“Catatan awal tahun 2024 dalam masa-masa kritis penentuan nasib hutan Indonesia”
Becermin dari potret keadaan hutan Indonesia, deforestasi tahun 2017-2021 dengan nilai rata-rata 2,54 juta Ha/tahun atau setara dengan 6 kali luas lapangan sepakbola per menit, telah menggiring Indonesia pada jurang krisis iklim. Situasi ini memperlihatkan bahwa hutan Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Tingginya tingkat kerusakan sumber daya hutan terjadi hampir di setiap region. Region Kalimantan misalnya, masih menunjukan nilai rata-rata deforestasi sebesar 1,11 juta hektare per tahun, diikuti Papua 556 ribu hektare per tahun, Sumatera 428 ribu hektare per tahun, Sulawesi 290 ribu hektare per tahun, Maluku 89 ribu hektare per tahun, Bali Nusa 38 ribu hektare per tahun, dan Jawa 22 ribu hektare per tahun. Kerusakan hutan-hutan di Indonesia yang rupanya sangat masif ini terkuak dengan makin canggihnya teknologi penginderaan jauh yang mampu menghitung kerusakan hutan lebih detail .¹
Deforestasi dimaknai sebagai perubahan tutupan hutan alam menjadi bukan hutan alam. Hutan alam merupakan hutan yang tidak diciptakan manusia, bukan dalam bentuk hutan tanaman maupun dalam bentuk perkebunan. Hutan yang hilang merupakan sumber daya alam, yang dapat berupa ekosistem mangrove, ekosistem gambut, ekosistem karst, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, termasuk hutan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hilangnya tutupan hutan selalu diikuti dengan hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur iklim mikro, sumber pangan papan masyarakat adat-masyarakat lokal, konservasi air dan tanah, areal bernilai konservasi tinggi, biodiversitas, potensi obat-obatan, sumber pangan dan gizi dari hutan, energi, serta nilai sejarah kebudayaan, bahkan sebagai sumber pengetahuan yang belum tercatat.
Ancaman Nyata Perubahan Iklim Di Pulau-Pulau Kecil
Perubahan iklim rupanya bukan hanya permasalahan untuk generasi mendatang, melainkan sudah terjadi hari ini. Tahun 2023 ditetapkan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat (WMO). Laju kenaikan rata-rata permukaan air laut global dalam sepuluh tahun terakhir (2013–2022) lebih dari dua kali lipat laju kenaikan permukaan laut pada dekade pertama pencatatan satelit (1993–2002). Analisis WHO dengan mempertimbangkan beberapa indikator kesehatan, memprediksi akan ada tambahan 250.000 kematian per tahun dalam beberapa dekade mendatang akibat perubahan iklim. Pulau-pulau kecil dan masyarakat yang tinggal di dalamnya merupakan yang paling rentan terdampak krisis iklim.
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Memiliki lebih dari 17.000 pulau dan sekitar 98% berupa pulau-pulau kecil. Pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia masih menggunakan pendekatan kegiatan ekstraktif sumber daya alam. Dari total luas pulau-pulau kecil Indonesia, ada sekitar 874 ribu hektare atau 13% dari total luas daratan pulau-pulau kecil yang telah dibebani izin industri ekstraktif SDA seperti penebangan hutan sekitar 310 ribu hektare ,tambang sekitar 245 ribu hektare, , hutan tanaman sekitar 94 ribu hektare, perkebunan sekitar 194 ribu hektare dan tumpang tindih sekitar 30 ribu hektare.
Aktivitas industri ekstraktif di pulau kecil terbukti telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat yang tinggal. FWI mencatat, antara tahun 2017-2021 nilai rata-rata laju deforestasi di pulau-pulau kecil mencapai 79 ribu hektare pertahun, atau setara 3 persen dari nilai laju deforestasi nasional. Hadirnya industri ekstraktif di pulau-pulau kecil ditengarai oleh kebijakan-kebijakan yang mendukungnya serta lemahnya perlindungan terhadap ekosistem yang khas seperti pulau kecil.
Studi FWI mengemukakan beberapa permasalahan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, antara lain belum jelasnya definisi operasional pulau-pulau kecil, pengelolaan pulau kecil masih bersifat sektoral (antar kementerian dan lembaga), serta kurangnya data dan informasi mengenai pulau-pulau kecil.
Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga hutannya berada di pulau-pulau. Hutannya tersebar di pulau besar dan pulau kecil. Paradigma pengelolaan hutan di Indonesia saat ini menunjukkan seakan akan hutan di Indonesia itu berada di satu hamparan daratan yang luas. Hal ini tercermin mulai dari kebijakan kawasan hutan sampai dengan penataan ruang. Dalam prakteknya tidak terlalu mempertimbangkan kondisi geografis negara kepulauan. Salah satu contoh kasus adalah Pemerintah selalu mengklaim bahwa hutan hujan Indonesia salah satu yang terluas di dunia. Secara hitungan total klaim tersebut ada benarnya, tetapi faktanya hutan-hutan itu hanya berada di beberapa pulau saja. Disatu sisi kita selalu bilang hutan kita masih sangat luas, tetapi di sisi lain ada pulau-pulau atau daerah-daerah yang sudah sangat krisis akibat dari hilangnya hutan. Maka tidak heran jika Jawa, Kalimantan, dan Sumatera selalu diterjang bencana ekologi. Kasus yang lain adalah mengenai deforestasi, pemerintah selalu mengklaim penurunan deforestasi. Tetapi klaim itu menjadi tidak relevan jika rupanya sebagian besar deforestasi tersebut hanya terjadi di beberapa daerah saja.
Transisi Energi VS Deforestasi
Transisi energi menjadi istilah yang sedang ramai diperbincangkan di dunia sebagai respon dalam mengatasi krisis iklim di bumi. Sebagai negara yang kaya akan sumber energi, kebijakan transisi energi di Indonesia terkesan “gagap” dan belum memaksimalkan potensi energi yang ada di setiap daerah. Kebijakan transisi energi yang top to bottom terkesan tidak mau memaksimalkan ketersebaran potensi energi yang ada. Daerah-daerah dipaksa untuk melakukan transisi energi dengan mengikuti arahan dari pusat. Ini berdampak pada tidak tepatnya transisi energi di daerah yang tidak sesuai dengan kebutuhan, sumber energinya, kondisi geografis, dan kondisi sosial budaya. Bahkan, transisi energi di Indonesia berpotensi menyebabkan deforestasi. Atau dalam arti lain menyelesaikan permasalahan lingkungan dengan menghasilkan permasalahan lingkungan baru.
Selengkapnya dapat di lihat pada tautan dibawah ini :