Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI) menuding organisasi pegiat lingkungan melakukan kampanye hitam terkait deforestasi hutan alam demi kebun energi. Tudingan kepentingan asing terbilang.
Hampir pada tiap bagian paparan, Dikki Akhmar, menyebut kritik NGO (Non Governmental Organization) selalu menyertai di tahap bisnis produsen biomassa di Indonesia. Kemunculan mereka tak hanya dirasanya sebagai kritik melainkan juga gangguan bisnis hingga kampanye hitam.
Pertama, saat ekspor cangkang sawit (palm kernel shell) dari Indonesia ke Jepang tengah berjalan lancar pada rentang 2016 hingga 2022. Sejak 2019, ekspor mencapai 4 juta ton berjalan tanpa sertifikasi dan harganya cukup bagus, sekitar 135 dollar. Namun pada 2019 organisasi pegiat lingkungan mulai mendesak Kementerian Perdagangan Jepang (Ministry of Economy, Trade and Industry/ METI) untuk mewajibkan sertifikasi atas impor cangkang sawit.
“Sejak 2022 ekspor cangkang sawit Indonesia ke Luar Negeri, Jepang, harus menggunakan sertifikat Green Gold Label (GGL),” ucapnya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Legal dan Lestari: Fakta di Balik Ekspor Biomassa Indonesia dalam Kerangka Komitmen Iklim Global” yang digelar oleh Asosiasi Produsen Biomassa Indonesia (APREBI) di Jakarta, Rabu (5/11).
Ia mempertanyakan penggunaan ketentuan sertifikasi biomassa berkelanjutan itu karena Indonesia sendiri memiliki sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). “Apa yang terjadi setelahnya adalah harga turun menjadi 100 dolar AS jadi sudah kita penuhi ketentuan itu dan pasar menjawabnya,” kata dia.
Namun desakan lembaga pegiat lingkungan tak sampai disitu saja. Kini mereka berkampanye dan menyebutkan produsen pelet kayu untuk energi biomassa ke Jepang sebagai pelaku deforestasi.
Menurutnya para pegiat lingkungan telah menyebarkan berita tak benar. Deforestasi yang mereka gambarkan berlebihan dan tak sesuai fakta. Apalagi kayu yang diolah sudah bersertifikat SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu).
“Mereka melakukan black campaign di Gorontalo (lokasi kebun energi), dia cuma tunjukin foto ini dari dulu, cuma ini aja yang dia punya fotonya. Terus dia demonstrasi dan datang ke Jepang. Faktanya, setelah ditebang perusahaan langsung menanam. Enam bulan sampai dua tahun lahan itu sudah ada pohon lagi,” ungkapnya.
Bahkan mereka juga mengirim surat ke perusahaan Jepang yang menjadi salah satu pemegang saham kebun energi dan perusahaan lain yang memiliki pembangkit energi biomassa pengguna pelet kayu dari Gorontalo.
Dikki juga memaparkan surat Global Environmental Forum (GEF), organisasi pegiat lingkungan di Jepang, yang mengirimkan surat kepada Hanwa selaku pemilik saham PT BJA dan Tokyo Gas selaku perusahaan pemilik pembangkit biomassa yang mengimpor pelet kayu dari Indonesia.
Ia pun curiga ada kepentingan asing di balik kampanye hitam ini. Apalagi, selama ini pemasok pelet kayu justru dari Amerika Serikat dan Kanada, selain itu terdapat beberapa negara asia lain seperti Vietnam. “Nah justru, isu-isu negatif ini saya curigai datang dari Amerika (Serikat) dan Kanada. Karena mereka adalah eksportir terbesar ke Jepang. Kalau Indonesia bisa berkembang, Anda bayangkan, logistik cost kami ke Jepang kan lebih rendah,” ucapnya.
Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan di Kementerian Kehutanan, Erwan Sudaryanto, menyebutkan pemerintah telah memiliki sistem legalitas terkait kayu yang cukup kuat, yakni SVLK. Menurutnya sepanjang legalitas itu dipenuhi, seharusnya tidak ada masalah menerima kayu atau produk kayu dari Indonesia. Negara-negara lain seharusnya dapat mempercayai dokumen ini.
“Bagaimana, tetapi juga jangan kita juga jangan terlalu diatur-atur oleh negara lain. Kalau bagi saya, kedaulatan itu adalah harga masing-masing. Yang punya sudah kita tetapkan dasar kita, apalagi saya sebagai ASN itu kan dasarnya adalah, panglimanya adalah aturan,” kata dia.
