berita, “Pelet Kayu Ilegal dari Gorontalo Ngalir ke Korea Selatan dan Jepang?” juga sudah ada penjelasan soal itu dari direktur perusahaan.
  • Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI mengatakan, klaim perusahaan soal data ekspor pelet kayu tidak ilegal itu merupakan hal wajar. Namun, katanya, poin penting dalam bisnis biomassa ini adalah perlu audit menyeluruh oleh regulator terkait. Dengan audit menyeluruh, informasi ekspor wood pellet yang kirim ke Jepang dan Korea Selatan,  bisa terbuka secara publik dan semua pihak bisa melakukan pengawasan. Termasuk, jenis-jenis kayu yang dikirim, tanpa terkecuali.
  • Laporan Mongabay melalui proses panjang didukung analisis data terbuka. Temuan-temuan ini pun kami sudah sampaikan secara tertulis ke perusahaan sebelum wawancara dilakukan. Mongabay juga mengupakan konfirmasi temuan itu ke pihak-pihak terkait sebagai upaya memenuhi prinsip jurnalisme dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber dengan mengupayakan verifikasi dan keberimbangan pada setiap narasumber dalam laporan, termasuk narasumber dari perusahaan.
  • Forest Watch Indonesia (FWI) sudah meminta pertemuan dengan KLHK untuk membicarakan soal perbedaan data ini, namun sampai sekarang tidak mendapat respon dari kementerian ini.  Padahal, KLHK seharusnya memberikan keterangan lebih jelas soal ekspor wood pellet ini.

Perusahaan pengolahan pelet kayu (wood pellet) di Gorontalo,  PT Biomassa Jaya Abadi (BJA), mengirimkan surat bantahan kalau mereka tak melakukan perdagangan pelet kayu ilegal padahal dalam berita, “Pelet Kayu Ilegal dari Gorontalo Ngalir ke Korea Selatan dan Jepang?” juga sudah ada penjelasan soal itu dari direktur perusahaan.

Zunaidi,  Manager Community Development BJA mengatakan, seluruh ekspor perusahaan telah mengikuti ketentuan perundang-undangan berlaku dan mengantongi dokumen perizinan yang diperlukan, seperti dokumen verifikasi legalitas kayu (VLK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dia menyebut, perusahaannya juga memiliki dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) yang disetujui Bea dan Cukai Gorontalo, dan surat persetujuan berlayar (SPB) dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) setempat.  BJA juga sudah memenuhi ketentuan di lembaga lain seperti Badan Karantina dan Kantor Imigrasi. BJA juga melampirkan bukti catatan ekspor pelet kayu mereka yang tercatat dalam sistem informasi legalitas kayu (SILK) per 20 Agustus 2024.

Sejak beroperasi pada 2022-14 Agustus 2024, katanya, BJA sudah mengekspor pelet kayu sebanyak 21 kali ke Jepang dan Korea Selatan dengan volume ekspor mencapai 230.000 ton. Seluruh ekspor ini, katanya, telah dilaporkan kepada seluruh instansi berwenang. Terbukti, pada 27 Agustus lalu, sebut Zunaidi, BJA menerima penghargaan dari Kantor Wilayah Bea dan Cukai Sulawesi Bagian Utara sebagai penghasil devisa ekspor terbesar di Gorontalo.

“Jadi,  sangat tidak berdasar di berita menyebutkan ada perbedaan data ekspor antara di KLHK, BPS dan PT BJA. Apakah data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan? Sudah update dari lembaga terkait (KLHK dan BPS?),” katanya melalui surat hak jawab  yang dikirim ke Mongabay, 17 September lalu.

Soal Kapal MV Lakas sempat ditahan oleh Bakamla karena laporan dugaan barang yang dimuat ilegal, katanya, berdasarkan pemeriksaan lanjutan Bakamla, kapal MV Lakas bisa menunjukkan seluruh dokumen perizinan pengiriman barang lengkap dan legal. Kapal pun, katanya, boleh melanjutkan pelayaran. BJA juga memberikan klarifikasi soal aktivitas transhipment dalam ekspor wood pellet sesuai ketentuan berlaku.

