Pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan digelar November 2024 untuk 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Besarnya sumber dana yang dibutuhkan membuat para kandidat kerap melakukan praktek ijon atau bekerja sama dengan para pelaku bisnis di sektor hutan dan tambang dengan pemberian rekomendasi izin pengelolaan sumber daya alam maupun proyek-proyek pembangunan di daerah. Oleh karena itu, masyarakat sipil mendorong gerakan “green democracy”, yaitu gerakan agar proses pemilihan kepala daerah bersih dari money politics, lebih murah dan menghasilkan pemimpin yang memiliki visi dan misi Pembangunan Ekonomi Hijau di daerah.
Direktur Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF) Willem Pattinasarany mengatakan, praktek ijon saat pemilu menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi, pelestarian lingkungan, sumber daya alam di Indonesia. Ia mengutip data Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK) tentang adanya transaksi janggal dari sekitar 100 calon legislatif jelang Pemilu 2024 yang mencapai Rp 51,47 triliun.
“Menjadi bukti tak terbantahkan mengenai praktek kotor ini. Proses demokrasi ini juga menjadi ajang pencucian uang dari kejahatan lingkungan dan kejahatan lainnya,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat (12/7). Willem mengimbau masyarakat untuk mulai peduli dan menolak serangan fajar yang diberikan kandidat. Menurutnya itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan dampak kerusakan jangka panjang lingkungan yang mengganggu Kesehatan, infrastruktur pembangunan hingga mata pencaharian masyarakat itu sendiri.
Kerusakan sumber daya alam Indonesia
Dalam kesempatan yang sama Juru Kampanye Forest Watch Indonesia Anggi Putra Prayoga menyatakan jelang Pemilukada hal harus diwaspadai yakni obral izin baru yang hanya akan mendorong kerusakan sumber daya alam Indonesia. Berdasarkan hasil riset dan investigasi yang telah dilakukan oleh FWI bersama jaringan organisasi masyarakat sipil, Anggi mengatakan di daerah menemukan 3 jalur obral izin kawasan hutan Indonesia yakni pelepasan kawasan hutan, arahan pemanfaatan hutan, dan aktivasi eks HPH.
“Dari (izin) Pelepasan Kawasan Hutan komoditas terbesar untuk pelepasan Kawasan hutan pasa 2021, yaitu untuk perkebunan kelapa sawit dengan luasan sekitar 5,5 juta hektar. Sisanya itu untuk coklat, dan tebu. Total pelepasan Kawasan hutan 2021 mencapai 5,9 juta hektar dengan provinsi terbesar pelepasannya ada di Provinsi Kalimantan Tengah dengan 1,16 juta hektar dan Provinsi Riau 1,14 juta hektar,” paparnya.
FWI, sambung Anggi, juga menemukan total luas arahan pemanfaatan hutan produksi 2021 untuk izin baru sebesar 13,5 juta hektar dengan provinsi terbesar yaitu Provinsi Riau 1,8 juta hektar dan Provinsi Papua Selatan 1,16 juta hektar. Dari Aktivasi Eks HPH yang bakal menjadi target penerbitan izin baru dapat ditemukan di Regional Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua dengan total areal eks HPH seluas 35,8 juta hektar.
“Obral izin di tengah masa transisi Pemerintahan Daerah harus diwaspadai sebagai upaya penguasaan hutan dan lahan Indonesia yang dapat menghilangkan eksistensi masyarakat-masyarakat adat. Dan kedepan izin- izin ini akan menjadi driver deforestasi,” paparnya.
Tekan biaya kampanye
Koordinator Komunitas Pemilu Bersih Jeirry Sumampow menekankan pentingnya penyelenggara pemilu untuk menekan mahalnya biaya kampanye yang harus dikeluarkan oleh para kandidat. Negara, ujar dia, harus mengambil-alih tanggung jawab tersebut. “Selain membuat para kandidat tidak mencari sumber dana yang ilegal untuk mencukupi biaya gerakannya dalam Pilkada juga akan membuat para kandidat bertarung dalam ide-ide pragmatis pembangunan untuk memenangkan suara pemilih,” paparnya.
Ia mendorong paket undang-undang Kepemiluan serta penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar berani membuat aturan dan memberikan punishment yang tegas kepada para kandidat yang melanggar. “Tidak lagi menjadikan jabatan komisioner mereka sebagai ajang transaksional dengan para kandidat, tambahnya,” tegasnya.
Sementara itu, Yusfitriadi Ketua Lembaga Studi Visi Nusantara Maju menekankan pentingnya Tata Kelola Kepemiluan yang transparan dan akuntabel. “Adanya like and dislike, serta ketidaknetralan dalam setiap pengambilan Keputusan penyelenggara pemilu menjadikan demokrasi cacat dan hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin korup yang akan merusak bangsa,” cetusnya.
Litbang Kementerian Dalam Negeri menyebutkan besarnya dana untuk menjadi Bupati atau Walikota rata-rata Rp30 miliar, sedangkan biaya menjadi Gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. Kebutuhan dana untuk mendapatkan suara dari pemilih yang makin transaksional, terangnya, membuat peluang mendapatkan kandidat berkualitas semakin kecil. “Malahan sebaliknya, semakin besar kemungkinan korupsi dari calon terpilih yang ingin mengembalikan modal secepatnya,” tukas Yusfitriadi.
Sumber tulisan ini berasal dari mediaindonesia.com