“Mereka Hanya Ambil Kayu Lalu Pergi”

Orang Rimba Digusur Perusahaan Energi Korea

Oleh Ryan Setiawan
19 Juli 2025
Sumber berita deduktif.id

Menjelang maghrib, Karim dengan wajah lelah-paruh bayanya baru saja pulang memungut brondolan sawit dari sebuah perkebunan swasta. Aktivitas tersebut terpaksa ia lakukan sebab hutan sebagai sumber kehidupan mereka telah terenggut ambisi transisi energi.

Karim merupakan seorang “Temenggung”, sebutan untuk ketua kelompok Suku Anak Dalam (SAD) atau lazim disebut sebagai Orang Rimba. Bagi Orang Rimba, hutan adalah sumber kehidupan. Dan hutan Karim di daerah Desa Nalo Gedang, Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin, Jambi telah direnggut PT Hijau Artha Nusa (HAN).

Kelompok Karim terusir sejauh 104 kilometer dari hutan Nalo Gedang ke Desa Pasir Putih, Kecamatan Rimbo Tengah, Kabupaten Bungo, Jambi.

“Kami sedih karena rimbo (hutan) sudah habis. Kami jadi pergi cari brondol sawit milik perusahaan. Itu pun harus izin kalau ambil,” kata saat ditemui Deduktif di Desa Pasir Putih, Rabu (9/4/2025).

Brondol sawit itu nantinya akan dijual ke pasar. Dari uang hasil penjualan, Karim membeli keperluan sehari-hari seperti makanan, perabotan, dan perlengkapan lain.

Data dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menyebut jumlah Orang Rimba di Desa Nalo Gedang sebanyak 114 orang dengan total 24 Kepala Keluarga (KK). KKI Warsi merupakan lembaga non-profit yang melakukan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

PT HAN menggusur hutan mereka untuk dijadikan Hutan Tanaman Energi (HTE) jenis sengon solomon. HTE adalah hutan yang dikelola untuk menghasilkan biomassa sebagai sumber energi terbarukan, seperti kayu bakar, biofuel, atau energi panas. Perusahaan asal Korea Selatan itu melakukan deforestasi hutan alam di Jambi seluas lebih dari 5.059,52 hektare pada rentang tahun 2017-2023.

Karim bersama keluarganya yang berjumlah 10 orang mengaku terpaksa tinggal di perkebunan sawit karena tidak lagi memiliki tempat tinggal di Desa Nalo Gedang. Di perkebunan sawit itu, mereka membangun pondok dari bahan di hutan: kayu sebagai alas dan kerangka rumah, kulit kayu untuk pengikatnya, serta terpal sebagai atapnya dan alas tidur.

Ada lima pondok yang mereka bangun. Salah satu pondok milik anak bungsu Karim bernama Nanang dijadikan dapur. Tempat meletakkan gas, kompor, penggorengan minyak, singkong, hingga jerigen air.

“Lebih enak di sana (Desa Nalo Gedang), kami punya lahan sendiri. Di sini kami terpaksa,” tuturnya.

TEMPAT TINGGAL TEMENGGUNG KARIM BERSAMA KELUARGANYA DI DESA PASIR PUTIH, RABU (9/4/2025) DOK. DEDUKTIF

Jauh sebelum PT HAN datang, leluhur Karim telah memanfaatkan hutan sebagai tempat bernaung. Orang Rimba tinggal dalam pondok-pondok sederhana dari material hutan, kayu-kayu untuk tiang dan lantai, daun serdang untuk atap, dan pengikatnya menggunakan rotan. Terkadang mereka juga menggunakan terpal sebagai atapnya.

Mereka memandang hutan sebagai ruang spiritual. Orang Rimba adalah Penghayat Kepercayaan terhadap Dewa-dewa dan arwah leluhur. Ketika melakukan ritual, Orang Rimba menggunakan kayu dan tumbuh-tumbuhan sebagai media ritual kepada Dewa.

Orang Rimba sangat membutuhkan hutan karena hidup dengan cara berburu dan meramu. Mereka biasa memburu babi, ular, landak, biawak, hingga labi-labi (penyu cangkang lunak) untuk dimakan.

Sementara tanaman yang biasa mereka konsumsi adalah umbut-umbut bayam (bayam air), umbi gadung, umbun-umbun (cemara embun), daun pohon sungkai, durian, dan rambutan hutan. Mereka juga memanfaatkan tumbuhan seperti pasak bumi, pedaro putih, sempodu tano, hingga akasia untuk obat-obatan.

