Pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) menggantikan UU No 5 Tahun 1990 tentang KSDAE. Meski mengklaim sebagai pembaruan regulasi namun beleid ini dianggap menganut konsep usang konservasi dan perlindungan ekosistem. Malah masih nir keberpihakan pada ekosistem. Kelompok masyarakat sipil menilai UU KSDAHE belum mengakomodasi kepentingan masyarakat dan belum bisa menjawab tantangan konservasi selama ini. Penyelenggaraan konservasi pada peraturan baru ini ketinggalan zaman.
Pemerintah masih berkutat pada tiga pilar konservasi, yakni pemanfaatan, pengawetan, dan perlindungan. Sedangkan realitas lapangan peran pengetahuan, kearifan, dan kemampuan masyarakat adat memiliki peran signifikan dalam kerja konservasi. Titik berat konservasi seharusnya dilakukan secara inklusif dengan mengakui dan menghargai subjek masyarakat dan masyarakat adat sebagai pelaku konservasi. Sayangnya pelibatan masyarakat adat ini lenyap dalam pembahasan di DPR.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menyebut Indonesia menyepakati Konvensi Keanekaragaman Hayati pada konferensi COP 15 (CBD COP-15) di Montreal pada 2022. Pemerintah seharusnya memanfaatkan momentum ini untuk menuangkan komitmen kuat perlindungan keanekaragaman hayati dalam UU KSDAHE.
“Ada pergeseran paradigma konservasi yang tertuang dalam konvensi ini. Salah satunya peran masyarakat adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati yang amat jelas disebut di sana. Masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal dan peranan krusial yang selama ini mampu menjaga alam dan biodiversitas. Libatkan mereka secara bermakna. Mulai dari perencanaan hingga implementasinya,” kata dia.
Pengaturan kawasan dalam perundangan ini pun justru berisiko menghadapkan konflik antara masyarakat adat dengan pengelolaan konservasi, seperti Taman Nasional. Pengaturan fungsi kawasan Areal Preservasi meliputi area penyangga di wilayah konservasi, koridor satwa, kawasan dengan nilai konservasi tinggi, area konservasi kelola masyarakat dan daerah perlindungan kearifan lokal tercantum dapat dikelola yang mempunyai pemegang hak/izin. Pemegang hak atas tanah di Areal Preservasi wajib melakukan kegiatan konservasi di tanah mereka. Jika tidak, hak atas tanah akan dicabut kembali hak pengelolaannya.
Ayut Enggeliah, dari Perkumpulan Sawit Watch, menyebutkan pada ketentuan lain, UU KSDAHE juga menyebutkan hutan adat sebagai salah satu bagian dari dari kawasan padahal hutan adat tidak hanya difungsikan untuk konservasi semata. “Jelas ketentuan ini berbahaya karena ada potensi negara akan mengatur secara sentralistik, sehingga konflik seperti antara masyarakat adat dengan taman nasional selama ini akan terus berulang,” kata dia.
Koordinator hukum dan advokasi Garda Animalia, Muhamad Satria Putra, mengungkapkan peraturan ini pun masih berkutat pada frasa keanekaragaman hayati yang dilindungi dan tidak dilindungi. Frasa tersebut mengancam keberlangsungan jenis tumbuhan maupun satwa liar yang tidak dilindungi di alam liar. “Karena tidak dilindungi, maka perburuan hingga perdagangan tumbuhan dan satwa liar tersebut akan tetap marak sehingga dapat merusak populasinya di alam liar,” ungkapnya.
Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU KSDAHE, menyebutkan penggunaan frasa ini didasari oleh kondisi populasi dari alam, aspek perlindungan, dan penerapannya lebih sederhana dan dapat diimplementasikan. Namun masalahnya pemerintah tak memiliki data pasti terkait populasi tumbuhan maupun satwa liar di Indonesia. Bahkan, kata dia, terdapat satwa liar yang masuk ke dalam jenis tidak dilindungi akan tetapi berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkannya ke dalam daftar merah terancam punah.
Implikasi terhadap frasa dilindungi dan tidak dilindungi berpengaruh pada penegakkan hukum. Selama ini penegakkan hukum kejahatan terhadap satwa liar dinilai rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera. Hal tersebut disebabkan, dalam memutuskan perkara Majelis Hakim hanya mengacu pada unsur satwa tersebut termasuk satwa liar dilindungi. “Padahal tidak semua satwa liar memiliki nilai valuasi yang sama. Oleh karena itu, sudah seharusnya RUU KSDAHE mampu mengakomodasi pembagian perlindungan satwa berdasarkan tingkat keterancaman punah, tingkat kesulitan merehabilitasi, dan aspek lainnya,” ungkapnya.
Regulasi ekosistem nir ekosistem
Juru Kampanye Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, menegaskan bahwa publik membutuhkan kualitas UU yang mampu menjawab permasalahan lingkungan dan krisis iklim ke depan. Data FWI menyebutkan bahwa 90 persen kerusakan sumber daya alam berupa hutan dan ekosistem penting lainnya terjadi di luar kawasan konservasi. Publik menantikan lahirnya kebijakan yang bisa melindungi sumber daya alam dari modus-modus eksploitasi untuk menjamin hak kualitas lingkungan yang lebih baik.
UU baru ini justru sama sekali tidak membahas, mengatur, dan bahkan menyebutkan jenis-jenis ekosistem yang ada di Indonesia. Misalnya saja ekosistem mangrove, ekosistem gambut, dan ekosistem karst. Pengaturan areal preservasi tidak akan bisa menjawab tantangan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang sesungguhnya. Pertama, preservasi merupakan jebakan kebijakan bagi Pemerintah Daerah.
Urusan Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi, termasuk Areal Penggunaan Lain (APL) sesuai UU No 23 Tahun 2014 menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi namun 14,2 juta hektare sumber daya alam justru berada di dalam konsesi (tambang, kebun, kehutanan) di bawah kementerian.
Kedua, tidak ada sama sekali menyebutkan pengaturan soal status perlindungan dan pengelolaan setiap jenis ekosistem di Indonesia. “Dan ketiga, areal preservasi tidak bisa disamakan dengan kawasan ekosistem esensial dan Other Effective Area-Based Conservation Measures (OECM), karena tidak mengenal collaborative management sebagai kunci keberhasilan konservasi yang inklusif, kata Anggi.
Sumber tulisan berasal dari Betahita.id