KBRN, Weda: Perlahan, cahaya dari alat penerang yang melekat di kepala mulai menyibak kegelapan abadi perut bumi Sagea. Tepat di depan mata, lorong berlumpur menjadi jalan yang harus ditempuh.
Beberapa kali pula, kaki tenggelam ‘dimakan’ lumpur namun daya juang untuk menyibak tabir misteri tak pantang luntur.
Kawasan Karst Sagea yang berada di Halmahera Tengah merupakan salah satu wilayah bentang alam karst di Maluku Utara. Untuk mencapainya dari Sofifi, ibu kota Maluku Utara dibutuhkan waktu tempuh kurang lebih 4-5 jam tergantung kecepatan kendaraan.
Dalam perjalanan Sofifi – Sagea, tepatnya di daerah kawasan lingkar tambang akan memberikan kesan yang tiada terlupa. Jalan yang dipenuhi dengan debu yang beterbangan di musim kemarau dan berganti dengan jalan berlumpur di musim penghujan.
Tumpukan sampah yang berserak di pinggir jalan serta melihat ratusan manusia dengan kendaraannya yang hilir mudik seperti tanpa henti. Jadi pemandangan kontras yang menarik mata.
Semua hal tersebut bermuara pada industri tambang dengan segala infrastuktur megah yang menjadi objek perhatian dalam perjalanan menuju Sagea. Industrialisasi yang mengubah kehidupan masyarakat lokal beserta lingkungannya.
Jika dahulu masyarakat hidup dari keramahan alam kini bergantung dari proses keruk dan pengelolaan hasil bumi Halmahera. Basis pertumbuhan pun bertumpu erat pada industri tambang yang sedang menggeliat dengan segala perubahan yang melekat.
Tabir Misteri Perut Bumi Sagea
Dari literatur yang ada, kawasan Karst Sagea telah dilirik oleh penjelajah asing (tim ekspedisi Prancis) pada 1980-an. Gua Bokimoruru atau disebut juga Gua Batu Lubang merupakan ruang bawah tanah yang dieksplorasi oleh tim ekspedisi.
Laporan tim ekspedisi pada tahun 1988 mencatat bahwa panjang lorong Gua Bokimaruru yang terpetakan sekitar 7.467 meter. Pencatatan tersebut memberi status bahwa Bokimoruru merupakan ruang bawah tanah alami terpanjang di Halmahera.
Di awal Oktober 2023, tim gabungan dari RRI Ternate, Indonesian Speleological Society (ISS), serta Koalisi Save Sagea berkesempatan menjelajahi kawasan Karst Sagea. Gua Bokimoruru dan Gua Maublol menjadi dua ruang bawah tanah alami yang ditelusuri oleh tim.
Dua gua tersebut merupakan bagian dari ruang bawah tanah alami yang ‘terserak’ di wilayah Karst Sagea. Dengan potensinya, wilayah bentang alam geologis Sagea menjadi penting untuk diperhatikan dan diteliti lebih lanjut.
Bukan tidak mungkin, ‘Bokimoruru’ lain dapat ditemukan di kawasan Karst Sagea yang masih dilingkupi pekat misteri.
Menakjubkan! Decak kagum yang tiada henti terucap ketika memasuki lorong besar (chamber) Gua Bokimoruru. Chamber yang mungkin dapat dimasuki oleh pesawat terbang komersil tersebut tak henti memunculkan rasa takjub.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala ketika menyaksikannya. Bagaimana bisa ada ruang sebesar dan semegah itu berada jauh di dalam perut bumi Sagea.
Lorong demi lorong dipenuhi dengan ornamen gua (hasil dari pelarutan dan sedimentasi ribuan hingga jutaan tahun). Ornamen gua yang memiliki beragam bentuk dari yang menggantung di atap hingga melekat di dasar gua.
Tidak cukup sampai di situ, di sebuah lorong terdapat kawasan ornamen gua yang memiliki warna putih susu nan bersih. Dalam catatan tim ekspedisi penelusur asal Prancis, kawasan tersebut dinamai dengan Batu Putih. Bentang keunikan geologis yang mengundang decak kagum tiada henti.
Selama 15 jam lebih, tim menelusuri dan mendokumentasikan keindahan ruang bawah tanah Bokimoruru. Fotografer gua, Azis F. Jaya dari ISS dan juga peneliti Forest Watch Indonesia berulang kali tampak hilir mudik mengatur kesiapan tim dalam merekam keindahan kegelapan abadi.
Butuh keahlian, pengalaman, dan alat pendukung lain dalam fotografi di kondisi lingkungan yang tidak biasa. Basah, lembap, berlumpur, dan gelap menjadi tantangan dalam merekam keindahan yang diselimuti kegelapan abadi.
Jika di Bokimoruru tim melakukan penelusuran dan dokumentasi, lain hal ketika menelusuri Gua Maublol. Ada tambahan aktivitas yaitu melakukan pemetaan lorong bawah tanah alami Sagea.
Gua Maublol memiliki karakter lorong yang terendam oleh aliran sungai bawah tanah sehingga menyusurinya membuat tubuh basah kuyup karena terendam air.
Total panjang gua yang berhasil dipetakan sekitar 335,9 meter dengan menggunakan alat dan perangkat lunak pemetaan khusus. Keindahan dan keunikan geologis Gua Maublol pun tidak kalah dengan Bokimoruru yang terkenal itu.
Pendapat Penelusur
“Sangat senang sekali, selain dapat melihat keindahan juga dapat ilmu baru dalam pemetaan gua,” ucap Arul, pemuda Sagea.
Rasa takjub terlontar pula dari Adlun, salah satu inisiator gerakan perlindungan karst dan DAS Sagea. “Melihat keindahan ornamen gua, sistem sungai bawah tanah, luar biasa, saya sendiri takjub,” ucapnya.
Ancaman yang Mengintai Perut Bumi Sagea
Kini, sebaran izin usaha pertambangan (IUP) serta wisata massal yang tidak mengindahkan etika penelusuran gua menjadi ancaman perut bumi Sagea.
Sampah, vandalisme, serta izin pertambangan memiliki dampak merusak ruang bawah tanah bumi Sagea menurut Azis anggota Indonesian Spelelogical Society (ISS).
“Aktivitas wisata yang tidak dikelola dengan baik juga akan memberikan dampak merusak kelestarian lingkungan gua (Bokimoruru),” ucapnya.
Ia juga menambahkan aktivitas tambang ke depan akan mengancam kualitas air yang mengalir ke sungai bawah tanah perut bumi Sagea. “Jika ingin melestarikan Karst Sagea maka harus lindungi juga daerah aliran sungai di bagian hulu,” ujar Azis.
Harapan yang Tersemat dalam Menjaga Perut Bumi Sagea
Generasi muda sebagai generasi penerus memiliki hak untuk menikmati lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta amanat resolusi Majelis Umum PBB.
Tidak terkecuali bagi pemuda Sagea yang jauh dari ibu kota dan pantauan narasi publik. “Jangan sampai dirusak keindahan alam di Sagea oleh oknum yang tidak bertanggungjawab,” ucap Arul.
Harapan lain juga disematkan oleh Adlun yang memiliki perhatian besar terhadap kelestarian ekosistem di kampungnya. “Kami berharap kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi kebijakan terkait konsesi pertambangan, karena masyarakat bertumpu pada kawasan karst dan aliran sungai Sagea,” ucapnya.
Catatan Mario Panggabean (Angkasawan RRI, Tim Penelusur gua di wilayah Karst Sagea).
Sumber tulisan ini berasal dari RRI.co.id