Zunaidi mengklaim, transhipment hanya sekitar satu mil dari garis pantai, bukan di tengah lautan. Adapun titik transhipment ditentukan bukan oleh perusahaan, melainkan pihak berwenang, dalam hal ini Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Bukan hanya itu, katanya, proses transhipment juga diawasi pihak berwenang sejak kapal datang, bongkar muat, dan kembali berlayar. Dia tegaskan, semua tahapan itu melalui prosedur dan perizinan yang ketat. Dalam pemberitaan Mongabay, katanya, tak ada konfirmasi dari pihak berwenang terkait transhipment ini. Dia pun menuding, Mongabay melanggar kaidah jurnalistik dan merugikan BJA dengan berita yang terbit.

Hutan gorontalo
Hutan alam sudah terbabat. Foto: FWI

Dalam artikel “Pelet Kayu Ilegal dari Gorontalo Ngalir ke Korea Selatan dan Jepang?” yang terbit 15 September lalu Mongabay melakukan analisis data terbuka dengan membandingkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data KLHK untuk melihat lebih jauh ekspor pelet kayu dari Gorontalo. Hasilnya, BJA, satu-satunya pabrik pengelola pelet kayu di Gorontalo diduga mengekspor wood pellet  ilegal atau tanpa tercatat (unreported) dalam sistem KLHK.

Data SILK  KLHK yang FWI peroleh periode  Oktober 2023-14 Agustus 2024, kami analisis.  Hasilnya,   BJA tercatat mengekspor wood pellet tujuh kali ke Jepang dan Korea Selatan total 82.273 metrik ton dengan nilai ekspor mencapai US$11,1 juta. Sementara, data dari BJA langsung menyebut, mereka sudah ekspor wood pellet sebanyak 21 kali dari November 2022-Agustus 2024 total 230.398 metrik ton dengan nilai ekspor US$31.78 juta.

Data BPS Gorontalo menyebut, ekspor pelet kayu dari Gorontalo sudah 27 kali sejak 2021-Juni 2024 dengan delapan negara tujuan, yakni, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Estonia, Irak, Qatar, dan Suriah. Dengan total ekspor 230.672,39 metrik ton senilai US$32.14 juta. Dengan demikian, terdapat perbedaan data antara data KLHK, BJA, dan BPS dengan selisih ekspor pelet kayu cukup besar. Kalau mengacu data BJA, ada 14 ekspor pelet kayu yang tidak tercatat dalam sistem KLHK.

Data yang tercatat di SILK Oktober 2023- 14 Agustus 2024

Dugaan praktik unreported juga tergambar dalam SILK yang menyebut, kayu wood pellet tercatat hanya dari kayu jambu-jambu (Eugenia sp.) dan nyatoh (Madhuca sp.). Padahal, dalam penelitian Terry Repi bersama Burung Indonesia menyebut, wilayah itu adalah kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Artinya, tidak hanya dua jenis pohon di wilayah itu.

Selain itu, dari analisis spasial Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan,  pada 7-9 Juni 2024, kapal tongkang BJA tercatat melakukan transhipment dengan kapal asing dari Panama dengan jarak 2 mil dari daratan Pohuwato. Transhipment itu berada di luar areal persetujuan izin kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) milik BJA. Analisis spasial FWI ini menunjukkan, kapal yang melakukan transhipment itu membuang jangkar di zona inti–bukan zona pemanfaatan– yang merupakan calon kawasan konservasi perairan daerah Pohuwato. Ironisnya, wilayah itu juga lokasi penangkapan dan perlindungan gurita Masyarakat Suku Bajo Torosiaje. Temuan-temuan yang ditulis Mongabay ini juga sudah konfirmasi langsung kepada Burhanuddin, Direktur Operasional BTL, IGL, dan BJA pada akhir Agustus lalu.