Ada juga hasil hutan yang mereka gunakan untuk kebutuhan lain, seperti getah damar dan getah balang. Getah damar biasanya dipakai untuk bahan bakar saat memasak, sementara getah balang diolah menjadi makanan.

Biasanya hasil bumi itu tak semua dikonsumsi. Sebagian ada juga yang dijual ke pasar atau ditukar dengan barang ke sesama warga. Uang hasil penjualan tersebut mereka gunakan untuk membeli minyak, beras, gas, pakaian, serta kebutuhan lain.

“Kami sedih, rimbo (hutan) kami sudah habis sama perusahaan. Bagaimana kami mencari makan?” ucap Karim getir.

Demi menjaga tradisi Orang Rimba, anak Karim masih berburu hewan di hutan. Ketika Deduktif ke kediaman mereka sekitar pukul 2 siang, dua putra Karim tengah bersiap berburu menggunakan senapan angin.

Putra Karim, Abdurahman Fendi sedang bersiap berburu, Rabu (9/4/2025) Dok. Deduktif

Karim mengatakan, ketika masih tinggal di Desa Nalo Gedang, kelompoknya juga membuat kebun. Di sana, ia menanam kopi, padi, hingga ubi untuk dimakan dan dijual. Namun sayangnya, setelah alat berat PT HAN hilir mudik masuk, menebang, dan mengangkut pepohonan, jalan yang menjadi perlintasan jadi rusak dan berlumpur.

Akses jalan yang rusak membuat kelompok Karim sulit pergi ke kebun mereka di Desa Nalo Gedang. Mereka juga sulit menjual hasil kebun, berbelanja ke pasar, dan melakukan aktivitas lain. Bahkan saat mereka sudah menetap di Pasir Putih (tempat tinggalnya saat ini), Karim harus berpikir dua kali jika ingin mengambil hasil kebun. Apalagi jika turun hujan, kondisi jalanan menuju kebunnya banjir dan berlumpur.

Berdasarkan pantauan Deduktif di konsesi PT HAN pada Kamis (10/4/2025), akses jalan menuju tempat tinggal dan perkebunan milik Karim rusak dan dipenuhi lumpur. Motor yang kami kendarai beberapa kali mati dan harus didorong lantaran terjebak lumpur.

Ditambah lintasan berliku membuat ban motor jeblos dan mati beberapa kali. Melihat medan yang tak memungkinkan lagi untuk dilintasi, Deduktif hanya mampu menempuh jarak sekitar 3 kilometer dari pos masuk PT HAN.

Dari sana terlihat sebuah bukit telah gundul dan sisa pohon-pohon tumbang. Area konsesi PT HAN yang terbengkalai itu telah ditanami kelapa sawit oleh warga. Sementara dokumentasi Forest Watch Indonesia (FWI) memperlihatkan hamparan biji kopi dari hasil perkebunan yang dijemur Karim di Musholla Nurul Islam dan Madrasah Anak Rimba mengering dan berceceran di lantai karena lama ditinggalkan.

Jalan di konsesi PT HAN di Kecamatan Nalo Tantan, Merangin, Kami (10/4/2025) Dok. Deduktif

Kemalangan Orang Rimba takcuma disebabkan oleh PT HAN. Kapitalis-kapitalis lain yang bercokol di hutan mereka seperti PT Persada Hidup Kahuripan (PHK) yang tergabung dalam Makin Group ikut menggebuk. Pada akhir April lalu, Selasa (29/4/2025), tiga Orang Rimba mengalami kekerasan oleh petugas keamanan dari perusahaan perkebunan sawit tersebut.

Akibat kejadian di sekitar Desa Betung Bedarah, Kecamatan Tebo Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi itu, satu Orang Rimba tewas dan dua lainnya luka-luka. Dua pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.

Manajer Program Konservasi dan Suku Adat Marginal KKI Warsi, Robert Aritonang mengatakan Orang Rimba yang kehilangan hutannya membuat mereka terpaksa mencari brondolan sawit. Aktivitas tersebut sejatinya merupakan bagian dari meramu. Namun, masyarakat maupun perusahaan menganggapnya sebagai pencurian. Bahkan Orang Rimba kerap mendapat label negatif oleh masyarakat.

Berdasarkan data KKI Warsi dalam periode 1997-2017, terdapat 25 kali konflik antara Orang Rimba dengan masyarakat desa dan pihak perusahaan. Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 18 Orang Rimba meninggal dunia.

