Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim deforestasi di Indonesia pada 2021-2022 menjadi yang terendah sepanjang sejarah. Namun, masyarakat sipil menganggap, tren penurunan angka deforestasi tersebut semu, sebab peningkatan angka deforestasi masih mungkin terjadi di tahun-tahun mendatang.
Berdasarkan data KLHK per Januari 2024, deforestasi neto Indonesia pada 2021-2022 sebesar 104 ribu hektare. Jumlah itu memperlihatkan penurunan jika dibanding periode 2020-2021 yang mencapai 113,5 ribu hektare. Adapun deforestasi tertinggi terjadi pada periode 1996 sampai 2000, sebesar 3,5 juta hektare per tahun. Sedangkan sepanjang periode 2002-2014 tercatat 0,75 juta hektare per tahun, dengan titik terendah laju deforestasi terjadi pada 2022 sebesar 104 ribu hektare.
Adalah Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), Agus Justianto, yang menyampaikan hal tersebut saat membuka seminar peringatan Hari Pers Nasional, Minggu (18/2/2024). Agus mengatakan, pemerintah terus melakukan berbagai pendekatan pembangunan sektor kehutanan yang tidak hanya menekan laju deforestasi tapi juga pemanfaatan hutan berkelanjutan.
“Atas langkah kerja yang telah ditempuh oleh pemerintah, sebagai contoh beberapa yang berupa indikator kinerja pembangunan sektor kehutanan dapat diturunkan menjadi penurunan emisi gas rumah kaca sektor kehutanan, yang salah satunya adalah ukuran pencapaian tingkat laju deforestasi terendah dalam sejarah kehutanan Indonesia selama ini,” kata Agus, dikutip dari Antara.
Deforestasi masih memungkinkan meningkat
Muhammad Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan, Greenpeace Indonesia, mengatakan KLHK boleh saja mengklaim penurunan laju deforestasi di Indonesia sebagai prestasi kinerjanya. Tapi itu hanya berlaku dalam kasus penebangan hutan alam yang tak terencana atau ilegal. Sebab KLHK nyatanya tak mampu menghentikan deforestasi yang dilakukan perusahaan di areal konsesinya.
“Laju deforestasi menurun bisa dibilang sebagai prestasi kinerja KLHK terutama untuk deforestasi ilegal, tapi untuk deforestasi legal KLHK tak melakukan apapun,” ujar Iqbal, Senin (19/2/2024).
Dilihat dari data KLHK, lanjut Iqbal, deforestasi pada 2022 masih terjadi di areal konsesi, baik perkebunan sawit maupun perhutanan. Deforestasi di perkebunan sawit misalnya, luasnya sekitar 28,5 ribu hektare, terjadi di wilayah Maluku (119,8 hektare), Sulawesi (1,6 ribu hektare), Papua (3,3 ribu hektare), Sumatra (5,2 ribu hektare), dan Kalimantan (18,3 ribu hektare). Sedangkan deforestasi yang berada di konsesi hutan tanaman industri (HTI) seluas 36,6 ribu hektare, terjadi di Sumatra (7,9 ribu hektare), Kalimantan (27,9 ribu hektare), Sulawesi (466,3 hektare), Papua (56,4 hektare), dan Jawa Bali Nusa Tengara (8,1 hektare).
Iqbal memperkirakan deforestasi di tahun-tahun mendatang masih akan terjadi di Indonesia, bahkan mungkin meningkat angkanya. Sebab masih ada hutan alam tersisa cukup luas dalam konsesi. Iqbal menyebut aktivitas penebangan hutan alam di dalam konsesi dengan istilah deforestasi terencana atau deforestasi legal. Masih berdasarkan data KLHK, lanjut Iqbal, hutan alam tersisa di dalam konsesi perkebunan sawit luasnya sekitar 3,4 juta hektare. Sementara, pada konsesi HTI, luas hutan alam tersisa mencapai 2,7 juta hektare.
“Hutan alam tersisa di dalam konsesi ini seperti menunggu untuk ditebang saja. Jadi akan ada masanya deforestasi tinggi. Penurunan angka deforestasi itu semu. Jadi deforestasi akan meningkat di tahun berikutnya masih sangat mungkin terjadi,” ujarnya.
Menurut Iqbal, penyelamatan hutan alam tidak bisa hanya dengan menerapkan moratorium penerbitan izin baru di hutan primer. Sebab meski moratorium izin diberlakukan, seperti sekarang, penebangan hutan alam di dalam konsesi masih tetap terjadi. Pemerintah, terutama KLHK, mestinya memberlakukan moratorium penebangan hutan alam juga.
Angka Deforestasi Versi GFW
Global Forest Watch (GFW) punya versi lain angka deforestasi di Indonesia. Menurut data GFW, sejak 2001 hingga 2022, hutan primer yang hilang di Indonesia mencapai angka kurang lebih 10.295.005 hektare, dan dalam enam tahun terakhir angkanya memang lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Data GFW menunjukkan kehilangan hutan primer di Indonesia mulai turun sejak 2017, yang luasnya sebesar 373.255 hektare, dari tahun sebelumnya yang mencapai 928.660 hektare (tertinggi sejak 2001). Di tahun-tahun berikutnya angkanya terus menurun, yakni 2018 seluas 339,888 hektare, dan 2019 seluas 323.646 hektare.
Kehilangan hutan primer di Indonesia masih terus menurun, pada 2020 seluas 270.057 hektare, dan 2021 seluas 202.905 hektare. Namun pada 2022, angka kehilangan hutan primer sedikit lebih besar dari 2021, yakni seluas 230 ribu hektare, atau setara dengan 177 juta ton emisi CO2.