Burhanuddin pun sudah membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepada perusahaan dengan memberikan klarifikasi kurang lebih sama dengan surat yang dikirim ke Mongabay pada 17 September 2024. Dia bilang, perusahaan sudah ekspor sebanyak 21 kali dan sudah lapor ke KLHK, tanpa kecuali. Katanya, mereka tidak pernah mengabaikan aturan, terlebih lagi produksi wood pellet cukup besar dan setiap pengiriman pakai besar.

Soal hanya dua jenis kayu yang tercatat dalam SILK, kata Burhanuddin, perusahaan hanya mencatat jenis pohon mayoritas dan memiliki nama latin dalam sistem KLHK. Mengenai transhipment di luar areal PKKPRL BJA, katanya, itu tanggung jawab agen, bukan perusahaannya. Dia juga bilang, aktivitas transhipment itu juga berdasarkan arahan dari Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Tilamuta.

Data Ekspor Wood Pellet dari PT. Biomasa Jaya Abadi (BJA)

Pada 20 Agustus 2024, Mongabay mendatangi Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Tilamuta untuk mengkonfirmasi aktivitas transhipment kapal BJA yang dilakukan di luar area PKKPRL. Hanya saja, Stanley Kenedy,  Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Tilamuta ternyata meninggal dunia, sehari sebelum Mongabay datang ke kantornya.

Pada 6 September 2024, Mongabay menghubungi Drasospolino, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK untuk mengonfirmasi perbedaan data ekspor pelet kayu BJA. Sampai berita terbit, Drasospolino tak menjawab.

Laporan Mongabay melalui proses panjang didukung analisis data terbuka. Temuan-temuan ini pun kami sudah sampaikan secara tertulis ke perusahaan sebelum wawancara dilakukan. Mongabay juga melakukan konfirmasi temuan itu ke pihak-pihak terkait sebagai upaya memenuhi prinsip jurnalisme dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber dengan mengupayakan verifikasi dan keberimbangan pada setiap narasumber dalam laporan, termasuk narasumber dari perusahaan.

Perlu audit dan KLHK transparan data

Dedi Sarwoko, Ahli Muda pada Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK membenarkan ekspor wood pellet BJA 21 kali periode November 2022-14 Agustus 2024 yang dikirim ke Jepang dan Korea Selatan. Dia bilang, itu sudah sesuai data SILK per 19 September 2024. “Kami sudah mengkonfirmasi bahwa data BJA sudah benar dan sesuai yang tercatat di SILK,” kata Dedi usai mengikuti focus group discussions (FDG) yang diselenggarakan Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI) di Hotel Aston Gorontalo 19 September 2024. Mengenai dua jenis pohon yang tercatat, dua anggap hal itu wajar karena hanya dua jenis yang umum atau dominan yang dicatat dalam SILK. Meski begitu, katanya, ada informasi di KLHK yang dirahasiakan atau dikecualikan tanpa dia menjelaskan lebih jauh.

Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI mengatakan, klaim perusahaan soal data ekspor pelet kayu tidak ilegal itu merupakan hal wajar. Namun, katanya, poin penting dalam bisnis biomassa ini adalah perlu audit menyeluruh oleh regulator terkait. Dengan audit menyeluruh, informasi ekspor wood pellet yang kirim ke Jepang dan Korea Selatan,  bisa terbuka secara publik dan semua pihak bisa melakukan pengawasan. Termasuk, katanya, jenis-jenis kayu yang dikirim, tanpa terkecuali.

Anggi mengatakan, pohon yang ditebang lalu proses menjadi wood pellet harus sama, tidak ada yang berbeda. Misal, soal kayu untuk pelet tercatat hanya dari kayu jambu-jambu (Eugenia sp.) dan nyatoh (Madhuca sp.). Yang jadi persoalan, katanya, bukan hanya mengenai nilai ekspor, juga jenis pohon ditebang sebagai bahan baku wood pellet ekspor.