“Semua konflik yang terjadi adalah akibat sumber daya penghidupan (hutan) yang hilang. Hal tersebut membuat Orang Rimba memungut apa saja yang ada disekitar mereka,” kata Robert saat ditemui Deduktif di Kantor KKI Warsi, Jambi, Sabtu (14/4/2025).

Data KKI Warsi menyebut, pada tahun 2015 populasi Orang Rimba berjumlah 4.065 jiwa. Populasi orang rimba paling banyak terdapat di sekitar konsesi perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit yaitu 2.199 jiwa. Kemudian di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) 1.866 jiwa.

Total Orang Rimba yang tinggal di konsesi perusahaan HTI dan HGU perkebunan sawit sebanyak 671 KK. Terdiri dari 230 KK di perusahaan HTI dan 441 KK di HGU perkebunan sawit.

Enam perusahaan HTI yang menjadi lokasi tempat tinggal Orang Rimba adalah:

  1. PT Hijau Artha Nusa yang berlokasi di Kabupaten Merangin terdapat 60 KK
  2. PT Agronusa Alam Sejahtera yang berlokasi di Kabupaten Sarolangun terdapat 55 KK
  3. PT Malaka Agro Perkasa yang berlokasi di Kabupaten Bungo terdapat 20 KK
  4. PT Mugitriman Internasional yang berlokasi di Kabupaten Bungo terdapat 20 KK
  5. PT Tebo Multi Agro yang berlokasi di Kabupaten Tebo terdapat 30 KK
  6. PT Lestari Asri Jaya yang berlokasi di Kabupaten Lestari Asri Jaya terdapat 50 KK

Sementara itu terdapat lima perusahaan HGU perkebunan sawit yang menjadi lokasi tempat tinggal Orang Rimba:

  1. PT Sari Aditya Loka (Astra) yang berlokasi di Kabupaten Merangin dan Sarolangun terdapat 220 KK
  2. PT Bahana Karya Semesta (SMART) yang berlokasi di Kabupaten Sarolangun terdapat 169 KK
  3. PT Kresna Duta Agroindo (SMART) yang berlokasi di Kabupaten Sarolangun terdapat 17 KK
  4. PT Sawit Harum Makmur, Citra Sawit Harum (Group Harum) yang berlokasi di Kabupaten Bungo terdapat 24 KK
  5. PT SKU (SMART) yang berlokasi di Kabupaten Bungo terdapat 11 KK

Obral Janji Manis Transisi Energi

Pada tahun 2015 lalu, Komisaris PT HAN, Mohamad Sukri dan Direktur Utama PT HAN, Han Man Seong beserta jajarannya pernah melakukan sosialisasi kepada warga di Kecamatan Tabir dan Tabir Ulu, Merangin. Pada pertemuan tersebut, mereka memberi janji manis membangun kerjasama pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) untuk lahan yang dikelola warga.

PT HAN berjanji membuka lapangan kerja baru serta menambah pendapatan masyarakat sekitar, terutama yang berada di sekitar areal konsesi. Perusahaan mempersilahkan masyarakat mengelola perkebunan yang masih produktif. Lahan yang kurang atau sudah tidak produktif, diminta untuk tak ditebang apalagi dibakar, karena limbah kayunya bakal digunakan untuk bahan baku wood pellet atau pelet kayu oleh perusahaan.

“Jika masyarakat sepakat, nantinya kebun yang sudah ditebang tadi, akan perusahaan bantu tanam kembali. Tentunya dengan bibit yang baik serta cara penanaman yang benar,” kata Sukri dikutip dari laman PT HAN pada 16 Juni 2015.

Direktur PT HAN Han Man Seong (kanan), Komisaris Mohamad Sukri (kedua kanan) sedang melakukan sosialisasi kepada warga tahun 2015. Laman PT HAN

Satu bulan kemudian, Al Haris yang saat itu masih menjabat sebagai Bupati Merangin membuka seremonial rencana kerja pembangunan HTI dan industri pelet kayu PT HAN di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Merangin. Al Haris meminta PT HAN tetap menjaga keseimbangan hutan alam dan kualitas lingkungan.

“Areal HTI diusahakan di hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak atau izin lainnya,’’ kata Haris dikutip dari laman PT HAN, 17 Juli 2015. Setelah menjabat sebagai Bupati Merangin, Al Haris terpilih sebagai Gubernur Jambi dua periode 2021-2025 dan 2025-2030.

