Tambang menjadi salah satu sektor yang paling mengancam eksistensi pulau-pulau kecil di Indonesia. Wilayah seluas 876 ribu ha di pulau-pulau kecil telah dikuasai perusahaan dan 245 ribu ha-nya telah dikaveling untuk pertambangan. Indonesia memiliki lebih dari 19.108 pulau dan lebih dari 99 persennya merupakan pulau kecil. Luas pulau-pulau kecil di Indonesia mencapai 7 juta Ha atau setara 105 kali luas DKI Jakarta.
Manager Kampanye Advokasi Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga menyebutkan luas hutan alam di pulau-pulau kecil mencapai 3,49 juta ha atau setara 50 persen dari luas daratan pulau kecil di Indonesia. Hutan alam ini memiliki fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi yang sangat penting. Hilangnya hutan alam akibat konversi masif dapat mengancam eksistensi pulau-pulau kecil yang rentan terhadap perubahan lingkungan.
Ia mengingatkan judicial review ini diajukan oleh perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Perusahaan itu memiliki konsesi seluas 1.800 Ha di atas Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan yang luasnya 70,6 ribu Ha. Pulau Wawonii termasuk pulau kecil menurut undang-undang, sehingga PT Gema Kreasi Perdana (GKP) menggugatnya. Operasi perusahaan ini penuh masalah karena diduga menyerobot lahan warga dan diwarnai dengan kriminalisasi warga.
Menurut Anggi Putra Prayoga, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah maju dalam upaya melindungi hutan alam. Data FWI menunjukkan bahwa deforestasi hutan alam akibat tambang saja di pulau pulau kecil Indonesia memiliki nilai yang cukup signifikan, yakni sekitar 13,1 ribu hektare (2017-2021). Setidaknya MK, dengan putusannya, telah berupaya menyelamatkan hutan alam tersisa yang luasnya mencapai 51,95 ribu ha dari aktivitas tambang di pulau-pulau kecil di Kabupaten Konawe Kepulauan.
“Menutup ruang bagi pertambangan di pulau kecil merupakan pendekatan pengelolaan yang tepat, karena pengelolaan pulau kecil tidak sama dengan pulau besar, setiap pulau kecil memiliki karakter dan keunikannya, dan banyaknya campur tangan hanya menyebabkan tumpang tindih kepentingan,” kata dia.
UU No.27/2007 Tentang PWP3K dengan jelas menerangkan bahwa pulau kecil merupakan pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi atau 200.000 ha. Undang-undang ini melindungi dan melestarikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan cara pembatasan aktivitas pemanfaatan. Terutama aktivitas ekstraktif seperti pertambangan.
Akademisi Universitas Pattimura, Agustinus Kastanya, yang turut dalam Forum Akademisi Timur Melawan Tambang di Pulau Kecil menyebutkan putusan MK merupakan momentum untuk menghentikan aktivitas pertambangan di pulau kecil yang memiliki daya rusak yang luar biasa di wilayah Timur Indonesia. Saat ini di Provinsi Maluku dan Maluku Utara saja terdapat 32 jumlah izin usaha pertambangan (nikel, tembaga, bijih besi, emas, mangan, dan lainnya) yang mengkaveling 24 pulau kecil dengan total luas 118 ribu ha. Pasca putusan MK, ujarnya, upaya monitoring, evaluasi, dan audit usaha pertambangan di pulau kecil agar menjadi pertimbangan pencabutan izin. Selain itu harus dipastikan tidak izin baru pertambangan di pulau kecil khususnya di wilayah Timur, yang notabene sebagai ruang hidup masyarakat adat.
“Tambang mengakibatkan kerusakan lingkungan secara masif, yang menyebabkan pencemaran di sungai, pesisir, dan lautan, sehingga berdampak pada hilangnya mata pencaharian dan kemiskinan masyarakat. Termasuk hilangnya kehidupan biodiversitas,” kata Agus.
Akademisi Universitas Halu Oleo, Laode M Aslan, menegaskan banyak pulau kecil yang telah rusak bahkan hilang akibat tambang. Aktivitas pertambangan mengakibatkan pencemaran lingkungan, dan alih fungsi lahan-lahan produktif masyarakat lokal dan adat pada sektor perikanan dan pertanian ke non produktif.
“Di Sulawesi Tenggara, ratusan ha tambak rusak dan tidak dapat digunakan lagi karena tercemar, nelayan pun terdampak sulit menangkap ikan. Evaluasi harus dilakukan termasuk audit usaha pertambangandi pulau kecil secara komprehensif,” ucap dia.
Akademisi Universitas Mataram, Andi Chairil Ichsan, menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memperkuat instrumen pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, baik pada sistem perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah. Sehingga dapat memastikan pulau-pulau kecil tumbuh dan berkembang berdasarkan karakteristik wilayahnya. Upaya ini, kata dia, menutup peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan kejahatan lingkungan di wilayah kepulauan.
Sumber tulisan ini berasal dari Betahita.id