Pengelolaan hutan di Indonesia dapat ditandai dengan perkembangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Hutan (IUPKH) usaha kecil seperti Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. Namun, dalam 10 tahun terakhir usaha hutan alam menurun, sampai dengan tahun 2013, hanya tinggal 22,8 juta hektar kawasan hutan produksi yang dimanfaatkan oleh 272 perusahaan HPH. Sementara dari 272 perusahaan yang memiliki izin definitif di tahun 2013 tersebut, tidak sampai 50% atau hanya 115 IUPHHK-HA yang masih aktif beroperasi. Banyaknya perusahaan IUPHHK-HA yang gulung tikar ini, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya biaya produksi tinggi akibat besarnya pungutan (resmi dan tidak resmi) dalam proses pengelolaan dan pengangkutan produk-produk kayu.
IUPHHK-HA yang semakin menurun digantikan dengan hutan tanaman dimana setiap tahun target luasannya selalu naik, sampai dengan tahun 2013 sudah melampaui luasan 10 juta hektar, yang dikelola oleh 252 unit manajemen. Dengan konsep perkebunan kayu, wilayah konsesi HTI masih menyisakan tutupan hutan seluas 1,5 juta hektar.2 Di sisi lain, luas perkebunan meningkat hampir dua kali lipat yaitu dari 5,2 juta hektar pada tahun 2004 menjadi 9,4 juta hektar pada tahun 2013. Usaha pertambangan pun naik, Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh pemerintah, mencapai 11 ribu IUP hingga Mei 2013. Sementara Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan melansir hingga Maret 2013 secara resmi hanya memberikan izin seluas 2,6 juta hektar untuk kegiatan survei eksplorasi pertambangan dan 382,5 ribu hektar untuk kegiatan eksploitasi produksi tambang yang berada di dalam Kawasan Hutan Negara.
Pada periode yang sama, usaha kecil sangat lambat perkembangannya. Ini ditunjukan dengan persentase proporsi pemanfaatan hutan antara masyarakat dan pelaku usaha. Pelaku usaha memanfaatkan sebanyak 97 persen dan hanya 3 persen dimanfaatkan oleh masyarakat secara legal (UNDP, 2013) Ini termasuk lambatnya upaya merehabilitasi kawasan hutan yang kritis, konservasi alam, maupun penetapan kawasan hutan. Situasi pengelolaan hutan tersebut tidak dapat dipisahkan dari meningkatnya konflik pemanfaatan hutan/lahan, laju deforestasi yang tetap tinggi, ketidak-adilan alokasi manfaat serta urusan-urusan tata kelola yang buruk seperti korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kebijakan perizinan online di Kementerian Kehutanan3 belum mampu mengangkat kredibilitas kebijakan usaha kehutanan tersebut (Studi Perizinan Online UNDP dan Kementerian Kehutanan, 2014) dan bahkan kepercayaan publik terhadap kebijakan usaha kehutanan tidak cukup tinggi.
Hasil penilaian beberapa prinsip tata kelola hutan dan REDD+ secara nasional menunjukkan bahwa prinsip transparansi mempunyai skor lebih tinggi (2,67) dibanding dengan skor prinsip tata kelola yang baik lainnya (UNDP Indonesia, 2013). Skala dalam penilaian ini mempergunakan 1 s.d 5, dimana nilai 1 (satu) menggambarkan kondisi tata kelola hutan yang sangat buruk dan nilai 5 (lima) menggambarkan kondisi tata kelola yang sangat baik.
Masih rendahnya indeks di atas menunjukkan bahwa upaya perbaikan tata kepemerintahan yang baik di bidang kehutanan, misalnya melalui keterbukaan informasi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.07/ Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kementerian kehutanan, Surat Keputusan (SK) No 50/2011 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan Permenhut No 18/2014 tentang Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi Kementerian Kehutanan, belum berjalan secara efektif. Aturan tersebut dibuat sebagai amanat dari UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Keterbukaan informasi merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik dan prasyarat terjadinya prinsip partisipasi publik dalam penyelenggaraan pembangunan kehutanan. Keterbukaan informasi akan mendorong kontrol dari masyarakat, sehingga penyimpangan dapat dihindari dan tindakan korupsi dapat ditekan. Kondisi tersebut diharapkan akan berimplikasi pada membaiknya pengelolaan hutan di Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana penerapan dari Permenhut tersebut? Apakah kendala kendala yang dihadapi dalam mendorong keterbukaan informasi di bidang kehutanan ?
Pelaksaan kebijakan
Pasal 13 UU Keterbukaan informasi mengamanatkan pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Menurut data Kementerian Dalam Negeri tahun 2013, jumlah PPID provinsi yang sudah terbentuk baru 22 atau sebesar 67%. Sementara, jumlah PPID kabupaten dan kota yang sudah terbentuk adalah 88 dan 34 atau sebesar 22% dan 35%.
Terbentuknya PPID itu sendiri belum merupakan jaminan informasi publik menjadi mudah dan cepat diakses. Di beberapa daerah sudah membentuk PPID tetapi belum menyusun Standart Operation Procedure (SOP), belum menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), belum ada daftar informasi publik, terbatasnya petugas layanan dan meja informasi, atau secara formal sudah ada PPID tetapi tidak cukup data. Kondisi tersebut terjadi karena masing-masing Dinas atau masing-masing eselon I di Kementerian belum menyerahkan semua data yang terbuka bagi publik kepada PPID, sehingga PPID tidak bisa menjalankan fungsi pelayanan informasi publik dengan baik. Ini yang menyebabkan pengelolaan hutan dan lahan di daerah kurang transparan.
Sistem informasi dan upaya yang dilakukan pada tingkat nasional telah cukup kuat untuk dijadikan dasar dalam melaksanakan transparansi, hanya saja sistem yang dibangun belum terintegrasi. Sedangkan pada tingkat daerah belum ditemukan sebuah upaya membangun sistem informasi tersebut. Kemampuan dan kemauan masyarakat untuk melakukan akses informasi pada tingkat nasional maupun daerah masih lemah. Upaya para aktor masih relatif lemah dalam mengaktualisasikan transparansi informasi. Sistem pooling data dan informasi juga masih sangat lemah, karena belum ada pusat data yang terstruktur dan terintegrasi. Informasi dan data teknis kehutanan masih dipegang oleh masing-masih bidang di dinas kehutanan maupun di masing masing direktorat Kementerian.