Berdasarkan dokumen akta perusahaan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), PT HAN dipimpin oleh warga negara Korea Selatan, Han Man Seong sebagai direktur. Ia memiliki 30.475 lembar saham atau senilai Rp3,45 miliar.

Pemilik saham lain adalah Mohamad Sukri yang menjabat sebagai komisaris. Ia memiliki 5.025 lembar saham seharga Rp502,5 juta. Sementara pemegang saham mayoritas PT HAN adalah Woorim Energy Co., Ltd. yang berkedudukan di Bangi-dong, Songpa, Seoul, Korea Selatan.

Woorim Energy, perusahaan pembangkit listrik tenaga surya dan energi terbarukan itu menguasai 142.000 lembar saham atau setara Rp14,2 miliar. Dalam dokumen akta tercatat perusahaan ini masuk kategori penanaman modal asing (PMA). Perusahaan Woorim Energy Co., Ltd beralamat di Gangnam-gum Seoul, Korea Selatan.

Total saham dari PT HAN sebanyak 177.500 lembar saham. Jika dirinci Woorim Energy Co., Ltd memiliki saham sebesar 80%, Han Man Seong 17,16% lembar saham, dan Mohamad Sukri 2,83% lembar saham.

Tumenggung Karim mengaku pernah diberikan Surat Kerjasama Pola Kemitraan oleh PT HAN. Jika bersedia lahannya digunakan oleh PT HAN,kelompok Karim dijanjikan akan diberikan rumah, fasilitas pendidikan dan ibadah, diajari mengaji, perbaikan jalan, hingga lapangan pekerjaan. Bahkan, jika lahannya diberikan kepada PT HAN, uang tersebut dapat membeli sebuah mobil.

Karim yang mengaku tidak bisa membaca dan menulis hanya pasrah ketika PT HAN memintanya untuk menandatangani Surat Kerjasama Pola Kemitraan.

“Pas nanya orang, ternyata isi (surat kerja sama) tidak sesuai janjinya. PT HAN cuma nipu, cuma ambil kayu lalu pergi,” tutur Karim kecewa.

Berdasarkan Surat Kerjasama Pola Kemitraan Nomor : 005/SKPK/HAN/B-II/X/2019 antara PT HAN dengan warga–yang Deduktif terima–terdapat empat kesepakatan.

Pertama, PT HAN akan menanam pohon sengon di lahan milik warga. Kedua, dari hasil penanaman, warga menerima kompensasi sebesar 10% dari hasil bersih produksi tanaman sengon. Ketiga PT HAN menyatakan akan merekrut warga sekitar sebagai tenaga kerja. Keempat, PT HAN dan pemilik lahan akan mengukur bersama area yang akan digunakan dalam pola kemitraan.

Direktur PT HAN Han Man Seong (kanan), Komisaris Mohamad Sukri (kedua kanan) sedang melakukan sosialisasi kepada warga tahun 2015. Dok. Deduktif

Mantan Kepala Desa Nalo Gedang, Zuhadi menambahkan, PT HAN juga berjanji memberi uang pengganti sebesar Rp50 ribu per hektare tanah yang digunakan. Pembagiannya Rp25 ribu untuk pemilik tanah dan Rp25 ribu untuk pemerintah desa.

Berdasarkan total perhitungan, kata Zuhadi, uang yang seharusnya diberikan kepada Pemerintah Desa Nalo Gedang sebesar Rp350 juta. Namun, PT HAN hanya memberikan Rp100 juta saja.

“Masih kurang duitnya Rp250 juta. Sampai sekarang belum dibayar,” kata Zuhadi kepada kepada Deduktif melalui sambungan telepon, Kamis (17/5/2025).

Ingkar janji juga terjadi pada klausul bagi hasil 10% dari panen tanaman sengon. Sampai sekarang sengon yang ditanam oleh PT HAN belum pernah dipanen. Padahal perusahaan telah mengambil kayu hutan, dan setelahnya tidak lagi beroperasi.

Pada tahun 2021, PT HAN bersama Yayasan Mualaf Center Indonesia (MCI) Regional Jambi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Merangin, dan Bupati Merangin, Al Haris turut mengislamkan Karim beserta kelompoknya yang berjumlah sembilan orang. Upaya tersebut diduga untuk memudahkan menggusur Orang Rimba dan merebut hutan mereka.

