- Pada 29 September lalu, Presiden Prabowo Subianto, berpidato dalam Sidang Majelis Umum ke-80 PBB, New York, Amerika Serikat. Prabowo lantang menyampaikan komitmen Indonesia sebagai negara pusat solusi global dalam menangani krisis iklim dan pangan.
- Jaya Darmawan, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), paparkan fakta kebalikan dari yang presiden klaim bahwa Pemerintah Indonesia mencatat produksi beras dan cadangan gabah tertinggi dalam sejarah, serta jadi lumbung pangan dunia. Pada kenyataan, data Badan Statistik Nasional (BPS), luasan sawah di Indonesia turum dari 10,21 juta hektar pada 2023 jadi 10,05 juta hektar pada 2024. Dampaknya, panen juga turun, dari 53,98 juta ton pada 2023 jadi 53,14 juta pada 2024.
- Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, akar masalah krisis iklim berawal dari ketidakadilan dan ketimpangan. Merujuk riset Celios pada 2024 yang menyebut kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Dan, sebanyak 56% dari kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia bersumber dari sektor ekstraktif.
- Saffanah Azzahra, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, target bauran energi terbarukan Indonesia justru mundur. Kebijakan Energi Nasional (KEN) terbaru menyebutkan hanya 19-23% bauran energi pada 2030 dari energi terbarukan.
Pada 29 September lalu, Presiden Prabowo Subianto, berpidato dalam Sidang Majelis Umum ke-80 PBB, New York, Amerika Serikat. Prabowo lantang menyampaikan komitmen Indonesia sebagai negara pusat solusi global dalam menangani krisis iklim dan pangan. Berbagai kalangan menilai, yang dia sampaikan tak mencerminkan kondisi di Indonesia. Soal implementasi komitmen iklim dalam Perjanjian Paris tidak konsisten dan kedaulatan pangan masih jauh, serta banyak konflik agraria hingga pelanggaran HAM. Saat itu, Prabowo klaim, Indonesia mencapai swasembada pangan. Produksi beras dan cadangan gabah tertinggi dalam sejarah.
Catatan ini, katanya, membuat Indonesia membantu negara lain menghadapi krisis pangan dengan ekspor beras, termasuk Palestina. Klaimnya, Indonesia membangun rantai pasokan pangan yang tangguh, memperkuat produktivitas petani. Memaksimalkan investasi sektor pertanian untuk memastikan keamanan pangan bagi anak-anak Indonesia dan dunia. “Kami yakin dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan menjadi lumbung padi dunia,” katanya.
Pemerintah Indonesia juga berencana reforestasi 12 juta hektar kawasan terdegradasi. Jadi, selain mengatasi perubahan iklim, juga memberdayakan masyarakat lokal dengan pekerjaan hijau yang berkualitas untuk masa depan. Pada sektor energi, katanya, Indonesia tegas beralih dari pembangunan berbasis bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Mulai 2026, kata Prabowo, sebagian besar kapasitas pembangkit listrik tambahan Indonesia berasal dari energi terbarukan. “Tujuan kami jelas untuk mengeluarkan semua warga negara kami dari kemiskinan dan menjadikan Indonesia sebagai pusat solusi bagi ketahanan pangan, energi dan air.”
Dia bilang, upaya Pemerintah Indonesia sejalan dengan perjanjian Paris 2015 dalam mencapai emisi nol bersih pada 2060. “Kami sangat yakin kami dapat mencapai emisi nol bersih jauh lebih awal,” kata Prabowo.

Persoalan pangan
Jaya Darmawan, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), paparkan fakta kebalikan dari yang presiden klaim bahwa Pemerintah Indonesia mencatat produksi beras dan cadangan gabah tertinggi dalam sejarah, serta jadi lumbung pangan dunia.
Pada kenyataan, data Badan Statistik Nasional (BPS), luasan sawah di Indonesia turum dari 10,21 juta hektar pada 2023 jadi 10,05 juta hektar pada 2024. Dampaknya, panen juga turun, dari 53,98 juta ton pada 2023 jadi 53,14 juta pada 2024.
