proses audit yang transparan dan akuntabel oleh Lembaga Penilai dan Verifikasi Independan (LPVI) menjadi salah satu keunggulan Sistem Verifikasi Legalitas dan Keberlanjutan (SVLK) sehingga dapat mendukung tata kelola hutan yang lebih baik.
Karina Restu Panggalih, Auditor Pengelolaan Hutan Lestari PT Mutuagung Lestari, salah satu LPK, mengatakan berdasarkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, suatu lembaga dapat menjadi LPK setelah mendapat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN).
“Akreditasi didasarkan pada standar internasional ISO17065 tahun 2012 tentang kriteria lembaga keuangan pelaksana sistem sertifikasi produk, proses dan jasa,” kata Karina saat diskusi antara LPVI Forum dan delegasi pakar kehutanan dari Laos di Jakarta, Selasa 24 Oktober 2023.
Delegasi Laos berkunjung ke Indonesia untuk mempelajari implementasi SVLK yang difasilitasi oleh German Agency for International Cooperation (GIZ), German Development Bank (KfW), dan European Forest Institute (EFI). Anggota delegasi tersebut antara lain pemerintah pusat, pemerintah provinsi, akademisi, pelaku usaha, dan organisasi masyarakat sipil (LSM).
Sebelum bertemu LPVI Forum, Delegasi Laos mengunjungi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan melakukan pertemuan dengan asosiasi pengusaha kehutanan. Mereka juga mengadakan pertemuan dengan LSM Indonesia yang merupakan pemantau independen SVLK dan akan melakukan kunjungan lapangan ke Jawa Timur.
Karina menjelaskan, audit SVLK mengacu pada peraturan yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor P.08 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9895 Tahun 2022 tentang Standar dan Pedoman SVLK.
“SVLK dilaksanakan melalui dua kegiatan, yaitu penilaian pengelolaan hutan lestari dan verifikasi legalitas hasil hutan,” kata Karina.
Riasman Damanik, Senior Lead Auditor PT Sucofindo, yang juga merupakan LPVI, menjelaskan proses verifikasi akan dilakukan terhadap produk kayu yang ditujukan untuk pasar ekspor.
“LPVI yang bertugas sebagai otoritas perizinan akan menerbitkan Lisensi FLEGT untuk pasar Uni Eropa dan Dokumen V-Legal untuk pasar non-UE,” kata Riasman.
Ia juga menyatakan, kewajiban mematuhi SVLK juga berlaku pada produk kayu impor sehingga dapat mencegah peluang terjadinya greenwashing.
Sementara itu, dalam pertemuan dengan sejumlah LSM di Bogor, delegasi Laos juga mendapat penjelasan mengenai peran LSM dalam memantau implementasi SVLK.
Bob Purba, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menekankan pentingnya peran LSM sebagai pemantau independen SVLK. “LSM menjalankan fungsi pengawasan untuk menjaga integritas SVLK,” ujarnya.
Untuk dapat berperan sebagai pemantau independen SVLK, sebuah LSM harus terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut Bob, LSM yang melakukan pemantauan SVLK membentuk Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) pada tahun 2010. Awalnya berjumlah 29 LSM yang terlibat, kini JPIK terdiri dari 66 LSM dan 548 individu yang tersebar di 25 provinsi.
Bob menjelaskan, LSM pemantau independen akan melaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku regulator jika menemukan adanya dugaan kasus ketidakpatuhan oleh pemegang sertifikat SVLK. Laporan yang disampaikan akan ditindaklanjuti dengan pencabutan sertifikat apabila hasil pemeriksaan menunjukkan telah terjadi pelanggaran. Sebagai konsekuensinya, mantan pemegang sertifikat dilarang melakukan perdagangan dalam rantai pasokan legal yang terverifikasi.
Menurut Bob, selain melalui jalur SVLK, dugaan ketidakpatuhan dilaporkan ke aparat penegak hukum sehingga pelaku pelanggaran akan mendapat sanksi yang lebih tegas, termasuk denda dan sanksi pidana.
Sementara itu, Khamfeua Sirivongs, Wakil Direktur Jenderal Departemen Inspeksi Kehutanan Laos, menjelaskan bahwa Laos juga memiliki sistem jaminan legalitas kayu (TLAS) sebagai bukti komitmennya dalam menjamin legalitas kayu yang diperdagangkan dan diekspor dalam negeri sekaligus mendukung pengelolaan hutan lestari.
“Laos TLAS sudah menjadi bagian dari UU Kehutanan yang mewajibkan semua kayu diproduksi dan diperdagangkan secara legal,” ujarnya.
Sirivongs menyatakan Laos belajar banyak dari pengembangan dan penerapan SVLK di Indonesia. Laos juga mempelajari bagaimana Indonesia berhasil mencapai perjanjian kemitraan sukarela untuk penegakan hukum kehutanan, tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan (VPA-FLEGT) dengan Uni Eropa dan menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan lisensi FLEGT yang memenuhi EU Timber Persyaratan regulasi. ***
Sumber tulisan ini berasal dari AGROINDONESIA