Tanah Meratus dan Napak Tilas Bumi Kalimantan yang Tak Henti Dikuras

Pohon raksasa itu berdiri kokoh di Taman Hutan Raya Sultan Adam, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Akar-akarnya yang keras merayapi tubuh pohon. Tumbuhan berusia 70-an tahun ini memiliki tinggi sekitar 50 meter dengan diameter 2 meter. “Binuang, demikian nama tanaman ini,” kata seorang petugas Tahura Sultan Adam, Komar, Rabu, 21 Agustus 2024.

Tahura Sultan Adam merupakan bagian dari Geopark Nasional Pegunungan Meratus. Pegunungan ini membentang sepanjang lebih-kurang 600 kilometer persegi dari tenggara Kalsel sampai utara atau perbatasan Kalimantan Timur. Pegunungan ini melintasi delapan kabupaten di Bumi Lambung Mangkurat–julukan Kalsel. Kedelapan kabupaten adalah Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut, Banjar, dan Tapin.

Meratus menyimpan keanekaragaman hayati yang tinggi. Dalam dua artikel, meratusgeopark.org memaparkan flora dan fauna di pegunungan tersebut. Beberapa di antaranya yakni anggrek, pohon kayu, pohon buah, mamalia, reptilia, serangga, ikan, burung, dan ayam. Ada pula tumbuh-tumbuhan dan satwa-satwa endemik seperti ulin, beruang madu, hingga bekantan.

Sementara itu, Pokok Binuang hidup di hutan tropis basah yang tidak selalu digenangi air. Pohon ini sering dijumpai di tepian sungai atau pantai di lahan gambut dan rawa. Selain Kalimantan, binuang tersebar di Sumatra, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Ada dua jenis binuang yakni binuang bini (perempuan/Octomeles sumatrana Miq) dan binuang laki (Duabanga moluccana).

Kayu binuang bini berwarna cokelat, sangat lunak, dan termasuk golongan kayu kelas awet V dan kelas kuat IV sampai V. Sementara itu, kayu binuang laki berwarna kuning sampai kelabu dengan tekstur kasar (Pohon Binuang, Pohon Dataran Rendah yang Mudah Tumbuh dan Menguntungkan, 2020). “Baik binuang bini maupun binuang laki, semua ada di sini (Tahura Sultan Adam),” kata Komar.

Pohon binuang laki di Taman Hutan Raya Sultan Adam, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Spesies ini adalah saksi bisu pembabatan hutan-hutan di Kalimantan selama puluhan tahun terakhir. FOTO: RIA ATIA DEWI-PWI KALTIM FOR KALTIMKECE.ID

Selain pertumbuhan yang cepat, binuang lebih tahan terhadap api. Kelebihan itu amat disukai industri kayu. Kualitas kayu binuang disebut tidak jauh berbeda dengan meranti putih dan meranti kuning. Kayu ini sering dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, peti pembungkus, korek api, aneka perabotan, tempat penyediaan beton, hingga bahan membuat kapal. Tak heran apabila kayu binuang banyak ditanam manusia. Rindawati dan kolega dalam penelitiannya menguraikan, investasi menanam kayu binuang sebesar Rp33 juta di lahan 3 hektare memberikan hasil Rp10,20 juta per tahun selama tujuh tahun.

Walau demikian, binuang di Tahura Sultan Adam tidak diperdagangkan. Komar menjelaskan, tahura merupakan kawasan konservasi yang dilindungi sehingga kekayaan alam di dalamnya tak boleh dikomersialkan. “Kecuali untuk edukasi dan sedikit keperluan warga desa, boleh-boleh saja,” ucap lelaki berusia 53 tahun itu.

Binuang hanyalah satu dari ratusan spesies pohon di Kalimantan yang telah dieksploitasi untuk keperluan komersial. Selama puluhan tahun, hutan-hutan di Kalimantan ditebangi demi industri kayu bulat dan kayu olahan. Hutan Kalimantan mulai dibabat besar-besaran ketika Orde Baru menerbitkan Undang-Undang 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Wyerhaeuser dan Georgia-Pacific, perusahaan multinasional asal Amerika Serikat, menjadi yang pertama menerima izin hak pengusahaan hutan (HPH) di Kalimantan (Kalimantan: Hilangnya Rimba, Pemburu Terakhir, dan Bencana, 2021).