Data BPS dan berbagai sumber menunjukkan total produksi beras di Indonesia kurun 2020-Agustus 2025 mencapai 180,92 juta ton. Meski begitu, katanya. kinerja Indonesia di sektor beras tak konsisten. Bahkan, impor beras Indonesia lebih tinggi dari ekspor. Impor beras Indonesia 8,9 juta ton (periode 2020-Juni 2025). Pada 2024, Indonesia mengimpor beras mencapai 4,52 juta ton, tertinggi selama tujuh tahun terakhir. Sedangkan, total ekspor pada periode 2020-April 2025 hanya 11.446 ton. “Jadi, Indonesia landscape-nya dari sisi ketahanan tangan masih sangat tergantung dengan impor,” ucap Jaya.
Pemerintah melancarkan program swasembada pangan dengan mencetak lahan sawah baru dan lumbung pangan di berbagai daerah tanpa perhitungan matang. Pada prosesnya, program ini justru banyak mendapat kritik karena berdampak kerusakan lingkungan, perampasan lahan hingga pelanggaran HAM.

Dia contohkan, proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) bukan barang baru di Indonesia. Walaupun hadir dalam baju berbeda sejak rezim Soeharto, tetapi kegagalan selalu mengikuti proyek ini. Pada akhirnya, proyek ini hanya menghabiskan anggaran negara. Dalam dua tahun terakhir, anggaran rakyat sudah habis ratusan triliun.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, alokasi dana untuk ketahanan pangan sebesar Rp114,3 triliun atau naik 13,4 triliun dari 2023 yaitu Rp100,9 triliun mencakup food estate. Pada 2025, pemerintah mengalokasikan anggaran pangan Rp124,4 triliun dan Rp164,4 triliun untuk 2026. Prabowo menyediakan 20 juta hektar lahan untuk pangan, termasuk energi.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, hasil analisis spasial, dari 20 juta hektar, 46% lahan sudah teralokasi untuk program itu. “Itu hanya untuk memenuhi kebutuhan Indonesia. Nanti kalau untuk memenuhi kebutuhan dunia lebih besar lagi. Itu kan menjadi challenge dan menjadi ancaman juga kalau memang tidak melalui perencanaan matang.”
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia menilai pidato Prabowo tentang hak asasi manusia sekilas selaras dengan politik nasional. Dia bilang, diplomasi Indonesia di dunia internasional hanya bermakna jika sejalan dengan komitmen keadilan iklim, keadilan pangan dan penghormatan HAM di dalam negeri. ”Untuk apa memoles gincu di luar negeri, jika hak asasi manusia di dalam negeri diabaikan,” katanya

Ketimpangan
Nadia mengatakan, akar masalah krisis iklim berawal dari ketidakadilan dan ketimpangan. Dalam pidato, Prabowo hanya menyampaikan solusi teknis dalam mengatasi krisis iklim yang tak bisa menjawab akar permasalahan sebenarnya. Sampai saat ini, katanya, Indonesia belum menyerahkan second nationally determined contribution (SNDC), padahal tenggat berakhir 20 September 2025. “Mengapa cara pandangnya langsung lompat ke solusi teknis dan tidak menelaah akar masalah tentang pengelolaan sumber daya dan keanekaragaman hayati,” kata Nadia.
Merujuk riset Celios pada 2024 yang menyebut kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Dan, sebanyak 56% dari kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia bersumber dari sektor ekstraktif. Ambisi hilirisasi sumber daya mineral di Indonesia, misal, justru berdampak pada ketidakadilan HAM dan ketimpangan.
Di Halmahera, Maluku Utara dan Sulawesi dengan cadangan nikel terbesar misalnya justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan kemiskinan, alih-alih mensejahterakan.
Data Badan Pusat Statistik mencatat, hingga 2024 jumlah masyarakat miskin di Maluku Utara mencapai 83.090 orang, meningkat 3.190 orang kurun 10 tahun (79.900 masyarakat miskin pada 2015). Tingkat kemiskinan tertinggi saat ini di Halmahera Timur sebesar 11,91% dan Halmahera Tengah 10,71%.
Sedangkan, di Sulawesi, hingga 2025, jumlah orang miskin mencapai 1.846.000. Sulawesi Selatan adalah provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar se-Sulawesi sebanyak 698.000 orang. Penduduk miskin terendah di Sulawesi yakni Sulawesi Barat 152.000 orang. “Siapa yang sebenarnya menikmati hasil ekonomi ini?” katanya.
