Perempuan Sagea Tercekik Tambang Nikel

Nafisa Taib meratapi nasib desanya. Sungai Bokimaruru yang dulu jernih sekarang keruh, diduga tercemar limbah tambang. Pencemaran Sungai Bokimaruru di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, itu mempengaruhi kehidupan di desanya. Bagi Nafisa, dan perempuan di sana, beban hidup bahkan jadi terasa makin berat.

Sungai Bokimaruru sangat lekat dengan kehidupan perempuan Sagea. Sungai ini tempat mereka mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari. Tak hanya untuk mandi, tapi juga mencuci dan memasak. Di Sungai Bokimaruru ikannya banyak. Warga memancingnya untuk jadi lauk makan sehari-hari. Kegiatan ini bukan hanya pekerjaan laki-laki, namun juga perempuan. Biasanya para perempuan Sagea memancing ikan menggunakan perahu.

Pagi itu, Sabtu (24/2), suasana Sungai Bokimaruru sangat sunyi. Aktivitas warga sepanjang aliran sungai tak terlihat. Warna airnya keruh. Dilihat dengan mata telanjang saja bisa disimpulkan airnya tak layak dikonsumsi. Gara-gara itu, Nafisa sudah tujuh bulan tak pergi ke Sungai Bokimaruru untuk mengambil air. “Saya sudah takut,” kata dia kepada kalesang.id. Padahal, selama 67 tahun tinggal di Desa Sagea, ia dan keluarganya menggantungkan hidup pada air Bokimaruru. “Bagi kami, air Bokimaruru itu seperti air mineral, Saat mengambilnya dari sungai, tak perlu dimasak langsung konsumsi,” tuturnya.

Lalu, pada 2018, pemerintah menjadikan Desa Sagea sebagai salah satu desa lingkar tambang. Jaraknya kurang lebih sembilan kilometer dari wilayah perusahaan tambang  PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Jika hendak ke Desa Sagea dari Kota Weda, Ibu kota Kabupaten Halmahera Tengah,  kita harus  melewati kawasan industri tersebut, dengan kondisi jalanan yang berdebu jika cuaca panas dan becek saat musim hujan.

Berdasarkan data One Map minerba milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, sebagian Desa Sagea termasuk dalam wilayah konsesi sejumlah perusahaan pertambangan, seperti PT. Halmahera Sukses Mineral dan PT. Weda Bay Nickel (WBN). Masuknya perusahaan tambang menjadi mimpi buruk bagi warga Sagea. Sebab,  aktivitas tambang merusak hutan dan sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka.

“Setelah perusahaan itu ada, rasanya tertekan. Bagi saya, lebih baik sektor pariwisata yang masuk dan dikelola, karena aman, lingkungan pun terjaga. Tanah dan sungai itu hidup kami,” ujar Nafisa. Ia tak ingin keindahan dan kelestarian Bokimaruruh dan desanya rusak karena kehadiran tambang. Baginya, sebelum perusahaan tambang hadir, ia sudah hidup sejahtera dari hasil berkebun. “Sebelum ada perusahaan, kami juga bisa kuliahkan anak- anak dari hasil kebun,” tambahnya.

Sungai Bokimaruru, kata Nafisa, mulai tercemar akibat aktivitas pertambangan pada 14 Agustus 2023, Waktu itu, ibu tujuh anak itu langsung teringat pesan leluhur untuk menjaga kelestarian alam di Desa Sagea. Sungai Bokimaruru memang terhubung erat dengan masyarakat asli Desa Sagea. Sungai ini lebih dari sekadar sumber kehidupan bagi mereka, tapi dipercaya sebagai tempat tinggal leluhur mereka.

“Moyang kami menganggap Sungai Bokimaruru itu air yang bersih dan suci. Dahulu, para orang tua selalu ingatkan untuk pelihara hutan dan sungai,” ucapnya. Pesan leluhur itu terbukti. Semenjak Bokimaruru tercemar, beban hidup satu persatu menumpuk. Nafisa mengatakan, beban ekonomi warga bertambah karena kini mereka harus membeli air kemasan. “Kami sudah takut untuk pakai air sungai setelah ada perubahan warna kemarin. Rasanya lain tidak sama dengan dulu. Sebelumnya, setiap hari pasti ambil air di sungai, sekarang pakai air kemasan dan sumur,” katanya. “Sekali beli itu 5 galon (air kemasan) biasanya habis paling lama 10 hari,” ungkapnya.

perempuan sagea tercekik tambang nikel
potret Pejuang perempuan desa sagea

Warga bahkan merasa tak aman jika mengkonsumsi air hujan. Warga takut air hujan teracuni oleh PLTU PT. IWIP yang menggunakan batu bara. “Jangankan air sungai, air hujan juga saya sudah takut. Cerobong asap perusahaan sudah banyak.  Dulu, selain air sungai, air hujan saya pakai minum, mencuci, memasak, dan lain-lain,” ujar Nafisa. “Sekarang anak-anak juga sudah dilarang untuk mandi di aliran sungai dan di bawah hujan,” katanya.