Pada 1968, Van Sickle Associates Inc dan PT Kalimantan Plywood Factory mendirikan pabrik pengolahan kayu di Kalimantan Selatan. Perusahaan kongsi Amerika Serikat dan Indonesia di Kalimantan Selatan itu disebut pemain industri kayu terbesar dan termodern di Asia Tenggara. Dekade-dekade berikutnya adalah kisah suram tentang hutan Kalimantan. Perizinan di sektor kehutanan beranak-pinak seturut pembalakan liar yang merajalela. Pada 1973 saja, masih menurut Kalimantan: Hilangnya Rimba, Pemburu Terakhir, dan Bencana, Kalimantan mengekspor 12,4 juta meter kubik kayu gelondongan. Sewaktu ekspor kayu gelondongan dilarang pada 1985, giliran kayu lapis jadi primadona. Produksi kayu lapis Kalimantan pada 1992 mencapai 10,86 juta meter kubik.

Devisa negara dari sektor kehutanan pun mengucur deras hingga USD16 miliar per tahun atau terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi. Hutan Kalimantan benar-benar babak belur menjelang rezim Soeharto tumbang. Setelah lebih dari 30 tahun, sekitar 80 persen hutan di pulau ini berstatus boleh dieksploitasi.

Desain Grafik: M NAUVAL-KALTIMKECE.ID

Siapa yang menikmati itu semua? Menurut Dedi Triawan dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan (1995), hak pengelolaan 61,4 juta hektare hutan produksi di Indonesia diberikan kepada 579 perusahaan. Ratusan pemegang HPH itu tergabung di berbagai kelompok usaha yang membentuk 25 grup besar. Sebagian besar saham dari anggota grup tersebut dikuasai hanya oleh 25 individu.

Pembabatan hutan di Kalimantan akhirnya harus dibayar mahal. Menurut penelitian World Bank pada 2000, tutupan hutan yang berubah di sepenjuru Kalimantan sejak 1985 hingga 1997 menembus 8,47 juta hektare. Deforestrasi atau pengawahutanan ini setara tiga per empat luas Pulau Jawa berdasarkan olahan data Departemen Kehutanan dan Bank Dunia pada 1985.

Industri kayu mulai meredup selepas Orde Baru hingga Indonesia dipimpin Presiden Joko Widodo. Sampai Agustus 2024, berdasarkan pnbp-pkh.menlhk.go.id, Kalimantan menyetor Rp9,96 triliun ke kas negara melalui penerimaan negara bukan pajak penggunaan kawasan hutan. Selama lebih 40 tahun, harta Pulau Kalimantan bernama kayu dikuras hingga nyaris habis.

Eksploitasi Bahan Bakar Fosil

Sejak 2019, PT Adaro Indonesia merehabilitasi lahan kritis seluas 500-600 hektare di Tahura Sultan Adam. Perusahaan tambang batu bara itu menanaminya dengan beraneka tumbuhan. Satu di antaranya adalah meranti.

Upaya penanaman tersebut merupakan langkah Adaro untuk memenuhi kewajibannya. Sebagian konsesi milik industri ini, kata petugas Tahura Sultan Adam, Bambang Susilo, masuk Pegunungan Meratus. Maka, sesuai peraturan, perusahaan tersebut mesti ikut andil memperbaiki lingkungan hidup. “Kalau perusahaan tidak mau memperbaiki lingkungan, izin operasionalnya bisa dicabut,” kata pria berusia 57 tahun itu.

Bambang Susilo, petugas Tahura Sultan Adam di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. FOTO: SURYA ADITYA-KALTIMKECE.ID

Harta karun bernama batu bara tersimpan di perut bumi Kalimantan. Cadangan emas hitam di pulau ini, menurut perkiraan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2023, mencapai 25,84 miliar ton. Andaikata produksi Indonesia sepanjang tahun tetap 600 juta ton, batu bara di pulau ini bakal habis 42 tahun lagi.

Pertambangan batu bara mengambil alih peran industri perkayuan sebagai tulang punggung ekonomi Kalimantan pada pembuka milenium. Sejak 2000, konsesi pertambangan batu bara diterbitkan di sekujur pulau. Kaltim dan Kalsel segera menjadi produsen batu bara terbesar di Kalimantan. Sepanjang 2016-2020 saja, masih menurut dokumen Kementerian ESDM, Kaltim memproduksi 1,159 miliar ton dan Kalsel sebanyak 757 juta ton batu bara. Pengerukan komoditas ini menghasilkan pundi-pundi rupiah yang fantastis. Produk domestik regional bruto (PDRB) sektor pertambangan di seluruh provinsi Kalimantan menyumbang Rp4.952 triliun dalam 13 tahun terakhir. Jumlah itu setara ongkos membangun sepuluh Ibu Kota Negara Nusantara.

Desain Grafik: M NAUVAL-KALTIMKECE.ID

Sebenarnya, jauh sebelum era keemasan batu bara, Kalimantan sudah menghasilkan sumber energi fosil klasik bernama minyak bumi dan gas bumi. Sebermula dari para geolog Belanda menemukan ladang minyak di Sangasanga, Kutai Kartanegara, Kaltim, pada 1897, sumur bernama Louise menjadi sumber minyak pertama di Kalimantan. Kilang minyak yang menghubungkan sumur-sumur di Tarakan (Kaltara) dan Tanjung (Kalsel) kemudian dibangun di Balikpapan pada awal abad ke-19 sebagaimana ditulis dalam Industri Minyak Balikpapan dalam Dinamika Kepentingan sejak Pendirian hingga Proses Nasionalisasi, (2012, hlm 73).