Sebab baru hitungan bulan setelah membangun musala dan madrasah di Desa Nalo Gedang sebagai sarana Orang Rimba belajar dan mengenal agama Islam, Karim dan kelompoknya ditinggalkan. Walhasil, kini mereka bingung memilih: tetap memeluk agama Islam atau kembali sebagai Penghayat Kepercayaan.

Sayangnya, pilihan kedua bertambah sulit karena hutan mereka telah ditebang PT HAN.

Jejak Petaka HTE di Merangin

Jauh sebelum PT HAN melakukan deforestasi hutan seluas 5.059,52 hektare dengan dalih transisi energi, ternyata kehadirannya sudah ditolak warga. Pada Juni 2012, warga dari 18 desa yang wilayah administrasinya bakal masuk area konsesi perusahaan, bersama kelompok masyarakat sipil meminta pemerintah menghentikan perizinan yang diajukan PT HAN.

Mereka tergabung dalam koalisi Poros Masyarakat Kehutanan Merangin (PMKM), menilai aktivitas perusahaan bisa memperpanjang konflik lahan dan memunculkan bencana ekologis. Sebab konsesi PT HAN berdekatan dengan Sungai Mangkilam dengan vegetasi kayu hutan yang lebat.

Konsesi tersebut masuk kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kawasan tersebut merupakan lahan produktif yang masih dikelola oleh masyarakat desa.

“Area incaran PT HAN merupakan lahan penyangga TNKS, harus dijaga untuk memperkecil potensi banjir, erosi, dan bencana lain,” kata Direktur Walhi Jambi, Arif Munandar dikutip dari Antara, Senin (11/6/2012).

Belum ada satu tahun setelah penolakan warga, pemerintah tak bergeming. Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 183/Menhut-II/2013, PT HAN mendapat Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Izin tersebut memperbolehkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan tanaman industri (HTI) untuk biomassa pelet kayu.

Konsesinya tersebar di Kabupaten Merangin dan Sarolangun dengan luas 32.620 hektar, berlaku hingga tahun 2073. Area konsesinya sekitar 1,5 kali lebih luas dari kota Jambi. SK tersebut diteken Zulkifli Hasan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan (Menhut) periode 2009-2014, pada 25 Maret 2013 . Saat ini Zulhas menjabat sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).

Konsesi perusahaan di Blok I ada di Kecamatan Tabir, Tabir Ulu, dan Tabir Barat dengan luas penguasaan 11.104 hektare. Sementara itu di kawasan Blok II di Nalo Tantan dan Renah Pembarap, luas konsesinya sebesar 10.964 hektare. Kedua Blok tersebut berada di Kabupaten Merangin.Kemudian di Blok III terdapat di Kabupaten Sarolangun, mencakup wilayah administrasi Kecamatan Cermin Nan Gedang dan Limun dengan konsesi seluas 10.169 hektare.

Dalam dokumen rencana penanaman tahun 2015- 2024 yang dirilis Direktorat Usaha Hutan Produksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), PT HAN dengan kelas perusahaan kayu serat itu berencana menanam komoditi sengon seluas 18.087 hektar, dengan rincian alokasi untuk tanaman energi seluas 10.001 hektare.

Kayu sengon itu kemudian diproduksi menjadi bahan baku biomassa dalam bentuk pelet kayu sebagai bahan bakar energi terbarukan. Pelet kayu ini akan dijadikan sebagai campuran batu bara untuk (co-firing) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Persentase penggunaan pelet kayu pada co-firing kisaran 5-10%, sementara batu bara sebanyak 90-95%.

Berdasarkan riset dari Forest Watch Indonesia (FWI) di area konsesi PT HAN, perusahaan telah melakukan deforestasi hutan alam seluas 5.059,52 hektare selama periode tahun 2017-2023. Beragam jenis kayu kualitas bagus mulai dari keruing, benuang, meranti dengan diameter 70-160 cm habis digaruk oleh buldoser.

“Dari analisis berbasis peta dan melihat langsung di lapangan, realisasi tanaman sengonnya hanya 64,5 hektar saja, sementara hutan yang sudah ditebang mencapai ribuan hektare,” kata Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI Anggi Putra Prayoga saat ditemui Deduktif di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Kamis (24/4/2025).

Dari hutan yang dideforestasi, berdasarkan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH), PT HAN memperoleh 7.014 meter kubik kayu bulat selama periode tahun 2021-2023. Namun, Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK) menunjukkan sejak tahun 2021-2023 perusahaan telah mengangkut kayu bulat sebanyak 14.851 meter kubik. Dua kali lipatnya.