Anggi bilang, audit itu bukan hanya soal ekspor termasuk perizinan dan aktivitas transhipment kapal BJA yang diduga dilakukan di luar areal PKKPRL pada 7-9 Juli 2024. Apalagi, katanya, aktivitas transhipment di calon konservasi perairan yang sementara Kementerian  Kelautan dan Perikanan usulkan. “Kami dari koalisi meminta harus ada audit. Ini temuan dan perlu ditindaklanjuti,” kata Anggi kepada Mongabay,  19 September 2024.

Anggi mendesak, KLHK memberikan keterangan lebih lengkap soal temuan dugaan ekspor wood pellet dari Gorontalo ini. KLHK perlu lakukan itu, katanya, karena kementerian ini selalu tertutup dalam informasi-informasi ekspor kayu dan bahan bakunya. FWI, katanya, sudah meminta pertemuan dengan KLHK untuk membicarakan soal perbedaan data ini, namun sampai sekarang tidak mendapat respon dari kementerian ini.  Padahal, katanya, KLHK seharusnya memberikan keterangan lebih jelas soal ekspor wood pellet ini.

Danial Dian Prawardani, Manajer Program dan Pengkampanye Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menceritakan betapa sulit mencari informasi di KLHK terkait kayu dan bahan bakunya yang ekspor ke luar negeri.

Berikut data dari SILK per 20 Agustus 2024

Dia bilang, keterbukaan informasi publik di KLHK hanya bersifat parsial. JPIK adalah bagian integral dari KLHK yang mendapatkan akses informasi di Sistem Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) yang menjadi data dasar untuk pengecekan rantai pasok dari awal di seluruh perusahaan industri.

Namun, kata Danial, sejak tiga bulan lalu, akses JPIK di sistem RPBBI tiba-tiba ditutup Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) dengan alasan tidak masuk akal. Alibi mereka, data itu adalah “rahasia”. Dia bilang, PHL KLHK mengklaim data-data dari RPBBI bisa menimbulkan persaingan tidak sehat sesama perusahaan industri jika terpublikasi.

Padahal, kata Danial, data dari RPBBI ini bisa melacak keberadaan bahan baku dari industri dari hulu sampai hilir yang sangat penting untuk dilakukan. Tak itu saja, katanya, data Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) juga ditutup. Padahal,  data dari SIPUHH adalah data yang krusial yang penting untuk pemantau independen kehutanan.

Soal data SILK, katanya, sangat parsial dan untuk mendapatkannya perlu pencatatan manual satu per satu. Pemantau independen kehutanan jadi kerja ekstra untuk mendapatkan data dari KLHK soal ekspor kayu atau bahan bakunya. Menurut dia, kalau temuan FWI soal ekspor wood pellet hanya tujuh kali, sementara data KLHK tercatat ada 21 kali, itu karena sistem pencatatan di SILK sangat cepat hilang dan berubah. Sedangkan, meminta data rekapitulasi ke KLHK, katanya, pun tidak diberikan.

“Kami meminta data ekspor wood pellet ke KLHK sejak awal tahun ini, tetapi tetap tidak diberikan oleh KLHK,” kata Danial kepada Mongabay 19 September 2024. Dia juga bilang, saat audiensi dengan KLHK, JPIK diminta konsolidasi lagi dengan Dirjen PHL yang baru, karena soal keputusan penutupan akses informasi oleh dirjen lama.

KLHK mengatakan, permohonan data informasi masih bisa via surat-menyurat ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Namun, saat JPIK melakukan langkah-langkah itu, data-data tetap tidak diberikan. “Masalah ini berada di KLHK yang tidak terbuka secara publik dalam memberikan informasi. Informasi [diberikan] itu hanya parsial saja.”

Sumber tulisan berasal dari Mongabay.co.id

Thank you for your vote!
Post rating: 4.6 from 5 (according 3 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top