Sampai hari ini, 120 tahun sejak pertama kali disedot dari bumi Kalimantan, migas masih menyumbang pemasukan bagi negara. Dua provinsi di pesisir pulau yaitu Kaltim dan Kalsel, menjadi penghasil terbesar. Pada 2016-2018, minyak mentah yang dikeluarkan dari Kaltim sebanyak 87,79 juta barel dan gas bumi 1,31 miliar millions of british thermal units(MMBTU). Adapun Bumi Lambung Mangkurat, pada rentang yang sama, dilaporkan memproduksi 5,27 juta barel minyak bumi sebagaimana catatan Badan Pusat Statistik dan Data Tahunan Lifting dan Dana Bagi Hasil Migas Tahun 2016-2020 Se-Provinsi Kalimantan Selatan.

Bencana Datang, Pembangunan Timpang

Abidinahdi, 50 tahun, kaget bukan kepalang ketika melihat asap keluar dari Tahura Sultan Adam. Bapak dua anak itu segera mendatangi sumber asap. Ia menemukan banyak titik api di sebidang lahan. Sebagai penjaga taman tersebut, Abidin–demikian panggilannya–bergegas memadamkan api menggunakan dedaunan. Kebakaran tersebut berlangsung selama dua bulan sejak Agustus 2023. Abidin menyebut, lahan yang terbakar luasnya mencapai ratusan hektare. Proses pemadamannya melibatkan sejumlah elemen masyarakat.

“Kalau apinya besar, dijatuhi air menggunakan helikopter,” katanya. Kebakaran lahan di Tahura Sultan Adam, sambungnya, sudah seperti menjadi agenda tetap. Hampir setiap tahun saat musim kemarau, lahan di tahura itu pasti terbakar. Tak jarang, asapnya menjalar hingga Desa Belangian, sebuah permukiman terdekat dari Tahura Sultan Adam. Bambang Susilo membenarkan keterangan koleganya itu.

Membalik waktu menuju seperempat abad silam, Kalimantan pernah dilanda kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mahabesar. Bencana pada pengujung kekuasaan Orde Baru itu berlangsung hampir tujuh bulan sejak Juli 1997. Langit Asia Tenggara gelap. Pesawat Garuda Airbus 300 bahkan jatuh di Desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, pada 26 September 1997. Sebanyak 234 penumpang dan kru meninggal dunia.

Herman Hidayat dalam Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi (2008) menulis, karhutla 1997-1998 telah merusak lebih-kurang 9,7 juta hektare hutan dan lahan. Seluas 6,5 juta hektare di antaranya berlokasi di Kalimantan, sisanya di Sumatra. Sebanyak 20 juta orang terpapar polusi udara dan air baik langsung maupun tidak langsung. Indonesia menderita kerugian USD4,47 miliar dari tragedi ini.

Bukan hanya karhutla, banjir juga kerap melanda Kalimantan. Banjir terbesar di Bumi Lambung Mangkurat datang pada Januari 2021. Selama dua pekan, sebelas dari 13 kabupaten dan kota di Kalsel terendam. Hanya Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru yang tidak terdampak. Sebanyak 22 jembatan, 107 tempat ibadah, 75 sekolah, dan 18,29 kilometer jalan terendam air. Lahan pertanian seluas 46.235 hektare gagal panen.

Banjir skala besar di Kalsel disebut yang terburuk dalam 50 tahun terakhir. Korban terdampak banjir menembus 342.987 jiwa. Sebanyak 63.608 orang di antaranya mengungsi, 21 orang meninggal dunia, dan enam orang hilang (11 Kabupaten dan Kota Terdampak Banjir di Kalimantan Selatan, Januari 2021).

Kepada reporter kaltimkece.id, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media, Forest Watch Indonesia atau FWI, Anggi Putra Prayoga, menyebut, banjir pada Januari itu tak bisa dilepaskan dari kerusakan hutan di Kalsel, termasuk Pegunungan Meratus. Pasalnya, hutan disebut sebagai penyerap air unggulan. Apabila hutan rusak, otomatis, tak ada lagi yang dapat menyerap air dengan kapasitas besar.