Setelah pemerintah membuat Undang-undang Cipta Kerja dengan skema Omnibus Law disahkan pada 5 Oktober 2020, PT HAN mengubah izin perusahaan menjadi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hasil Hutan (PBPHH). Hal tersebut didasari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: 230/Menlhk/Setjen//HPL.3/5/2021 tanggal 18 Mei 2021.

Lewat perizinan dan kebijakan multi usaha kehutanan ini, PT HAN mendapatkan izin pendirian kilang penggergajian (sawmill), pabrik triplek (plywood), dan pabrik pengolahan serbuk kayu (wood pellet). Rencananya, PT HAN akan memproduksi veneer (lembar tipis kayu), kayu gergajian, dan pelet kayu dengan kapasitas mencapai 6.000 meter kubik (m3). Lokasinya berada di Desa Pulau Aro Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin, Jambi.

Meski telah mengantongi tiga izin pengolahan kayu, kenyataannya perusahaan hanya mampu mendirikan sawmill. Mirisnya, berdasar pemantauan FWI dan Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah IV Jambi, kondisi kantor PT HAN sudah mulai roboh dan tidak memiliki atap. Bangunan yang didominasi kayu mulai lapuk dan hanya tersisa kerangka saja.

Kondisi Kantor PT HAN Dok. Deduktif

Di sekitar puing-puing kantor terdapat tumpukan berkas administrasi dan nota pemakaian barang dengan kop PT HAN. Rerumputan menjulang, menutupi hampir sekeliling kantor. Di sekeliling kantor juga terhampar balok-balok kayu yang mulai melapuk. Akses menuju titik kantor dan areal penanaman sengon sangat sulit dilalui. Jalananan menuju lokasi sudah tertutup semak belukar, ditambah kondisi jalan licin dan berlumpur. Jalan utama pun sulit dilalui karena menanjak dan menurun curam.

Berdasarkan penelusuran dari Lembaga Tiga Beradik (LTB)—lembaga nirlaba yang fokus pada isu konservasi dan pemberdayaan di Merangin–kayu-kayu alam itu tidak diolah menjadi pelet kayu maupun veneer (lapisan kayu tipis). Melainkan dijual ke sawmill yang lokasinya tidak jauh dari area kerja perusahaan di Kabupaten Merangin dan Bungo, Jambi.

Kayu tersebut dijual dalam bentuk gelondongan ke tiga lokasi penjualan kayu alam: Tempat Penimbunan Kayu (TPK) di kilometer 9 Merangin, TPK Mentang Bungo, dan PT Lestari Utama Karya (LUK) di Pamenang, Bangko Merangin.

“Itu temuan LTB setahun yang lalu berdasarkan kunjungan lapangan dan temuan dokumen di bekas rumah kerja PT HAN di lapangan,” kata Direktur LTB Provinsi Jambi, Hardi Yuda kepada Deduktif, Selasa (15/4/2025).

Manajer Administrasi dan Marketing PT HAN, Muchlisin Madras membenarkan kayu PT HAN dijual ke lokasi tersebut. Namun untuk TPK di kilometer 9 merupakan lokasi yang dimiliki oleh PT HAN untuk pengolahan kayu.

Kayu gelondongan juga dijual ke daerah Medan, Pekanbaru, Jakarta, Tangerang, hingga Surabaya. Dari sejumlah lokasi tersebut, PT HAN paling banyak menjual ke daerah Medan dengan persentase 50-60% dari total kayu yang ditebang. Sementara kayu dengan tekstur halus, PT HAN menjualnya ke PT LUK untuk diproduksi menjadi triplek.

“Penjualan kami ke PT LUK lumayan itu,” kata Muchlis saat ditemui Deduktif di JakartaRabu (23/5/2025).

Deforestasi PT HAN juga diduga merusak habitat Harimau Sumatera yang merupakan satwa yang dilindungi. Hal tersebut dibuktikan ketika Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi menangkap Harimau Sumatera di Desa Nalo Gedang, Kecamatan Nalo Tantan pada 21 April 2025 lalu.

Tempat Harimau itu ditemukan hanya berjarak 20 kilometer dari batas paling luar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) atau hanya terpisah dengan konsesi PT HAN. Harimau itu telah memangsa belasan ternak warga desa. Setelah ditangani, satwa dengan nama latin Panthera tigris sumatrae itu dilepasliarkan di TNKS pada 31 Mei 2022 lalu.

