Ketika Kesehatan Warga yang ada di Sekitar Pabrik PT RPSL Harus Jadi Perhatian

Sore itu jalanan tampak sepi saat Jambian.id dengan bersepeda motor mengitari area pemukiman warga yang berdekatan dengan pabrik PT Rimba Palma Sejahtera Lestari (PT RPSL), sebuah perusahaan pengolah wood pellet untuk tujuan ekspor ke Korea Selatan yang juga mengoperasikan PLTBm (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa). Dalam cuaca terik berdebu itu, terasa bau serbuk-serbuk kayu, yang berasal dari pabrik yang berlokasi di RT 24, Kelurahan Payo Selincah, Kecamatan Paal Merah, Kota Jambi tersebut. Keberadaan perusahaan itu memang cukup dekat dengan rumah-rumah warga, ada yang hanya sekitar 5 meter jaraknya. Saat dijumpai untuk diminta tanggapan tentang debu-debu tersebut, tak banyak warga yang merespon. Mereka cenderung menghindar.

“Orang di sini banyak yang nggak mau buka suara. Karena mereka banyak yang mencari nafkah, bekerja di RPSL. Kalau sengaja nanya, ya pasti mereka nggak mau jawab. Tapi kalau lagi nggak sengaja ngobrol sesama warga, ada aja yang dikeluhkan,” ungkap nenek Hafsah, seorang warga setempat.

Dia salah seorang warga yang tidak bekerja di perusahaan, dan keluarganya mulai merasakan dampak kesehatan sejak tahun 2017, atau sekitar setahun sejak PT RSPL beroperasi. “Adik saya kena penyakit kulit. Kulitnyo tekelopek-tekelopek (terkelupas-red) sampai ke leher tekelopek semuo. Akhirnya dio berobat, terus di sano dio didiagnosa gitu kan, allergen gitu. Nah penyebabnyo karno limbah atau serbuk-serbuk. Nah serbuk kayu itulah yang mengakibatkan kulit leher, tangan sampai ke kaki. Bagian wajahnya totol-totol,” tuturnya.

Hal serupa disampaikan oleh Dandi (nama samaran) seorang warga yang tinggal di sekitar pabrik. Dia masih ingat, saat masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat, sempat mengalami gangguan pernapasan dan gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Namun keluarganya juga enggan mencari tahu lebih dalam asal penyakitnya.

Kasus Gangguan Pernapasan Tertinggi

Selain penyakit gatal-gatal di kulit, penyakit yang biasanya diderita oleh warga di daerah yang berdekatan dengan wilayah industri adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Dokter Rini Kartika Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Jambi memaparkan bahwa kasus ISPA ini masih jadi penyakit tertinggi yang ditemukan di Kota Jambi. Sampai dengan Juli  2024, angka ISPA dengan dugaan non pneumonia pada anak sebanyak 8.612 kasus, kasus dengan dugaan pneumonia 188, dan 4 kasus dengan dugaan pneumonia berat atau dengan total keseluruhan 8.804 kasus.

Senada, dr. Tini, Kepala Puskesmas Payo Selincah menyampaikan terdapat 376 data kasus ISPA di Puskesmas Payo Selincah telah terjadi pada September 2024. Di mana, di antaranya dibagi Acute Pharyngitis sebesar 192 kasus dan Acute Nasopharyngitis [common cold] ada 184 kasus. “Di daerah sini kan ada pabrik-pabrik, [namun] itu perlu tim yang ahli yang lebih tahu untuk memastikan pengecekannya. Beberapa bulan kemarau juga bisa jadi berdampak,” jelasnya.

Sementara itu dr. Ikalius, Sp.P menjelaskan secara medis pemukiman warga yang dekat dengan daerah pabrik yang menghasilkan debu berpotensi terkena interstitial lung disease atau penyakit paru interstisial (ILD). Penyakit itu membutuhkan waktu lama baru bisa terlihat, paling tidak 10 hingga 20 tahun.

Gejala yang terjadi penderita mengalami batuk-batuk yang berulang. Semakin dekat dengan sumber debu perusahaan, maka semakin besar peluang kronis pada penderita. “Batuk-batuk, kemudian berdahak, lama-lama dia (penderita-red) sesak. Setahun, dua tahun kalau belum sampai 10 tahun belum ketahuan. Kelihatannya kalau dicek dari spirometri (tes fungsi paru-paru-red) dan itu baru bisa dicek minimal kalau sudah 10 tahun,” ungkap dia.

Biasanya penderita yang belum melewati fase 10 tahun dengan gejala beratnya, ketika berobat akan didiagnosa bronkitis kronis sebelum menjadi ILD. Penyakit jenis ILD merupakan penyakit permanen yang akan diidap penderita seumur hidup. Penderita harus melakukan  “Paru-parunya sudah tidak lentur lagi. Kita lihat sama seperti kawat per kan ada yang lentur terus ada yang sudah kaku, paru-paru pun sama kayak gitu,” jelas dia. Dia menyarankan agar perusahaan-perusahaan membuat agar limbah debu tidak terkontaminasi kepada masyarakat dan pekerja di dalamnya.

Perusahaan Rutin Lakukan CSR Sebagai Bentuk Kompensasi

Defri, Humas RPSL mengklaim PT RPSL atau PLTBm mereka jaraknya terlalu dekat dari pemukiman warga. “Cuma akses untuk keluar masuk kendaraannya saja yang harus melewati pemukiman warga,” sebutnya.

Dia pun mengatakan jika suara mesin yang berasal dari operasi pabrik tidak sampai mengganggu warga. “Mesin PLTBm yang kami gunakan suaranya tidak berisik, malah gak kedengaran sama sekali, kecuali pas pertama started up.” Dari pihak perusahaan sebutnya, mitigasi yang diakui untuk mengurangi dampak negatif terhadap warga menurutnya sudah dilakukan dengan pendekatan langsung ke warga. Menanyakan keluhannya apa, dan melakukan CSR aktif setiap bulan kepada warga yang terdampak.

Kompensasi Finansial Tidak Mengatasi Kerusakan Lingkungan

Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau, menegaskan bahwa cara menyelesaikan konflik sosial dengan memberikan tali asih atau kompensasi kepada warga yang terdampak tidak akan pernah cukup untuk mengatasi masalah kerusakan lingkungan. “Orang-orang diberi uang dengan alasan ganti rugi, tapi kerusakan lingkungan tidak bisa dihargai dengan uang. Dampaknya jauh lebih besar. Limbah perusahaan, asap, dan partikel kecil hasil produksi menyebar ke udara di sekitar pabrik. Ini bisa berdampak buruk, terutama bagi ibu hamil dan bayi,” kata Feri.

Dia juga menyoroti kebisingan yang ditimbulkan oleh operasional pabrik dan kendaraan pengangkut kayu yang hilir mudik, menambahkan bahwa dalam jangka panjang, ini bisa berdampak pada kesehatan dan kualitas hidup warga sekitar. Feri menegaskan bahwa keberadaan PT RPSL di Kelurahan Payo Selincah, Kecamatan Paal Merah, Kota Jambi, melanggar aturan tata ruang. “Sudah jelas, area itu seharusnya digunakan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan permukiman, bukan untuk pabrik besar yang mengolah 100 ribu ton kayu per jam di tengah perkampungan,” ujar Feri, menekankan pentingnya menjaga tata ruang kota agar sesuai dengan fungsinya.***

 *Liputan ini hasil kolaborasi dengan Forest Watch Indonesia melalui program Transisi Energi Watch.

Sumber tulisan ini berasal dari Jambi.pikiran-rakyat.com

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top