Tudingan Kepentingan Asing Kaburkan Masalah
Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, menyebutkan tudingan kepentingan asing itu justru mengaburkan permasalahan deforestasi demi perkebunan energi. Lembaga pegiat lingkungan selaku gerakan masyarakat sipil tidak memiliki kepentingan bisnis atau kompetitor pasar, hanya kepentingan publik.
Lembaganya selama ini memastikan ekspansi biomassa tidak merusak hutan alam dan tidak menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat. Tudingan kampanye hitam hingga intimidasi justru merupakan upaya menutupi masalah tata kelola yang belum transparan. “Semestinya, jika rantai pasok biomassa benar-benar bersih dan berkelanjutan, perusahaan tidak perlu khawatir dengan sorotan publik — justru sebaliknya, transparansi akan memperkuat kredibilitas ekspor Indonesia,” ujarnya.
Pemulihan deforestasi pun tidak dapat hanya dengan menanam pohon sejenis yang cepat tumbuh seperti gamal dan kaliandra. Penanaman pohon sejenis ini merupakan konversi hutan alam menjadi kebun kayu.
Kementerian Kehutanan sendiri melalui berbagai dokumen nasional, termasuk komitmen FOLU Net Sink 2030, mengakui pentingnya perlindungan hutan alam tersisa. Jadi, penggunaan istilah “bukan deforestasi” untuk kegiatan semacam itu bertentangan dengan semangat kebijakan iklim nasional.
Sejurus dengan Hilman, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Yoga, menyebutkan proyek biomassa dari kayu di Indonesia justru menambah tekanan terhadap hutan alam dan memperbesar jejak karbon, terutama di lahan, bukan menguranginya.
Jika biomassa berasal dari kayu hutan alam, maka klaim pengurangan emisinya adalah ilusi. Energi terbarukan tidak boleh menjadi justifikasi untuk membuka hutan. Transisi energi yang sejati adalah transisi yang tidak hanya mengganti sumber energi, tetapi juga mengubah cara kita memperlakukan alam dan manusia.
“Artinya ada karbon yang dilepas dari deforestasi, kalau memang begitu ya jangan katakan tidak berpengaruh. Dan itu cukup besar karena hutan alam di Gorontalo kondisinya sangat bagus,” kata dia.
Selain itu, terkait tudingan kepentingan asing, Anggi menyebutkan bahwa Hanwa, selaku pemilik saham PT BJA sendiri merupakan perusahaan asing. Deforestasi itu juga dilakukan demi kepentingan energi negara lain. Ini, kata dia, berarti juga ada kepentingan asing dalam bisnis biomassa yang mengorbankan hutan alam.
Terkait legalitas, ia menyebutkan hal itu perlu dilihat secara lebih rinci pada masing-masing kasus. PT BJA, misalnya awalnya memiliki izin usaha perkebunan sawit dan telah memiliki hak guna usaha (HGU). Usaha ini mendapat penolakan dari masyarakat.
Seiring dengan perjalanan waktu, mereka kemudian mengubah komoditas menjadi kebun energi. “Nah, ini perlu dilihat apakah komoditas ini cocok dengan perizinannya. Dan apakah masyarakat dilibatkan dalam persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL),” kata dia.
Narahubung terkait biomassa di GEF, Sayoko Iinuma, menyebutkan bahwa pembangkit biomassa termasuk sebagai energi terbarukan di negaranya. Pembangkit ini mendapatkan dukungan Feed-In Tarif (FIT) dari pemerintah Jepang.
FIT sendiri adalah kebijakan yang dirancang untuk mendorong pengembangan sumber energi terbarukan. Kebijakan Ini menawarkan produsen energi jaminan, harga di atas pasar untuk listrik yang mereka suplai ke jaringan.
Makanya keberlanjutan bahan bakar pembankit biomassa harus diapstikan. Legalitas penebangan tidak sama dengan keberlanjutan. Pelet kayu hasil; deforestasi hutan alam dengan cadangan karbon tinggi, atau dari kayu perkebunan yang bersumber dari area hutan tropis ditebang dan dikonversi menjadi perkebunan, tidak dapat dianggap berkelanjutan.
Sistem FIT ini membuat konsumen Jepang membayar biaya tambahan untuk membeli energi terbarukan dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Namun, kecil kemungkinan konsumen akan menerima listrik yang dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan tropis sebagai energi terbarukan.
“Masalah ini tidak terbatas pada Indonesia; kami terus menyuarakan kekhawatiran tentang produksi pelet yang menyebabkan dampak buruk pada ekosistem hutan dan masyarakat lokal di Amerika Utara dan Vietnam,” ucapnya melalui pesan kepada redaksi.
Sumber berita Betahita.id