Setelah PT HAN melakukan deforestasi, pemukiman warga yang berada di sekitar konsesi jadi terdampak banjir. Pada November 2020, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Merangin melaporkan ratusan rumah di 4 kecamatan: Tabir, Tabir Ilir, Tabir Timur, dan Margo Tabir terendam banjir hingga 2 meter.

Banjir terjadi akibat meluapnya sungai Batang Tapir diduga disebabkan oleh eksploitasi hutan. Mengingat konsesi PT HAN di blok I dan II berada di dekat sungai Batang Tabir. Bahkan banjir di daerah Desa Nalo Gedang juga menutup akses jalan sehingga mengganggu aktivitas masyarakat.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, Abdullah mengatakan eksploitasi hutan yang dilakukan oleh PT HAN dapat menimbulkan bencana banjir. Sebab, hutan yang menjadi daerah tangkapan air telah dibabat perusahaan.

“Banjir datang lebih cepat, karena daerah tangkapan air sudah hancur,” kata Abdullah kepada Deduktif, Rabu (16/4/2025).

PT HAN Akui Belom Produksi Pelet Kayu

Manajer Administrasi dan Marketing PT HAN, Muchlisin Madras mengaku perusahaan asal Korea Selatan itu berhenti beroperasi sekitar tahun 2021 atau pada masa pandemi COVID-19.

Komunikasi terakhirnya dengan Direktur PT HAN, Han Mang Seong adalah ketika diberi surat kuasa untuk menjual lahan PT HAN yang ada di Kilometer 9 kepada pengusaha Bangkok. Hasil dari penjualan itu untuk membayar hutang kepada warga dan vendor yang menyewakan alat berat untuk aktivitas operasional PT HAN. Termasuk membayar hutang ke warga Desa Nalo Gedang.

“Hutang-hutang sudah terbayarkan, sehingga ke mitra kerja itu nggak ada hutang,” klaim Muchlis saat ditemui Deduktif di Jakarta, Rabu (24/4/2025).

Namun Mantan Kepala Desa Nalo Gedang, Zuhadi malah menyatakan PT HAN hingga saat ini masih berhutang sekitar seperempat milyar.

Muchlis mengaku hingga terakhir beroperasi, PT HAN baru mengambil kayu alam saja dan belum memproduksi pelet kayu dari pohon sengon. Alasan kegiatan perusahaan berhenti karena investornya, yakni PT Woorim Energy menyetop investasi kepada PT HAN.

Perusahaan telah menggelontorkan dana sebesar USD4 juta atau sekitar Rp60 miliar. Meski Muchlis merasa ragu dan mengaku tak pernah melihat bukti pengeluaran sebesar itu.

“Tapi kalau yang kami habiskan di lapangan (untuk operasional PT HAN) kayaknya nggak seberapa lah,” ucap Muchlis dengan nada ragu.

Kendati banyak pengeluaran, Muchlis mengatakan jika PT HAN juga memperoleh untung dari hasil penjualan kayu ke sejumlah daerah. Sehingga pendapatan tersebut bisa menutupi pengeluaran PT HAN. Namun, ia tak merinci berapa besar uang masuk yang diperoleh dari penjualan kayu.

“Karena banyak tuh kayu-kayu yang ditebangin buat dijual,” tuturnya.

Setelah tidak lagi beroperasi, konsesi PT HAN di Merangin dan Sarolangun terbengkalai. Bahkan, konsesi PT HAN yang berlokasi di Desa Ranggo, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun saat ini telah digunakan untuk menambang emas secara ilegal atau Penambangan Tanpa Izin (PETI) oleh warga. Ada juga warga yang melakukan penebangan kayu secara ilegal.

Teguran yang Diabaikan PT HAN

Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah IV Jambi telah melakukan pemantauan ke konsesi PT HAN pada 5 sampai 8 Maret 2024. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH), perusahaan ini telah berhenti beroperasi sejak April 2023 setelah melakukan pembabatan kayu alam sebanyak 14.851 meter kubik.

Masih menurut laporan yang sama, PT HAN juga belum menyusun dokumen (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan) RKUPH periode tahun 2024- 2034 dan Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hutan (RKTPH) periode tahun 2024.

Sementara itu, pada periode RKTPH tahun 2021-2023, tidak ada rencana dan realisasi kegiatan pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan maupun pemanenan. Tidak ada laporan kegiatan bulanan, progres tata batas, kemitraan dengan masyarakat, sertifikasi, keuangan, penanaman, produksi, dan tenaga kerja.