Bersama Nafisa, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Halmahera Tengah, ada 1.593 penduduk Desa Sagea yang menjadikan Sungai Bokimaruru sebagai sumber air bersih bagi. Sejak air sungai menjadi keruh karena tercemar limbah tambang, warga terpaksa membeli air isi ulang seharga Rp10.000/per galon. Karena kondisi itu Nafisa tak tinggal diam. Ia bersama warga melakukan aksi demonstrasi di PT.IWIP pada 28 Oktober 2023 untuk meminta pertanggungjawaban atas tercemarnya Sungai Bokimaruru. Namun, aksi demontrasi itu tak dihiraukan PT.IWIP dan berakhir dengan tembakan gas air mata.

“Perusahaan tidak peduli dengan aksi kami. Pemkab juga kalau bisa tegas ke perusahaan,” ungkapnya dengan resah. Keresahan yang sama juga dirasakan oleh Rifya Rusdi. Perempuan 23 tahun itu merasa aspirasi warga tidak didengarkan. Aksi yang berakhir ricuh itu membuat warga merasa terancam. “Kami tidak lagi menolak, karena perusahan sudah beroperasi. Namun, aktivitas yang diduga mencemari Sungai Bokimaruru harus dievaluasi,” tuturnya.

Rifya menuturkan, hasil uji baku mutu air Bokimaruru hingga saat ini belum jelas. Ia menuding penyebabnya adalah Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemkab Halmahera Tengah yang tak serius menangani kasusnya. “Tidak ada kepastian hasil uji air sungai. Pemerintah tidak boleh diam,” ujarnya, Minggu, (25/2).

Menurut Rifya, polemik pencemaran Sungai Bokimaruru terus terjadi antara pemerintah ProvinsI Maluku Utara dan warga. Pengujian kualitas air Bokimaruru tak kunjung membuahkan hasil yang jelas. Sebelumnya, hasil laboratorium  PT. Analika Kalibrasi Laboratorium (ANKAL) Bogor, Jawa Barat pada 11 September 2023 menyebutkan kualitas air Sungai Bokimaruru masih sesuai baku mutu. Namun, hasil laboratorium itu dibantah oleh Koalisi Peduli Sagea pada 2 Oktober 2023.

Koalisi Peduli Sagea adalah koalisi sejumlah lembaga yang ingin menyelamatkan Sagea dari kerusakan tambang. Anggotanya di antaranya Gerakan Save Sagea, Forest Watch Indonesia (FWI), Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Tren Asia, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Masyarakat Speologi Indonesia (MSI).

Koalisi memaparkan ada kejanggalan dari hasil pengujian ANKAL itu. Kejanggalan tersebut adalah lampiran dokumentasi sampling dalam presentasi merupakan dokumentasi yang sama dengan pemaparan PT WBN saat rapat pembentukan tim terpadu pada 30 Agustus 2023 lalu. Kejanggalan lainnya adalah pernyataan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) bahwa kualitas air Bokimaruru layak sesuai baku mutu kriteria sungai kelas II, padahal Sungai Bokimaruru harusnya diklasifikasikan sungai kelas I.

Namun, menurut Kepala Desa Sagea, Arif Thaib, tercemarnya Sungai Bokimaruru bukan karena adanya aktivitas tambang. Dia mengatakan, kualitas Sungai Bokimaruru masih terbilang aman. “Hasil uji air yang dilakukan DLH Provinsi itu tidak ada limbah perusahaan, kalau airnya terus menerus keruh baru saya akui,” katanya. Ia menduga, kasus pencemaran Sungai Bokimaruru ini justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang ingin memperdaya perusahaan. “Ada orang-orang tertentu yang mau ambil manfaat di perusahaan, sebenarnya kondisinya aman-aman saja. Ulah mereka banyak merugikan banyak orang,” tuturnya.

Menurut dia, pencemaran sungai itu tidak mungkin merupakan ulah perusahaan. Sebab, pada pembahasan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pihak perusahaan mengaku akan memfungsikan air Sungai Bokimaruru sebagai konsumsi para karyawan. “Waktu pembahasan AMDAL kemarin, mereka (perusahaan) sampaikan akan gunakan air sungai untuk karyawan. Secara logika kalau perusahaan akan pakai, berarti saat pencemaran itu mereka akan mati semua,” jelasnya.