Aktivitas di hutan Kalsel bukan saja yang halal namun juga yang haram. FWI, kata Anggi, baru saja selesai meneliti hutan Kalsel beberapa bulan lalu. Penelitian menemukan terdapat 30.000 hektare konsesi tambang tanpa persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH) alias ilegal. Sebagian di antaranya berada di Meratus. “Artinya, selain merusak alam, tambang tersebut juga tidak membayar pajak,” ucapnya. Riset FWI turut menemukan izin-izin hutan tanaman industri baru di Kalsel. “Kegiatan-kegiatan ini menyebabkan sejumlah masyarakat adat tak lagi bisa berladang, berburu, dan meramu di hutan,” imbuhnya.

Pembukaan lahan untuk pertambangan batu bara di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. FOTO: ARSIP KALTIMKECE.ID

Tudingan banjir akibat kerusakan hutan itu sempat dibantah Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Kalsel pada 18 Januari 2021. Jokowi berucap, banjir lebih disebabkan cuaca ekstrem. Selain bencana, eksploitasi sumber daya alam besar-besaran di Kalimantan diikuti ketimpangan pembangunan karena kebijakan sentralistis Orde Baru. Ekonom Purwadi Purwoharjo dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Kaltim, mengatakan bahwa nilai ekonomi dari sumber daya alam yang besar sebenarnya tak membawa banyak kontribusi bagi pembangunan. Setelah puluhan ribu triliun rupiah dihasilkan dari industri kayu, pertambangan migas, serta penggalian batu bara, nyatanya masih banyak desa di pulau ini yang sulit diakses hingga hari ini.

“Begitu juga jumlah desa tertinggal bisa dibilang tidak sedikit,” terang akademikus Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu. Berdasarkan indeks membangun desa pada 2023, sebanyak 192 desa berstatus tertinggal di Kalimantan.

Ketimpangan pembangunan juga nampak dari sisi infrastruktur. Menyadur Badan Pusat Statistik serta Kementerian PUPR pada 2023, total panjang jalan nasional dan jalan provinsi di Pulau Kalimantan adalah 13.518 kilometer. Sepanjang 2.714 kilometer atau sekitar 20 persen kondisinya rusak ringan dan rusak berat. Panjang jalan rusak di Kalimantan setara jarak dari Medan, Sumatra Utara, ke Surabaya, Jawa Timur.

Desain Grafik: M NAUVAL-KALTIMKECE.ID

Kalimantan juga bisa disebut tertinggal di sektor pendidikan tinggi. Walaupun isi buminya terus dikuras, faktanya, tak satu pun dari sepuluh kampus terbaik Indonesia berdiri di Kalimantan. “Yang disisakan dari pengerukan sumber daya alam Kalimantan selama bertahun-tahun hanyalah lubang-lubang tambang dan hutan yang gundul. Belum ada kesejahteraan buat penduduknya,” kata Purwadi dari Universitas Mulawarman.

Masyarakat diminta tidak bangga melihat besarnya pendapatan negara. Makin besar pendapatan negara, kata Purwadi, makin besar pula kerusakan lingkungan hidup. “Sebagian besar pendapatan negara, ‘kan, berasal dari sumber daya alam,” imbuhnya.

Anggi Putra Prayoga menaruh harapan besar kepada semua masyarakat, terutama pembuat kebijakan, untuk benar-benar melindungi Meratus dari kegiatan-kegiatan eksploitasi. Harapan tersebut dilandasi dari sisa hutan alam di Kalsel. Dari semua hutan alam di provinsi ini, sebut Anggi, hanya Meratus yang memiliki hutan alam terbesar.

Apabila Meratus rusak, tatanan kehidupan di Kalsel bisa jomplang. Selain menjadi penyerap air, Anggi membeberkan, hutan berfungsi menyaring unsur hara sehingga membuat tanah menjadi subur. Banyak masyarakat adat juga memanfaatkan hutan sebagai tempat tinggal, mencari pangan dan papan, hingga meramu obat-obatan. Bagi sebagian besar masyarakat adat, hutan adalah rumah. “Dengan kita menyelamatkan Pegunungan Meratus, maka kita menyelamatkan Kalimantan Selatan,” serunya.

Aunul Khoir selaku Pembakal Desa Belangian menyadari, Pegunungan Meratus telah memberikan kehidupan untuk warga-warganya. Para penduduk desa pun telah menyusun timbal balik. Mereka dipastikan menjadi garda terdepan dalam membentengi Tahura Sultan Adam, termasuk Pegunungan Meratus.

Tak jauh dari kantor desa itu, Sungai Hapunit nampak bersih. Airnya yang jernih berbenturan dengan bebatuan sehingga menciptakan gemercik-gemercik yang terdengar syahdu, seirama dengan kicau burung-burung dan serangga. Semua terasa damai di sini. Semoga, ketenangan itu abadi, tak direnggut manusia yang rakus sumber daya alam sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lainnya.(*)

Sumber tulisan ini berasal dari kaltimkece.id

Thank you for your vote!
Post rating: 2.8 from 5 (according 2 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top