Kasi Pemantauan dan Evaluasi BPHL Wilayah IV Jambi, Benny Budiansyah mengatakan telah memanggil pihak PT HAN pada akhir tahun 2024 untuk memberi evaluasi dan teguran tertulis. Berdasarkan klarifikasi PT HAN, kata Benny, perusahaan tengah mengalami kesulitan modal.

Hasil monitoring dan evaluasi tersebut juga telah diberikan kepada Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Setelah menerima laporan, petugas Kemenhut juga telah melakukan monitoring ke konsesi PT HAN.

“Pada prinsipnya hasil monitoring (Kemenhut) sama dengan yang kami lakukan,” kata Benny kepada Deduktif, Senin (7/7/2025).

Ia mengatakan, BPHL Wilayah IV Jambi tidak bisa semena-mena mencabut izin konsesi PT HAN mengingat mereka sudah banyak menggelontorkan investasi.

“Kalau terkait dengan peringatan, kami menunggu dari Pusat (Kemenhut), karena yang menerbitkan surat peringatan (dari) dirjen,” ucapnya.

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga meminta pemerintah mencabut izin PT HAN dan mengembalikan lahan tersebut kepada warga di Merangin dan Sarolangun. Termasuk memberikannya kepada Orang Rimba agar mereka bisa kembali tinggal di dalam hutan.

“Karena PT HAN hanya mengambil kayu hutannya saja lalu kabur, seharusnya dicabut saja izinnya” ucap Anggi.

Berdasarkan riset FWI pada tahun 2024, kata Anggi, ada sebanyak 13 perusahaan HTE yang telah dinyatakan sebagai implementor oleh pemerintah. Jumlah konsesi tersebut telah mengakibatkan sebanyak 55.000 hektare hutan alam hilang.

Senada dengan Anggi, Tumenggung Karim berharap agar hutan yang telah ditebang PT HAN dan jalan yang rusak akibat dilintasi alat berat dapat diperbaiki lagi.

“Kalau kami Orang Rimba itu, janji ya harus ditepati, jangan cuma menipu saja. lokasi kami harus dikembalikan untuk anak suku dalam,” ucap Karim penuh harapan.

Co-firing Solusi Palsu Transisi Energi

Trend Asia–organisasi masyarakat sipil independen yang fokus pada percepatan transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Asia menyatakan, transisi energi dengan metode co-firing merupakan solusi palsu untuk mengatasi krisis iklim.

Manager Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani mengatakan pada tahun 2024 Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah mengoperasikan dan mengelola sekitar 46 PLTU yang telah menerapkan metode co-firing biomassa. Rencana, PLN akan memperluasnya menjadi 52 PLTU pada tahun 2025. Sementara itu total PLTU yang ada di Indonesia saat ini sebanyak 107 unit. 

Berdasarkan perhitungan Trend Asia, dengan asumsi penggunaan pelet kayu dan tingkat co-firing sebesar 10%, kebutuhan biomassa untuk 107 PLTU dengan kapasitas total 18,8 gigawatt adalah sebanyak 10,23 juta ton pelet kayu per tahun.

Demi memenuhi pasokan tersebut, estimasi lahan HTE yang dibutuhkan paling sedikit 2,33 juta hektare atau 35 kali luas daratan Provinsi Jakarta. Artinya, ada potensi deforestasi hutan seluas 2,33 juta hektare.

Kebutuhan pasokan biomassa tersebut diperkirakan menambah emisi gas rumah kaca Indonesia hingga 26,48 juta ton per tahun. Emisi muncul dari deforestasi, pengelolaan HTE, hingga produksi pelet kayu.

Selanjutnya, Amalya menyatakan pencampuran biomassa terbukti tak mengurangi penggunaan batubara. Berdasarkan statistik PLN 2024, penggunaan biomassa untuk PLTU co-firing mencapai 1.624.937 ton. Jumlah ini naik signifikan dibanding tahun 2023 sebanyak 990.777 ton. Pada periode yang sama, pemakaian batu bara juga ikut naik dari 69,22 juta ton (2023) jadi 71,72 juta ton (2024).

Co-firing itu solusi palsu dari transisi energi karena tetap menghasilkan emisi yang besar dan mempertahankan batu bara dalam jumlah besar,” kata Amalya kepada Deduktif, Senin (14/7/2025).

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top