Nadia mengatakan, perlu ekonomi restoratif untuk memulihkan dan meregenerasi lingkungan dan memperkuat keadilan sosial. Bukan hanya fokus pada target pertumbuhan ekonomi 8% yang justru bisa mengorbankan hutan dan biodiversitas. “Reforestasi penting, tapi lebih penting lagi mencegah deforestasi ke depan. Kalau tidak hati-hati, ambisi ketahanan pangan dan energi bisa mengancam sisa hutan yang masih ada,” katanya.
Untuk mengatasi krisis iklim, solusi nyata adalah pensiun dini PLTU batubara dan keluar dari ketergantungan bahan bakar fosil. Indonesia masih dominan PLTU batubara yang berdampak pada krisis iklim. Jumlah PLTU batubara di Indonesia 253 unit, dengan kapasitas terpasang sekitar 45.350 MW pada 2023.
Indonesia menambahkan 1,9 GW kapasitas batubara pada 2024 tertinggi ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan India. Sekitar 80% dari kapasitas baru ini dari PLTU captive, khusus untuk kawasan industri pengolahan nikel, kobalt, dan aluminium yang mendukung pasar kendaraan listrik yang sedang tumbuh pesat. “Kita ini sedang mengalami ada kegiatan struktural, bahwa ada dominasi energi fosil dan ada eksploitasi energi.”
Saffanah Azzahra, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, target bauran energi terbarukan Indonesia justru mundur.
Kebijakan Energi Nasional (KEN) terbaru menyebutkan hanya 19-23% bauran energi pada 2030 dari energi terbarukan. Padahal, KEN sebelumnya, menyebutkan, target peran energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025 paling sedikit 23%, dan 31% pada 2050.
Dalam laporan statistik energi dan ekonomi Indonesia pada 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyebutkan, kenaikan bauran energi terbarukan rendah, hanya 1% rata-rata per tahun, pada 2023 capaian baru 13,12%. Dia bilang, salah satu upaya mencapai target NDC dalam Perjanjian Paris, sektor ketenagalistrikan dengan mempensiunkan PLTU batubara. Namun, ini belum Pemerintah Indonesia lakukan.
Dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Pemerintah Indonesia baru merencanakan pemensiunan PLTU batubara pada 2030, berakhir di 2060. Saffa bilang, dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan (RUKN), Indonesia masih merencanakan penggunaan batubara sampai 2060.
Padahal presiden menyampaikan pada 2026, sebagian besar tenaga listrik Indonesia berasal dari energi terbarukan. “Nyatanya, dalam langkah transisi energi di Indonesia, subsidi batubara di Indonesia ini masih signifikan,” kata Saffa. Saat ini, 79% bahan bakar tenaga listrik Indonesia dari fosil, 59% merupakan batubara, 20% minyak.

Alih-alih mempensiunkan, pemerintah lantas mengambangkan teknologi co-firing biomassa yang dianggap mampu menurunkan emisi dari PLTU batubara.
Co-firing adalah teknologi pembakaran dua jenis bahan bakar yang berbeda secara bersamaan dalam satu sistem yang sama untuk mengurangi emisi. Teknologi ini, katanya, justru berdampak pada kerusakan lingkungan yang berimplikasi krisis iklim.
Data Forest Watch Indonesia, bahan bakar co-firing 52 PLTU, sesuai dengan ambisi PLN pada 2025, berisiko deforestasi 4,65 juta hektar. Jaya menambahkan, data produksi batubara pun tetap naik ketika ada co-firing. Belum lagi, Indonesia banyak mengekspor palet kayu (wood chips) ke Jepang dan Korea.
Riset kolaborasi Yayasan Auriga Nusantara, Earth Insight, Forest Watch Indonesia (FWI), Trend Asia, Mighty Earth, dan Solution for Our Climate (SFOC) mencatat, ekspor pelet kayu rentang 2021-2024 ke Korsel 220.749,2 ton dan Jepang 106.868,4 ton, serta lain-lain sekitar 737,8 ton.
Ekspor pelet kayu jalur laut terdeteksi paling besar di Gorontalo 50,18%, lalu dari Tanjung Emas, Semarang 34,53%, dan Tanjung Perak, Surabaya 8,24%. Ekspor pelet kayu untuk energi mengalami peningkatan periode 2020-2024, dari 2.028 metrik ton pada 2020 mencapai 6.831 metrik ton pada 2024.
Sumber berita Mongabay.co.id