Arif juga membandingkan dengan peristiwa pada 80-an. Pada tahun itu, jauh sebelum masuknya perusahaan tambang, air sungai bokimaruru pernah tercemar dan mengakibatkan matinya ikan. “Sebelum perusahaan masuk di tahun 80-an, air sungai pernah tercemar dan ikan sekitar 5 jingkal itu mati, tapi kemarin itu kan ikan pun tidak ada yang mati,” ujarnya.

Tapi, Dinamisator Save Sagea, Adlun Fiqri menegaskan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Kami masih tunggu hasil, tapi hilang kontak dengan KLHK, dan sejujurnya tidak berharap lagi ke Pemerintah Provinsi. Sudah hilang kepercayaan, karena selama ini mereka tidak memberikan perhatian,” kata Adlun.

Bagi Rifya, soal baku mutu air Bokimaruru sangat penting karena kehidupan perempuan Desa Sagea terlihat mengalami perubahan setelah sungai itu tercemar. Pemenuhan kebutuhan rumah tangga tak lagi mudah. “Kerusakan sumber air karena tambang secara otomasi berdampak langsung pada beban yang ditanggung perempuan dalam ranah domestik,” ujarnya.

Karena itu, kata dia, perlawanan melawan kebijakan perusahaan akan terus ia lakukan. Gara-gara sikapnya yang keras itu, ia mengaku pernah ditawari bekerja di perusahaan untuk meredam perlawanannya menentang tambang. Posisinya pun dijamin oleh pihak perusahaan. “Tapi saya masih tetap pada prinsip. Tidak mau menerima,” ujarnya. Baginya, Sungai Bokimaruru adalah warisan moyang yang harus dijaga. “Dipedulikan atau tidak, perlawanan ini tidak akan berhenti,” tegasnya. Perlawanannya kini bahkan kian menyala-nyala karena karst Bokimaruru pun terancam. “Padahal, itu (karst) adalah harapan terakhir kami,” ungkap Rifya.

Sungai Bokimaruru sepanjang 7.476 meter memang dihiasi gua dan karst. Warga pun menjadikannya destinasi wisata di Maluku Utara. Untuk menelurusuri keindahan gua, pengunjung bisa menyewa perahu dan pemandu Rp200.000 dan wahana paddle boat seharga Rp50.000. Dengan adanya wisata sungai Bokimaruru, para perempuan Sagea bisa punya sumber penghasilan dari berjualan pisang goreng, mie rebus, kelapa muda, dan menu kuliner lainnya.

Menurut Adlun, sembari menunggu hasil uji kualitas air Sungai Bokimaruru, Save Sagea bersama sejumlah lembaga sedang mengadvokasi kawasan karst itu, sebagai kawasan perlindungan. “Advokasi bersamaan dengan air sungai, untuk mempertahankan kawasan karst. Harapannya, pemerintah bisa mendorong percepatan perlindungan kawasan. Jika terlambat, tambang juga akan semakin bringas;” harapnya.

Belum ada tanggapan dari perusahaan tambang soal pencemaran Sungai Bokimaruru. PT. IWIP melalui humasnya, meminta waktu untuk menjawab konfirmasi. Namun, mengutip Detik.com (10 November 2023), General Manager External Relations and HR PT IWIP Yudhi Santoso membantah pencemaran Sungai Bokimaruru karena aktivitas tambang nikelnya.

“Kekeruhan air Sungai Sagea disebabkan oleh fenomena alam seperti cuaca dan karakteristik batuan karst di wilayah tersebut dan bukan disebabkan oleh aktivitas PT WBN maupun PT IWIP,” katanya seperti dikutip Detik.com. Ia menegaskan, PT WBN tidak melakukan kegiatan penambangan di kawasan hulu sungai. Pihaknya juga sudah melakukan uji laboratorium dengan menggandeng PT ANKAL yang hasilnya menyatakan bahwa kualitas air di Sungai Sagea tidak melewati ambang batas baku mutu lingkungan yang ditetapkan.

“Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa parameter Oksigen Terlarut adalah satu-satunya yang melebihi ambang batas. Ini menunjukkan air sungai Sagea yang tercemar dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti temperatur air dan udara, tekanan barometrik udara, jumlah tumbuhan air, kadar mineral, dan Biological Oxygen Demand,” ujarnya.

Catatan: Liputan ini adalah bagian dari fellowship program For The People

Sumber tulisan ini berasal dari kalesang.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top