“Sebanyak 107 kha (ribu hektare) dari kehilangan tersebut ditemukan berada di dalam kelas tutupan lahan hutan resmi Indonesia dan dengan ukuran patch (petak) yang lebih besar dari dua hektare menurut analisis KLHK-WRI,” kata GFW dalam situs resminya.
GFW memberi catatan, sebagian besar hilangnya hutan primer di Indonesia, menurut analisis GFW, terjadi di kawasan yang diklasifikasikan Indonesia sebagai hutan sekunder dan tutupan lahan lainnya, seperti pertanian lahan kering campuran, perkebunan, hutan tanaman, semak belukar dan lain-lain. Hal ini disebabkan definisi hutan primer GFW berbeda dengan definisi dan klasifikasi hutan primer resmi di Indonesia. Oleh karena itu, statistik GFW mengenai hilangnya hutan primer di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan statistik resmi Indonesia mengenai deforestasi di hutan primer.
Hutan alam yang hilang sekitar 2,4 juta hektare per tahun
Sementara itu, menurut Forest Watch Indonesia (FWI), dalam rentang waktu 2017-2021 luas hutan alam yang hilang di Indonesia mencapai angka 9,6 juta hektare. Yang mana pada 2017 luas hutan alam di Indonesia masih berada di angka 96,4 juta hektare, sedangkan pada 2021 menyusut menjadi 86,7 juta hektare.
“Kalau rata-rata per tahunnya 2,4 juta hektare, atau setara dengan 6 kali luas lapangan sepakbola per menit. Angkanya sangat jauh dengan KLHK. Tapi secara metodologi bisa di pertanggungjawabkan,” kata Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif FWI, Senin (19/2/2024).
Angka kehilangan tutupan hutan alam 2017-2021 ini, menurut Mufti, menggiring Indonesia pada jurang krisis iklim. Situasi ini memperlihatkan bahwa hutan Indonesia tidak dalam keadaan baik. Tingginya tingkat kerusakan sumber daya hutan terjadi hampir di setiap region.
Region Kalimantan misalnya, masih menunjukkan nilai rata-rata deforestasi sebesar 1,11 juta hektare per tahun, diikuti Papua 556 ribu hektare per tahun, Sumatera 428 ribu hektare per tahun, Sulawesi 290 ribu hektare per tahun, Maluku 89 ribu hektare per tahun, Bali Nusa 38 ribu hektare per tahun, dan Jawa 22 ribu hektare per tahun. Kerusakan hutan-hutan di Indonesia yang rupanya sangat masif ini terkuak dengan makin canggihnya teknologi penginderaan jauh yang mampu menghitung kerusakan hutan lebih detail.
Mufti mengungkapkan, deforestasi juga terjadi di pulau-pulau kecil. Dari total luas pulau-pulau kecil Indonesia, ada sekitar 874 ribu hektare atau 13% dari total luas daratan pulau-pulau kecil yang telah dibebani izin industri ekstraktif SDA. Seperti penebangan hutan sekitar 310 ribu hektare, tambang sekitar 245 ribu hektare, hutan tanaman sekitar 94 ribu hektare, perkebunan sekitar 194 ribu hektare dan tumpang tindih sekitar 30 ribu hektare.
FWI mencatat, antara 2017-2021, nilai rata-rata laju deforestasi di pulau-pulau kecil mencapai 79 ribu hektare per tahun, atau setara 3 persen dari nilai laju deforestasi nasional. Hadirnya industri ekstraktif di pulau-pulau kecil ditengarai oleh kebijakan-kebijakan yang mendukungnya serta lemahnya perlindungan terhadap ekosistem yang khas seperti pulau kecil.
Beda metodologi beda angka
Angka deforestasi yang disampaikan Mufti ini juga diuraikan dalam sebuah artikel berjudul Refining National Forest Cover Data Based on Fusion Optical Satellite Imageries in Indonesia, yang diterbitkan pada International Journal of Forestry Research, Hindawi, pada 17 Agustus 2023 lalu. Yang mana Mufti sebagai salah satu penulis utamanya.
Mufti menjelaskan, ada perbedaan metodologi yang digunakan dalam penghitungan luas hutan alam yang hilang antara FWI dan KLHK. Perbedaan mencolok ada pada citra satelit yang digunakan. FWI menggunakan citra resolusi tinggi kombinasi citra planet (resolusi 5 meter) dan sentinel 2A (resolusi 10 meter). Sedangkan KLHK masih menggunakan landsat yang resolusinya hanya 30 meter.
Perbedaan lainnya adalah FWI tidak memasukkan luasan area reboisasi dan reforestasi sebagai faktor penghitungan deforestasi. Sebab menurut Mufti, deforestasi dan reforestasi memiliki makna yang berbeda. Sedangkan KLHK, membedakan deforestasi menjadi dua istilah, yakni deforestasi bruto dan deforestasi netto. Deforestasi bruto adalah deforestasi yang terjadi di dalam maupun di luar kawasan hutan tanpa dikurangi luas reforestasi. Sedangkan angka deforestasi netto adalah angka deforestasi bruto dikurang luasan reforestasi.
“Jadi enggak masuk akal jika reforestasi dijadikan faktor pengurang angka deforestasi. Kita melihat hutan alam dari bentuknya. Bukan dari status kebijakannya. Jadi mau itu di hutan atau di luar kawasan hutan, jika itu bentuknya hutan alam maka kami sebut hutan. Jika itu hilang maka kami sebut deforestasi,” kata Mufti.
Sumber tulisan ini berasal dari betahita.id