KBRN, Jayapura: Banyaknya oknum kepala daerah yang menyandang status koruptor berada di provinsi dengan indeks ‘resource-curse’ (kutukan sumber daya alam) yang tinggi seperti di Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kep. Riau, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua. Hal ini menunjukkan korelasi yang kuat antara fenomena ‘resource-curse’ dengan perilaku korupsi, terutama jika kita lihat terbukanya peluang praktek korupsi maupun kolusi yang dapat terjadi dalam pilkada serentak November 2024 mendatang di Papua.
Besarnya sumber dana kampanye yang dibutuhkan membuat oknum kandidat calon kepala daerah kerap melakukan praktek kolusi dengan para pelaku bisnis di sektor hutan dan tambang. Dengan pemberian rekomendasi izin pengelolaan sumber daya alam maupun proyek-proyek pembangunan di daerah sebagai upeti.
Mengutip dari mediaindonesia edisi 12 Juli 2024, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga menyatakan jelang pilkada hal yang harus diwaspadai yakni obral izin baru yang hanya akan mendorong kerusakan sumber daya alam Indonesia. Berdasarkan hasil riset dan investigasi yang telah dilakukan oleh FWI bersama jaringan organisasi masyarakat sipil di daerah menemukan tiga jalur obral izin kawasan hutan Indonesia yakni diantaranya pelepasan kawasan hutan, arahan pemanfaatan hutan, dan aktivasi eks HPH.
Kutukan keberlimpahan Sumber Daya Alam (SDA) dapat terjadi karena rakyat tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari kekayaan alam yang mereka miliki, akibat kerusakan alam secara ugal-ugalan, konflik sosial, hingga kesenjangan pembangunan terus membayangi. Apalagi terjadinya kutukan sumber daya alam di Papua salah satunya didorong oleh kebijakan pemberian izin pada usaha berbasis lahan, baik itu untuk pertambangan, perkebunan kelapa sawit maupun perkebunan kayu.
Berbicara tentang kekayaan tambang di Papua, salah satu perusahaan yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah adalah PT Freeport Indonesia (PTFI) Tahun 2024 dengan produksi bijih tembaga mencapai 956 juta ton atau tumbuh 76,05 persen (y-o-y) sedangkan produksi emas naik 67,76 persen menjadi 968 ribu ounce. Parahnya izin usaha pertambangan saat ini semakin meluas menjadi 436,5 ribu hektar. Bahkan jika merujuk pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan di Tanah Papua kurang lebih 90 persen tanah Papua merupakan wilayah yang terancam untuk terus dieksploitasi. Namun nyatanya eksploitasi tambang tersebut belum mampu mendongkrak pembangunan masyarakat asli setempat.
Hal yang menjadi sorotan adalah bagaimana komitmen kepala daerah terpilih ke depan nya agar terhindar dari eksploitasi sumber daya alam, serta bagaimana masyarakat bisa jeli memilih pemimpin, sehingga peluang kolusi maupun korupsi SDA bisa dicegah.
Kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada 2015 mencatat, biaya untuk pemenangan pilkada memang besar. Untuk mengikuti pemilihan bupati/wali kota, dibutuhkan sekitar Rp20 miliar hingga Rp30 miliar bagi seorang bakal calon. Sementara untuk gubernur, kocek yang disiapkan sekitar Rp20 miliar hingga Rp100 miliar. Tingginya biaya politik sangat berpotensi mengakibatkan pengembalian upeti salah satunya dalam bentuk penyalahgunaan potensi SDA yang diramu dalam APBD guna pembiayaan proyek program daerah.
Provinsi Papua dengan salah satu daerah penghasil tambangnya yang dominan dibandingkan sektor nontambang seperti di Timika pun, secara kasat mata dapat kita lihat tidak luput dari virus kutukan sumber daya alam. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua masih cenderung rendah. IPM Papua Barat dan Papua jauh di bawah rata-rata IPM nasional, yakni 72,91. Berdasarkan data Kemendagri data 2022, IPM Papua Barat berada di level 65,89 lebih baik daripada IPM Papua yang sebesar 61,39. Meski begitu, secara keseluruhan, IPM di Tanah Papua masih sangat rendah.
Ketergantungan yang besar terhadap SDA tambang, baik dalam nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) maupun DBH (Dana Bagi Hasil) Sumber Daya Alam (SDA) di Papua, tidak akan dapat menjamin terciptanya kinerja pembangunan dan menjamin kesejahterahan masyarakat Papua.
