Praktik ekspor wood pellet ilegal dari Gorontalo menjadi isu krusial karena tengah disoroti organisasi Forest Watch Indonesia (FWI). Praktik ini turut mendorong terjadinya deforestasi secara masif. Dilakukan dengan cara mengeksploitasi hutan, yang juga memiliki keterkaitan dengan rantai pasok pasar internasional, khususnya Korea Selatan dan Jepang. Negara-negara tersebut diketahui sebagai pengguna utama wood pellet untuk menggantikan batu bara sebagai sumber energi.
Dalam konteks legalitas kayu dan celah hukum, perusahaan kerap kali memanfaatkan transformasi perizinan yang lebih mudah. Dari yang sebelumnya satu jenis usaha menjadi ragam jenis usaha (multi-usaha kehutanan). Saat ini, banyak perusahaan yang beralih memproduksi energi biomassa, termasuk wood pellet. Dua perusahaan di Gorontalo awalnya merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2020, perusahaan mengajukan perubahan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi perusahaan pemanfaatan hutan. Perubahan ini memungkinkan mereka untuk mengelola lahan yang lebih luas dengan pengawasan yang minim, mengakibatkan deforestasi yang lebih cepat seperti di Gorontalo.
Hasil investigasi tim FWI, perusahaan industri wood pellet memanen kayu alam untuk dijadikan bahan baku wood pellet, bukan dari kayu hasil rehabilitasi atau tanam. Perusahaan melakukannya dengan cara tebang habis (land clearing). Laporan resmi dari lembaga sertifikasi PT Equality Indonesia mengungkap bahwa perusahaan industri hanya menebang 2 jenis pohon, yakni Jambu-Jambu dan Nyatoh. Pada ekspor ke 22, jenis kayu yang ditebang langsung berubah menjadi 6 jenis kayu tertanggal 26 Agustus 2024 atau 10 hari setelah penangkapan Bakamla RI terhadap kapal asing MV Lakas yang memuat wood pellet di perairan Gorontalo.
Permasalahan ini semakin rumit dengan adanya praktik transshipment ilegal di perairan Gorontalo. Kapal asing yang terlibat dalam pengangkutan wood pellet ini sering kali tidak memiliki sertifikat yang sah, namun masih bisa beroperasi dengan celah hukum yang ada.
Muhammad Ichwan sebagai Direktur Eksekutif Nasional JPIK mengatakan bahwa konteks pelanggaran hukum dan manipulasi terkait legalitas kayu, terutama pasca reformasi, praktik pembalakan liar dan ekspor kayu ilegal dari Indonesia menjadi salah satu isu besar yang merusak tata kelola hutan. Praktek ini melibatkan ekspor kayu log dan kayu olahan yang keluar menuju negara-negara seperti Cina, Vietnam, dan lainnya. Dan kini Jepang- Korea Selatan.
Meskipun pemerintah telah mencoba menegakkan regulasi dengan berbagai sistem, seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), celah-celah hukum masih dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan untuk meraup keuntungan dari eksploitasi hutan. Transformasi perizinan kerap kali menjadi modus bagi perusahaan untuk mengeksploitasi hutan. TIdak sedikit perusahaan kabur setelah menghabisi hutan alam di dalam konsesinya.
Titik Krisis: Manipulasi Dokumen Legalitas Kayu
Perluasan pemantauan oleh berbagai lembaga masyarakat sipil dan organisasi seperti Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan memanfaatkan kelemahan regulasi untuk melakukan manipulasi dalam memanfaatkan hasil hutan, terutama kayu. Salah satu isu utamanya adalah ketidakpatuhan perusahaan terhadap izin pemanfaatan hutan yang diberikan, di mana volume penebangan yang dilakukan seringkali melebihi kuota yang diizinkan, atau bahkan dilakukan di luar kawasan izin.
SVLK sendiri sebenarnya bertujuan untuk mencegah praktik-praktik ilegal dalam perdagangan kayu, dengan menekankan pada tiga aspek utama: kelestarian, legalitas, dan ketelusuran kayu. JPIK menemukan banyak kasus di mana legalitas kayu dipalsukan atau dimanipulasi, termasuk penggunaan dokumen palsu dalam rantai distribusi kayu.
Salah satu modus operandi yang sering terjadi adalah penggunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK) untuk kayu olahan yang sebenarnya berasal dari kawasan hutan yang tidak legal. Hal ini sering terjadi di kawasan pelabuhan besar seperti Surabaya, di mana ratusan kontainer kayu ilegal dari Papua dan Kalimantan bisa masuk dengan dokumen yang telah “dicuci”. Bahkan, manipulasi dalam laporan hasil produksi juga ditemukan di mana volume kayu yang dilaporkan seringkali jauh di bawah angka sebenarnya.
Lebih jauh lagi, ada modus pemalsuan dokumen SVLK yang menciptakan ilusi bahwa kayu tersebut legal, padahal sesungguhnya berasal dari penebangan liar. Skema ini melibatkan lebih dari satu perusahaan, di mana dokumen kayu ilegal ini dicuci melalui beberapa perusahaan untuk menyamarkan asal-usulnya sebelum akhirnya diekspor.
Muhammad Ichwan bahkan menemukan adanya praktek pencucian dokumen seperti SKSHHK yang terjadi di lebih dari lima perusahaan. Barang-barang tersebut adalah barang ilegal yang setelah sampai di Surabaya, pelabuhan terbesar kedua setelah Jakarta untuk ekspor kayu, dokumennya dicuci oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Walaupun fisiknya tidak berpindah-pindah, dokumen barangnya seolah-olah berputar di lima perusahaan berbeda sebelum akhirnya masuk ke perusahaan utama. Ini salah satu modus yang kerap ditemukan.
Ada juga praktik pemalsuan dokumen SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Seharusnya semua pemasok yang terlibat harus memiliki sertifikasi SVLK yang menjamin bahwa bahan bakunya legal. Namun, ditemukan bahwa ada perusahaan-perusahaan di Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Jawa Barat yang menerima bahan baku dari pemasok yang tidak memiliki sertifikat SVLK.
V-Legal, yang wajib digunakan untuk produk turunan kayu seperti wood pellet dan plywood juga masih melibatkan eksportir non-produsen. Karena proses sertifikasi SVLK dan audit berbiaya, banyak perusahaan yang akhirnya bekerja sama dengan eksportir yang memiliki SVLK dengan membayar sejumlah biaya per kontainer, tergantung tingkat risiko kayu. Perusahaan yang memiliki V-Legal dan SVLK menjadi tempat ‘menitipkan bendera’, dan mereka bekerja sama dengan PPJK (Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan) di pelabuhan untuk mengatur dokumen dan menghindari biaya tinggi.
Titik kritis lainnya adalah dalam proses sertifikasi. Banyak perusahaan yang sertifikasinya dibekukan atau dicabut karena pelanggaran, tetapi dengan mudah mendapatkan sertifikasi baru dari lembaga lain tanpa ada daftar hitam atau sanksi yang efektif. Namun, yang lebih mengkhawatirkan, akses publik terhadap data terkait ekspor-impor kayu semakin sulit. Sistem SIL (Sistem Informasi Legalitas Kayu) yang seharusnya mempermudah pemantauan secara real-time kini menjadi tertutup.
Catatan ini bersumber dari diskusi Roundtable CSO dan Media yang diselenggarakan atas kerjasama FWI dan AJI Jakarta pada tanggal 26 September 2024 di Jakarta.
Narahubung: Media FWI (0857-2034-6154)