Pengelolaan SDA dan DBH SDA yang tidak transparan dan akuntabel akan dengan mudah membuka celah diperdagangkannya aset SDA demi kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga sangat rawan jalan pintas terjadinya korupsi pada jalur ini. Walaupun pada amanat UUD 1945 Pasal 33 bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun faktanya kemakmuran masyarakat masih rendah.
Melihat amanat undang-undang Otonomi Khusus Papua yang mengamanatkan besarnya dua persen dalam (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001) yang kemudian direvisi menjadi 2,25 persen (UU Nomor 2 tahun 2021) dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional faktanya juga tidak berdampak signifikan terhadap pembangunan di Papua.
Dari pengalaman saya berjalan-jalan di pelabuhan Pomako dan dapat melihat masyarakat asli Timika yaitu dari suku Amungme dan suku Kamoro atau Mimika Wee hanya menjadi tenaga kerja buruh lepas di pelabuhan, dan tinggal di bawah garis kemiskinan di sekitaran rawa-rawa. Permasalahan ini yang perlu diitelusuri dengan serius.
Sekelas daerah Timika saja yang merupakan salah satu pusat penghasil SDA yang cukup banyak, tetapi dari sisi orang aslinya belum terlihat keseimbangan kesejahterahan yang diperoleh dengan hasil dan potensi sumber daya alam tambang yang dimiliki.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di Kabupaten Mimika pada tahun 2022 mencapai 14,28 persen, dari angka pada tahun sebelumnya 14,17 persen. Atau pada angka absolutnya dari 30.950 naik menjadi 31.580 di tahun 2022. Tidak sedikit penelitian di universitas yang membahas fenomena ‘resource curse’ ini berbanding lurus dengan adanya gejala potensi korupsi pemerintahan, permasalahan izin usaha, potensi suap dan gratifikasi, konflik kepentingan hingga integritas dan komitmen dari kepala daerah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengelolaan keuangan yang belum transparan dan komitmen pimpinan daerah yang abu-abu. Walaupun secara umum relasi antara pusat dan daerah sering kali tidak harmonis, karena ketidakpuasan daerah kepada pusat bahkan sering terjadi tarik menarik kewenangan dan perubahan-perubahan kebijakan, namun seharusnya ini tidak boleh dijadikan pemicu tidak transparan nya pengelolaan keuangan.
Justru seharusnya menjadi sebuah tantangan bagi kepala daerah terpilih yang mendapatkan amanah menjadi pemimpin, untuk memberikan komitmennya dalam mengawasi kerbermanfaatan maupun keberlangsungan SDA dalam mengembangkan potensi di tiap daerah demi kesejahteraan rakyat papua.
Obral izin di tengah masa transisi pemerintahan daerah harus diwaspadai sebagai upaya penguasaan hutan dan lahan Indonesia yang dapat menghilangkan eksistensi masyarakat-masyarakat adat dan membuka jalan tikus korupsi semakin melebar. Selain itu, diperlukan kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi, terutama mendukung pemilukada 2024 yang Langsung Umum Bebas Rahasia serta Jujur.
Tugas besar bagi kepala daerah terpilih pada pesta demokrasi 2024 di Papua yakni bagaimana para pimpinan menjawab tantangan dan ancaman kutukan sumber daya alam dalam lima tahun ke depan. Hal tersebut terutama pada masa jabatan mereka dan bagaimana transparansi pengelolaan keuangan daerah dapat dipertanggungjawabkan dalam kaitannya pengelolaan hasil dari SDA serta keberlanjutan nya bagi masyarakat asli setempat.
Pengawasan publik serta transparansi lalu lintas dana mesti dimaksimalkan salah satunya melalui pemanfaatan UPTD (Unit Pelaksanaan Teknis Daerah) setiap instansi, kemudian system pengelolaan keuangan harus jelas menggunakan virtual account atau meningkatkan digitalisasi keuangan, misalnya bisa menjadi suatu solusi yang wajib dipertimbangkan.
Dengan demikian transparansi pemasukan daerah termasuk melalui UPTD diharapkan dapat meningkatkan PAD dan dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat asli setempat. Selain itu jika PAD daerahnya meningkat tentu saja tunjangan bagi para pegawai juga ikut menyesuaikan, sehingga dapat menutup celah terbukanya salah peluang terjadinya korupsi terutama di lini instansi.
Sumber tulisan ini berasal dari rri.co.id